Bab 6 Serigala Pengekor
Hari belum gelap sepenuhnya, tapi lampu lampu di Kedai Teh Junction yang terletak di sebelah kawasan elit sudah menyala. Lampu di sana menyerupai lentera istana yang antik,
dikombinasikan dengan halaman dan paviliun yang bernuansa klasik. Di bawah langit malam, tempat itu terlihat seperti paviliun kerajaan di zaman kuno, yang memberikan suasana agung yang menekan.
Tempat seperti itu bukanlah tempat yang bisa orang biasa datangi untuk menghabiskan uang di sana.
Sebuah taksi berhenti di pinggir jalan, pintu mobil terbuka, lalu Erick dengan setelan jas yang rapi turun dari mobil.
Dengan tinggi badan 180 cm, bentuk tubuhnya tinggi dan kuat, dengan garis garis yang proporsional, ditambah lagi dia memiliki wajah yang cerah dan tampan. Dia yang sekarang tampak seperti seorang elit profesional, dengan aura yang luar biasa.
Erick berjalan masuk ke dalam kedai teh Junction.
Setelah masuk ke dalam kedai, Erick memesan segelas teh olong prendjak yang harganya lebih murah. Kemudian, dia memilih sebuah meja yang terletak agak di pojokan untuk duduk.
Banyak orang yang sedang minum teh di kedai, ada yang duduk di lounge, ada yang duduk di ruang VIP, suasananya sangat ramai. Erick telah melihat dengan cermat selama beberapa saat, tapi dia tidak menemukan sosok Hansen. Setelah itu, dia segera menggunakan kekuatan penglihatan tembus pandang mata kirinya dan mulai mencari sosok Hansen di ruang VIP di sebelah lounge.
Ruang VIP di sana berdinding kayu, di depan pintu digantung tirai bambu yang tidak tembus cahaya. Dalam keadaan normal, orang lain sama sekali tidak akan bisa melihat situasi di dalam ruang VIP. Namun, bagi Erick, dinding dan tirai bambu di ruang VIP itu seperti tidak ada. Dalam penglihatan tembus pandangnya, dia bisa langsung melihat pemandangan di dalam masing masing ruang VIP.
Satu menit kemudian, tatapannya berhenti di Ruang Anggrek yang berada tidak jauh darinya.
Di dalam Ruang Anggrek, ada seorang pria dan juga seorang perempuan.
Pria itu berusia sekitar empat puluhan, dengan tubuh sedikit berisi. Ada "sikap pejabat" yang mudah dikenali dari tingkah laku dan gaya bicaranya. Sementara yang perempuan tampak berusia 27 atau 28 tahun, dengan tubuh dan penampilan yang bagus, dia dapat dikatakan sebagai perempuan cantik.
Erick segera mengenali kalau pria itu adalah Hansen, tetapi dia tidak tahu siapa perempuan itu. Perempuan itu terlihat sangat gugup. Cara bicara serta sikapnya juga sangat canggung, yang memberi kesan kalau dia tidak mau minum teh bersama Hansen. Dibandingkan dengan kecanggungan perempuan itu, Hansen justru terlihat jauh lebih santai dan serampangan, senyum sumringah melebar di wajahnya. Sepasang matanya juga berkeliaran di dada, pinggang dan bokong perempuan itu, tanpa menyembunyikan hasratnya sama sekali.
Pada saat ini, Hansen mengulurkan dan meraih tangan perempuan itu, lalu mengusapnya dengan perlahan, lalu dia mengatakan sesuatu. Wajah perempuan itu seketika memerah, lalu dia menundukkan kepala, tidak berani menatap mata Hansen.
Erick tidak bisa mendengar apa yang Hansen bicarakan dengan perempuan itu. Akan tetapi, dia juga memiliki penilaiannya sendiri, 'Dalam situasi seperti ini, kemungkinan besar Hansen menggunakan statusnya sebagai ketua untuk membawa salah satu bawahannya, atau perempuan yang ingin minta bantuannya ke sini dan mengambil keuntungan dari perempuan itu, bukan? Kalau memang seperti itu, maka ini adalah sebuah kesempatan yang bagus....'
Di dalam hati Erick sudah ada sebuah keputusan.
Beberapa menit kemudian, tirai bambu Ruang Anggrek tiba tiba terangkat. Hansen membawa perempuan itu keluar dari ruangan. Perempuan itu terus mengikuti di belakang Hansen tanpa bersuara. Perempuan itu lebih banyak menundukkan kepalanya, tidak berani melihat orang lain, dan juga menghindari tatapan orang lain.
Erick juga meninggalkan meja dan pergi ke kasir, setelah membayar minumannya dia segera meninggalkan kedai teh.
