Bab 4 Bukan Wanita Sederhana
Saat wanita itu berada di bawah tubuh Erick, dia hendak menampar Erick, tetapi sebelum tangannya mendarat di wajah Erick, percikan api dari peluru menghantam lantai dan memasuki pandangannya. Pada saat itu dia tampaknya mengerti apa yang sedang terjadi, dia tiba tiba membuka kedua kakinya,
mengaitkan nya pada pinggang Erick dan membalikkan seluruh badan nya, mengubah posisi menjadi dia di atas dan Erick berada di bawah.
Pria di bawah dan wanita di atas, sepasang kaki putih wanita itu tersingkap dari bawah roknya dan juga ada celana dalam renda hitam. Posturnya yang terentang membuat celama dalam pun mengencang, pemandangan panas ini tersaji dengan jelas di mata Erick yang membuatnya semakin gugup.
Sepasang kaki wanita itu tiba tiba menegang, menjepit Erick dan menggulingkan badan ke arah hamparan bunga di samping.
Poof! Mereka berdua baru saja berguling ke belakang hamparan bunga dan tempat tadi tiba tiba menyemburkan sebuah ledakan. Sebuah peluru berubah arah setelah mengenai jalanan dan memecahkan kaca jendela sebuah toko di pinggir jalan.
Erick sangat terkejut hingga berkeringat dingin.
Pada saat itu jalanan menjadi sangat berantakan, ada orang yang melarikan diri, ada yang terbaring dan ada yang berteriak dengan keras.
Erick dan wanita itu aman karena ada hamparan bunga yang melindungi mereka.
"Siapa kamu?" Suara wanita itu sama dengan kepribadiannya, sangat dingin.
Erick tertegun sejenak, "Aku tidak mengenalmu, aku barusan melihat seseorang membidik pistol ke arah kamu. Aku panik saat itu, langsung menjatuhkanmu."
"Aku pernah melihat gedung itu, jaraknya sangat jauh sekali. Terlebih ini malam hari, aku bahkan tidak bisa melihatnya dengan jelas, tetapi kamu masih bisa melihatnya. Bagaimana bisa kamu melihatnya?" Wanita itu melihat lurus ke arah Erick, tatapan matanya sangat tajam.
Erick bisa melihat penembak jitu di seberang, tentu karena dia menggunakan kemampuan penglihatan mata kirinya. Mata kirinya tidak hanya bisa melihat melalui apa pun, tetapi dapat memperdekat objek dan membuatnya melihat lebih jelas. Sebenarnya dia tidak hanya bisa melihat penembak jitu itu, jika penembak jitu itu tidak menggunakan topi bisbol dia pasti sudah nampak wajahnya.
"Jawab pertanyaanku!" Suara wanita itu menjadi lebih keras.
Kemampuan mata kirinya adalah rahasia, tentu saja Erick tidak akan memberitahunya, selain itu sikapnya membuat Erick merasa tidak nyaman, "Aku hanya kebetulan bisa melihat, apakah itu begitu aneh? Selain itu, apakah kamu berencana untuk terus menunggangi tubuhku?
Wanita itu baru menyadari bahwa dia masih menunggangi Erick bahkan wajahnya hampir menempel dengan wajah Erick. Dengan canggung dia turun dari badan Erick, tetapi tidak berani mengeluarkan kepalanya, hanya berbaring di samping Erick. Dia memperingati Erick, "Berbaringlah dan jangan bergerak."
Erick tidak bergerak, dia tidak ingin mencoba bagaimana rasanya ditembak di kepala. Dia mulai menyesali tindakannya untuk menolong orang, dia bahkan tidak mengetahui namanya, jika penembak jitu itu mengira mereka berdua bekerja sama, bukankah itu akan menjadi buruk?
"Terima kasih sudah membantuku." wanita itu menjulurkan tangannya kepada Erick, "Namaku adalah Laurent Boulvard."
Baru saja aku berpikir bahwa aku tidak mengetahui namanya, dia langsung memperkenalkan dirinya padaku, hati Erick menjadi sedikit tenang. Dia menjulurkan tangannya kepada Laurent dan menjabatnya, "Namaku adalah Erick Jhones."
"Dari mana kamu berasal?"
Erick menjawab dengan ragu, "Kota Haviar, kamu?"
"Sebenarnya aku tahu kamu adalah penduduk lokal sejak di tempat judi." Laurent berkata, "Aku berasal dari Kota Biliard."
"Kenapa penembak jitu itu ingin membunuhmu?" Erick memandanginya, dia sangat ingin tahu tentang hal ini.
Laurent sedikit mengernyit, "Kamu tidak perlu tahu soal hal ini."
Terdengar suara keras beberapa mobil polisi datang, suara sirene itu semakin lama semakin mendekat dan membuat orang semakin panik.
"Dia sudah pergi." Laurent tiba tiba berkata.
"Bagaimana kamu bisa tahu?" Erick sedikit tidak percaya, dia semakin penasaran dengan identitas Laurent.
