Bab 11 Ke Rumah Sakit Bersama Marcel
Melihat Tommy, Veronika tak bisa menahan perasaan gugup dan sedikit takut karena dialah yang membanjiri apartemen Marcel beberapa jam yang lalu. "Haha. Kebetulan sekali, Pak Tommy.” Dia menyapa Tommy sambil tersenyum ramah, mengeluarkan ponselnya dan dengan cepat mencari nomor Arini sebelum mengiriminya pesan. Tepat setelah dia mengirim pesan, Tommy dengan cepat menyambar ponsel Veronika.
"Apa-apaan ini, Pak Tommy?" Veronika pura-pura marah.
Tanpa melirik ponsel Veronika, Tommy menyerahkannya kepada pengawal di belakangnya sebelum mengajak Veronika dengan wajah datar. "Silakan, Nona Veronika." Dengan itu, dia membawa Veronika pergi.
Ketika pintu sedan itu terbuka, Veronika membungkukkan punggungnya dan masuk ke dalam mobil, hanya untuk mendapati seorang pria yang mengintimidasi di dalam bersandar dengan mata tertutup. Melihat pria itu membuat jantungnya berdebar. Gugup, dia menelan ludahnya dan memaksakan senyum senang. "Saya dengar kamu mencari saya ... Tuan Muda Marcel."
Pria itu menoleh ke arahnya sedikit saat dia perlahan membuka matanya, memperlihatkan tatapan tajamnya. "Jadi bagaimana kamu mau mati?" Dia mengucapkan kata-kata itu dengan nada setenang hari yang cerah.
Namun, di telinga Veronika, kata-kata itu merupakan perintah eksekusi seorang diktator. "Hehe. Saat saya tua, tentu saja.” Terlepas dari sinar di wajahnya, di dalam hati, dia mencaci dan memaki Marcel.
Saat pria itu menyilangkan tangannya di perutnya, dia mengetukkan jarinya yang ramping di punggung tangannya, dengan keras memerintahkan, "Nyalakan mobilnya, Tommy."
"Tunggu apa? K-Kita mau ke mana?” Veronika panik. Ketika dia hampir menyuarakan pertanyaan itu, Tommy sudah masuk ke dalam mobil dan menyalakannya.
Marcel sekali lagi menutup matanya tanpa berbicara lagi.
Tak berdaya, Veronika menoleh ke arah Tommy. "Kita mau ke mana, Pak Tommy?"
"Rumah Sakit."
"Rumah Sakit?" Wajah Veronika memucat saat jantungnya berdebar kencang. Dia ingat bahwa Marcel berkata kalau Marcel akan mengangkat rahimnya, ketakutannya semakin menjadi. Selama bertahun-tahun, dia tak pernah benar-benar takut pada siapa pun, tetapi saat ini, dia hanya bisa mengakui bahwa Marcel menerornya. Ini dia. Tamat sudah riwayat saya.
Putus asa, Veronika bersandar di kursinya, tak punya energi sedikit pun untuk memecahkan masalah yang dia hadapi. Yang bisa dia lakukan sekarang hanyalah menunggu telepon Arini.
Kring, kring, kring! Nada dering ponsel menggelegar di dalam mobil. Melihat Marcel mengangkat panggilan itu, Veronika terkejut. Segera, dia memiringkan tubuhnya ke arah ponsel dan melihat itu panggilan dari Arini. “Bantu saya, Nyonya! Marcel akan mengangkat ra—”
Dia berusaha berteriak minta tolong di telepon, tetapi sebelum dia bisa selesai berbicara, pria itu mencekiknya dan menutup mulutnya. "Simpan itu kalau kamu mau hidup." Marcel memberinya tatapan tajam dengan niat membunuh yang bergelora di matanya, Veronika mengangguk dengan patuh.
Kendati demikian, karena Arini yang menelepon, dia tak perlu takut lagi.
“Ada apa, Oma?” Memperhatikan panggilan itu, Marcel bertanya.
“Di mana kamu, bocah? Kamu mau bawa ke mana Veronika?”
Marcel terdiam beberapa saat.
“Cepat bilang! Saya mau kamu tahu kalau sesuatu terjadi padanya, saya akan bunuh diri!
"Oma, dia bukan siapa-siapa."
“Saya tidak peduli. Yang terpenting adalah anak di dalam dirinya! Menurutmu berapa lama wanita tua ini akan pergi? Saya cuma mau seorang cicit yang akan saya gendong. Tak ada seorang pun di sini yang memintamu menikah!”
"Dan menurut Oma, kenapa dia punya hak untuk masuk ke dalam Keluarga Kusuma?"
"Kamu tidak perlu menikahinya, tetapi saya mau anaknya."
"Kita belum tahu kalau dia hamil."
“Kalau begitu, tunggu. Periksa dia dalam dua bulan. Tetapi kalau kamu berani menyentuhnya sebelum itu, saya akan membenturkan kepala saya ke tembok dan menemui opamu!”