Di bawah terpaan cahaya lampu jalan, Hansen memeluk pinggang ramping perempuan itu dan berjalan di sepanjang trotoar menuju ke arah barat. Hansen sama sekali tidak menyadari Erick yang mengikuti di belakangnya. Dia menggosokkan tangannya di pinggang perempuan itu dengan seenaknya, sambil mengucapkan kata kata genit. Perempuan itu menerimanya dengan malu malu dan membiarkan tangan Hansen yang mesum itu menggeErickangi tubuhnya.
Beberapa menit kemudian, Hansen dan perempuan itu masuk ke sebuah hotel dan menyewa sebuah kamar.
Begitu masuk ke kamar, Hansen sudah tidak tahan untuk memeluk dan menyentuh perempuan itu dengan tergesa gesa.
"Ketua Hansen, tidak usah terburu buru. Aku mandi dulu, setelah itu aku akan layani kamu baik baik, oke?" kata perempuan itu dengan genit.
Hansen terkekeh dan berkata, "Pintar sekali, kamu tenang saja. Aku akan bantu kamu menyelesaikan masalah suamimu. Hanya ganti pos kerja saja, masalah sepele itu."
"Kamu baik sekali." Perempuan itu mendekat dan mencium Hansen, setelah itu dia melepaskan pakaiannya dan berjalan ke kamar mandi.
Hansen juga menanggalkan pakaiannya dan berbaring di tempat tidur. Dia menyalakan sebatang rokok dan menunggu dengan senang hati perempuan itu selesai mandi lalu melayaninya. Dia sama sekali tidak menyadari kalau saat ini ada seorang pemuda sedang berdiri di balik pintu, dan pemuda itu sedang menatap lurus pintu kamar itu.
Bagi Erick, pintu itu sama sekali tidak ada. Dia tidak hanya bisa melihat Hansen yang berbaring di tempat tidur, dia juga bisa melihat situasi di dalam kamar mandi.
Pintu kaca kamar mandi tidak tertutup rapat, perempuan itu sedang mandi.
Setelah melihat sampai di sini, Erick memejamkan matanya.
Kali ini, dia tidak mengalami halusinasi saat menggunakan kekuatan penglihatan tembus pandangnya. Dia juga telah memahami beberapa aturan dengan baik, yaitu selama dia tidak menggunakan kekuatan penglihatan tembus pandang untuk jangka waktu tertentu dan tidak menghabiskan energi fisik dan mentalnya secara berlebihan, maka dia tidak akan mengalami halusinasi.
Hansen sedang menunggu, Erick juga sedang menunggu.
Beberapa menit kemudian perempuan itu keluar dari kamar mandi, dengan handuk melilit di tubuhnya. Kulitnya yang putih dan lembut, setengah tertutup oleh handuk mandi. Dalam sekejap dia berhasil membangkitkan hasrat Hansen.
"Sayang, aku benar benar sudah tidak tahan lagi!" Hansen yang sudah tidak sabar langsung melompat turun dari tempat tidur dan menerkam perempuan itu seperti serigala yang kelaparan....
"Brak!" Terdengar suara dari pintu, lalu pintu kamar itu tiba tiba terbuka. Erick bergegas menghambur ke dalam kamarnya sambil memegang ponselnya.
Aplikasi kamera di ponselnya sedang menyala, layar ponselnya juga sedang menampilkan gambar Hansen bersama perempuan itu, yang membuat orang tidak sanggup melihatnya secara langsung.
Perempuan itu yang melihat Erick lebih dulu, lalu dia berteriak histeris, "Ah... ada orang!"
Hansen segera menoleh dan melihat Erick yang tiba tiba mendobrak masuk ke dalam kamar. Dia tertegun sejenak, lalu dia tiba tiba membentak, "Siapa kamu? Siapa yang membiarkan kamu masuk? Jangan rekam!"
Erick sama sekali tidak takut dengan bentakan Hansen, dia tetap mempertahankan posisi merekam video.
"Sialan! Kamu tahu siapa aku, tidak?" Hansen melompat turun dari tempat tidur, lalu menghambur ke arah Erick untuk merebut ponsel di tangan Erick. Pada saat ini, dia sebenarnya sudah panik dan ketakutan setengah mati.
Tanpa menunggu Hansen menyentuhnya, Erick sudah mengangkat kakinya dan menendang perut bagian bawah Hansen.
"Ah...." Hansen menjerit dan jatuh dengan keras ke lantai.
Perempuan di atas tempat tidur segera mengambil telepon di meja nakas, dia sepertinya ingin melapor polisi. Namun, setelah menekan dua kali angka 'satu', dia tidak bisa menekan nomor selanjutnya. Alasan mengapa dia tidak jadi melapor polisi sangat sederhana. Hansen adalah ketua kantor polisi, sedangkan pihak lainnya bahkan berani menendang ketua kantor polisi itu hingga tersungkur di lantai. Kalau dia melaporkan masalah ini pada polisi, bukankah itu hanya akan menimbulkan masalah bagi mereka sendiri?
Pada saat ini, Erick sudah mematikan kamera ponsel dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Dia sudah mendapatkan apa yang dia inginkan, jadi tidak penting untuk terus merekam lagi.