"Bukan apa apa, hanya pengalaman saja." Laurent menjawab.
Erick memanjat ke depan dua meter, dengan hati hati dari sisi hamparan bunga ia mengeluarkan kepalanya dan mengintip ke arah penembak jitu yang berada di atap bangunan seberang. Sniper itu sudah tidak ada di sana, dia tidak tahu kapan sniper itu pergi.
"Apa kamu sudah percaya kepadaku sekarang?" Laurent berdiri dari lantai, dia menepuk nepuk debu yang menempel di gaunnya.
"Apa yang sebenarnya kamu lakukan?" Erick tahu jelas, wanita yang ada di depannya bukan wanita biasa. Karena sudah memiliki pengalaman, barulah dia tahu jika penembak jitu itu sudah pergi, jika dia hanya wanita biasa, bagaimana bisa dia memiliki pengalaman dan kepercayaan diri seperti ini?
Laurent berkata, "Jika berkesempatan, kamu akan mengetahuinya. Sekarang kamu pergilah, kamu tidak memiliki izin dan akan terkena masalah jika ketahuan."
Erick sangat terkejut dan berkata dalam hati, "Bukankah penglihatan wanita ini terlalu beracun?"
"Tunggu, ini adalah kartu namaku. Jika kamu memerlukan bantuan, cukup telepon nomor yang ada di sini." Laurent berkata.
Erick mengambil kartu nama yang diberikan oleh Laurent dan melihatnya sejenak, di atas kartu nama itu tidak ada apa apa kecuali nama dan nomor teleponnya. Dia berkata dalam hati, orang ini aneh bahkan kartu namanya juga aneh. Walaupun dia berpikir seperti ini, tetapi dia tersenyum, "Kalau begitu kapan kapan aku akan mentraktirmu minum teh."
Laurent berkata, "Kamu jangan salah paham, aku hanya ingin membalas budi saja."
Senyuman di wajah Erick tiba tiba membeku, dia mengangkat bahunya dengan canggung dan berbalik meninggalkan.
Begitu dia pergi, beberapa mobil polisi berhenti di pinggir jalan. Semua polisi yang turun dari mobil membawa senjata, menggunakan mobil polisi sebagai tamengnya dan melihat sekitar dengan cemas. Mereka jelas tidak mengetahui apa yang sedang terjadi.
Laurent melihat ke atap gedung yang ada di seberang jalan, dia hanya bisa melihat segaris samar saja, bahkan dia tidak bisa melihat pagar pembatas tepi atap, apalagi orang yang bersembunyi di atas atap.
Laurent menarik pandangannya dan melihat ke arah Erick pergi, setelah beberapa saat dia mengucapkan sesuatu, "Kemampuan penglihatan mataku yang terbaik 2.0, aku bahkan tidak bisa melihat keadaan yang ada di atas, bagaimana kamu bisa melihatnya? Apakah kemampuan melihatmu melebihi 2.0? Bagaimana mungkin? Selain itu, dia bertingkah aneh di tempat judi... Orang ini, aku harus menelitinya dengan detail."
Erick tidak bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Laurent, dia memanggil taksi untuk pergi ke pelabuhan.
Saat dia datang, dia hanya memiliki 18 juta rupiah dan saat dia kembali dia sudah menjadi orang yang memiliki 420 juta rupiah. Di mata orang kaya uang ini hanyalah uang kecil, tetapi baginya ini adalah harta berharga. Dia bisa menggunakannya untuk yang sekolah Aisley, selain itu juga bisa menggunakan sisa uangnya untuk memulai bisnis kecil atau meningkatkan hidupnya, sangat berguna.
Saat di Pelabuhan Kota Haviar, dia menyalakan kembali ponselnya. Setelah itu dia melihat banyak telepon masuk dari Anthony yang tidak dia angkat. Dia tertawa, "Si Gendut ini pasti pergi ke rumah sakit untuk melihatku, lalu tahu aku sudah keluar dari rumah sakit dan mengkhawatirkanku, 'kan? Setelah pulang nanti aku akan membelikannya iPhone 6 Plus dan membuatnya senang."
Erick sendiri hanya menggunakan ponsel lokal yang harganya sangat murah, tapi dia sangat baik, setia dan royal kepada temannya.
Erick menelepon Anthony saat menunggu mobil di pinggir jalan, "Hei? Anthony, ini aku Erick. Di mana kamu sekarang? Aku akan pergi mencarimu, ayo kita pergi minum bir."
"Minum ... minum...." terdengar suara Anthony dari dalam ponselnya, putus putus, seperti ada sesuatu di mulutnya, "Minum ... apa... aku... ada... di rumah sakit."
"Kamu di rumah sakit?" Erick saat itu tertegun, "Ada apa denganmu? Apa terjadi sesuatu? Kamu ada di rumah sakit mana?"
"Di... rumah sakit yang kamu tinggalkan... kamu... kemarilah ... hati hati... jangan sampai ketahuan orang...." Anthony belum selesai berbicara dan dia sudah mulai terengah engah.