Marcel tak bisa berkata-kata.
"Berikan ponselnya ke Veronika," perintah Arini.
Enggan, pria itu mengerutkan kening saat dia mengencangkan tangannya yang memegang ponsel. Obat apa yang diberikan jalang ini sama oma? Setelah beberapa saat ragu-ragu, dia mengendurkan tangannya pada Veronika dan menyalakan pengeras suara ponsel itu sebelum menyerahkannya pada Veronika.
"Veronika?" teriak Arini.
Saat Veronika menyeka mulutnya dengan lengan bajunya yang disentuh oleh pria itu, kemarahan di wajahnya berubah menjadi senyum halus. "Nyonya?"
“Oh, Veronika. Apa yang mereka lakukan padamu?”
Veronika menoleh ke arah Marcel dengan tatapan sombong dan mengangkat alisnya seakan-akan dia telah memenangkan pertarungan. Tak lama setelah itu, dia menarik senyumnya dan mulai meratap. "Huu huu! Nyonya, Marcel bilang dia akan membawa saya ke rumah sakit untuk mengangkat rahim saya. Huu huu! Saya sangat takut, Nyonya!”
Melihat perubahan ekspresi wajah seketika yang bahkan lebih mahir daripada seorang aktris papan atas, Marcel menyipitkan matanya, merasa lebih jengkel. Kalau bukan karena perintah Arini, dia akan mencekik wanita di hadapannya ini sampai mati.
“Aww, jangan menangis … Tidak perlu khawatir sekarang. Saya sudah memberinya pelajaran. Dia tidak akan menggertakmu lagi, oke?”
“Oke, saya percaya, Nyonya. T-Tapi …”
"Tapi apa?"
"Marcel ... Dia menyita ponsel saya."
“Argh, bocah itu! Dia benar-benar terlalu berani. Tidak apa-apa, Veronika. Berhenti menangis, oke? Bilang saja pada saya kalau dia berani melakukan sesuatu yang bodoh lain kali, oke?”
Meskipun Arini hanya menghabiskan tiga hari dengan Veronika, dia sangat terkesan dengan kejenakaan dan kecerdasannya serta ketekunannya. Dia akan menjadi gadis yang sempurna. Sayangnya, satu-satunya kelemahannya hanyalah penampilannya yang biasa-biasa saja, yang mungkin tidak begitu menarik. Secara pribadi, Arini tidak merasa kalau dia mengerikan. Bahkan, dia pikir Veronika ini kenalan yang cocok untuk menghabiskan sisa hidupnya. Sayangnya, penampilannya tidak mampu memikat hati Marcel, yang pada akhirnya menjadi penghalang pernikahan mereka.
"Baik. Terima kasih, Nyonya."
"Santai saja. Tolong berikan ponselnya ke Marcel sekarang?
“Hm!” Setelah menyenandungkan jawaban, Veronika mengembalikan ponsel itu kepada Marcel.
Kemudian dia mematikan pengeras suaranya dan meletakkan ponsel itu di telinganya. "Oma?"
“Oh, saya pikir kamu lupa saya ini nenekmu. Berani sekali kamu sekarang, ya? Begitu berani sampai-sampai kamu tidak mematuhi kata-kata saya? Berani sekali kamu membawa Veronika ke rumah sakit untuk mengangkat rahimnya? Kamu pikir kamu siapa, Tuhan?”
Arini dengan marah melanjutkan, “Kembalikan ponselnya ke Veronika sekarang! Saya akan melakukan panggilan video padanya setiap hari mulai sekarang. Kalau sampai saya merasakan sedikit ketidakbahagiaan padanya, kamu bisa mempersiapkan pemakaman mulai sekarang!
"Oma—" Bip, bip ... Sebelum Marcel bisa mengatakan apa-apa lagi, Arini sudah menutup teleponnya. Memiringkan kepalanya, dia mencengkeram ponselnya begitu keras sampai jarinya berbunyi. Dia jelas marah, sangat marah sehingga bisa menandingi tingkat badai yang paling bergelora.
Sementara itu, Veronika mengamatinya, secara saksama mempelajari setiap gerakan Marcel. Melihatnya sangat marah, dia segera tahu bahwa Arini pasti sudah memperingatkan Marcel untuk tidak menyiksanya lagi. Menyadari itu, dia merasa sangat lega.
"Kembalikan ponselnya."
"Baik, Tuan Muda Marcel."
Saat Tommy mengemudi, dia mengeluarkan ponsel Veronika dan mengembalikannya padanya.
"Terima kasih." Veronika berterima kasih kepada sang asisten. Tepat saat dia meraih ponselnya, sebuah panggilan langsung masuk, dan nama peneleponnya adalah 'Nyonya Arini.' Saat dia melihat nomor di ponselnya, Marcel juga menyadarinya.