"Kamu tunggu aku, aku akan segera datang!" Erick menutup teleponnya dan melambaikan tangan untuk memanggil taksi.
Dalam setengah jam, Erick sampai ke rumah sakit yang dia tinggalkan pagi tadi. Dia pergi ke meja perawat untuk bertanya, setelah itu dia menemukan kamar pasien Anthony.
Kepala, kaki dan tangan Anthony semuanya dibalut dengan kain kasa, setengah wajahnya membengkak seperti bakpao, dalam sekali lihat langsung tahu bahwa dia dipukuli dengan keji.
"Anthony, beri tahu aku, siapa yang melakukan ini padamu?" ujar Erick dengan cemas dan marah.
Anthony tersenyum pahit, "Siapa ... siapa lagi?"
Tiba tiba Erick teringat seseorang, "Apakah Husea?"
Anthony mengangguk dan mengatakan apa yang terjadi dengan terbata bata.
Awalnya, Husea bertemu dengan Anthony di rumah sakit untuk memukuli dan menyuruh Anthony membawanya ke rumah Erick untuk mencari Erick. Tidak disangka anak buahnya akan memukulinya dengan sadis, hingga Anthony muntah darah dan tidak bisa berjalan. Setelah Husea membawa anak buahnya pergi, Anthony terbaring di kasur rumah sakit.
"Sial! Siapa yang memberinya hak untuk melakukan itu? Apakah dia tidak memandang hukum? Apakah tidak ada orang di dunia ini yang bisa mengurus orang jahat seperti dia?" Setelah mendengar perkataan Anthony, Erick tidak bisa menahan emosinya dan memukul kasur rumah sakit.
"Hukum?" Anthony tersenyum pahit, "Erick, kamu tahu tidak... setelah Husea memukuliku... apa yang dia katakan? Dia berkata, pamannya adalah ketua kantor polisi, dia mempersilakan kita untuk melapor kapan pun."
Erick berkata dengan marah, "Paman dia adalah Ketua Kantor Polisi, dengan begitu dia boleh melakukan apa pun sesuka hatinya?"
"Aku sudah melapor ke polisi... satu polisi datang dan menanyakan situasinya, hanya menanyakan beberapa pertanyaan lalu pergi... dia sama sekali tidak berpikir untuk menangkap Husea...." Anthony berkata, "Akhirnya, satu... dokter tua memberi tahu aku, nama paman Husea adalah Hansen Limawan, dia adalah Ketua Kantor Polisi di area ini. Husea terus bekerja di area ini, karena Hansen adalah pemimpin sedangkan Husea hanyalah budaknya. Kepentingan mereka terkait dengan satu sama lain, yang satu memiliki orang dan yang satu memiliki kekuasaan, hitam dan putih mereka mengambil keduanya. Kita tidak bisa melawan mereka... Kamu berhati hatilah, dia berkata kamu memeras 20 juta rupiah darinya untuk biaya pengobatan, dia juga mau kamu untuk mengganti mesin las dan juga transformator... Erick, kamu bawa Aisley untuk pergi bersembunyi beberapa hari."
"Bersembunyi? Untuk apa kita harus bersembunyi? Aku terluka di lokasi konstruksi, jika bukan karena keberuntunganku, aku pasti sudah buta. Apakah 20 juta bisa membeli mataku? Selain itu, dia membuatmu menjadi seperti ini, itu adalah kejahatannya, bukan aku, kamu ataupun Aisley. Kenapa kita harus
bersembunyi? Aku bukan hanya tidak akan bersembunyi, aku juga akan mencari keadilan untukmu!" Erick semakin berbicara semakin bersemangat.
"Erick... kamu... dengarkan aku...." Anthony berkata dengan cemas, "Lupakan... lupakan saja, aku tidak apa apa."
"Jangan khawatirkan tentang ini, rawat lukamu dengan tenang di sini." Erick berkata.
Pada saat ini, seorang perawat masuk, dia melihat Erick sekilas lalu berkata, "Apa kamu anggota keluarga pasien di kasur nomor 19? Apakah kamu bisa membayar biaya obat yang harus kamu bayar? Jika tidak apotek tidak akan memberikan obat untuknya."
"Berapa yang harus dibayar?" Erick tidak perlu bertanya juga tahu bahwa Husea tidak membayar sepeser pun untuk biaya pengobatan.
"Dia harus membayar 2.4 juta rupiah, tapi untuk perawatan selanjutnya juga masih memerlukan obat, jadi aku sarankan kamu membayar lebih, sekitar 14 juta rupiah." kata perawat itu.
"Aku bisa mencari cara... untuk uang itu... Erick, kamu tidak perlu mengurusnya." Anthony meringis kesakitan.
"Aku akan memberikan kalian 16 juta rupiah, rawatlah temanku dengan baik." ujar Erick sambil mengambil kartu kamar untuk membayar tagihan.
Tiba tiba mata Anthony pun dipenuhi air mata, "Erick, jangan... itu adalah uang sekolah... Aisley ...."
Erick keluar dari pintu, dia bahkan tidak menoleh.