"Kamu...." Hansen saat ini baru lebih tenang, dia menatap Erick dengan gugup dan bertanya, "Siapa kamu? Apa yang ingin kamu lakukan?"
Erick memindahkan sebuah kursi dan duduk di seberang wanitanya Hansen, lalu dia berkata dengan perlahan, "Tadi kamu tanya sama aku, apakah aku tahu siapa kamu. Aku akan jawab pertanyaanmu sekarang. Aku tahu siapa kamu, kamu adalah Hansen, Ketua Kantor Kepolisian Distrik Belial Kota Haviar. Apakah aku benar?"
Hansen tidak mengakui juga tidak menyangkal, dia menatap Erick dengan marah dan menerka nerka motif Erick.
Erick berkata, "Aku datang ke sini karena paksaan dari kamu, aku melakukan hal ini juga karena paksaan dari kamu."
"Semba...." Tiba tiba dia melihat amarah di mata Erick, Hansen menelan kembali kata "sembarangan" yang sudah dia ucapkan setengahnya, kemudian dia mengubahnya dan berkata, "Omong kosong apa yang kamu bicarakan? Aku bahkan tidak kenal sama kamu, bagaimana aku bisa memaksamu? Serahkan ponselmu padaku, kita bisa mendiskusikan semuanya. Aku juga bisa menganggap masalah ini tidak pernah terjadi."
Erick tertawa sinis dan berkata, "Hansen, aku rasa kamu mungkin masih belum memahami situasinya, 'kan? Upaya pemberantasan korupsi sangat ketat sekarang. Kalau aku menyerahkan video ini ke Kantor Kejaksaan atau kepada awak media, apakah kamu bisa membayangkan apa yang akan terjadi padamu?"
"Kamu ... buka harga saja." Hansen berusaha keras menutupi kepanikan di dalam hatinya.
Erick berkata, "Aku tidak ingin uangmu, aku hanya ingin keadilan."
"Keadilan?" Hansen menatap Erick dengan curiga dan bertanya, "Keadilan apa?"
"Kamu punya seorang keponakan yang baik, namanya Husea. Aku bekerja di lokasi kontruksinya, dan sinar busur listrik membakar mataku. Dia membayar 20 juta untuk biaya pengobatan, tetapi biaya pengobatannya membutuhkan 400 juta. Selain itu, dokter juga mengatakan kalau ada 90% kemungkinan mataku akan buta."
"Bukannya matamu baik baik saja?"
"Aku beruntung, mataku tidak buta. Tapi penglihatanku tidak sebaik sepertiga dari biasanya." Erick menatap lurus ke arah Hansen, "Menurutmu, apakah 20 juta itu cukup?"
Hansen pun bersikap kooperatif, dia menggelengkan kepala dan menjawab, "Tidak cukup, tidak cukup."
Sudut bibir Erick memperlihatkan seulas senyum tipis, lalu dia berkata, "Aku sebenarnya tidak ingin mencari masalah dengan Husea. Aku sudah melunasi tagihan sendiri dan keluar dari rumah sakit. Biaya pengobatan yang dia berikan masih tersisa 18 juta. Jadi aku simpan untuk biaya pengobatan lanjutan. Tapi keponakanmu yang baik itu malah membawa orang datang mencariku dan bilang dia ingin aku mengganti rugi mesin las dan transformatornya. Menurutmu, apakah dia sudah keterlaluan?"
Hansen kembali menganggukkan kepala dan menjawab, "Keterlaluan, keterlaluan."
Erick kembali berkata, "Aku beruntung aku keluar dari rumah sakit pagi pagi. Jadi dia tidak berhasil menemukan aku. Tapi dia memukuli temanku sampai terluka parah dan temanku itu masih terbaring di rumah sakit sekarang. Aku yang membayar 16 juta untuk biaya rawat inapnya. Menurutmu, bagaimana caranya menyelesaikan masalah ini?"
"Ini...." Hansen adalah seorang bajingan licik. Dalam masalah penting, dia tidak akan menunjukkan pada siapa dia berpihak.
"Hanya itu masalahnya, Ketua Hansen, menurutmu bagaimana penyelesaiannya?" tanya Erick.
Hansen berpikir sejenak, lalu menjawab, "Aku akan menyuruh orang menangkapnya nanti, aku tidak akan melepaskan siapa pun yang sudah memukul temanmu. Kamu tidak perlu mengembalikan 18 juta itu padanya, kamu juga tidak perlu mengganti mesin las dan transformator. Adapun soal biaya pengobatan temanmu sebesar 16 juta itu, aku lebih bermurah hati. Aku sendiri yang akan membayar sebanyak 20 juta. Bagaimana menurutmu, bisa tidak?"
Erick menggelengkan kepala dan berkata, "Tidak bisa."
Seketika ada kilatan amarah di mata Hansen, tapi dia menyembunyikannya dengan sangat baik. Masih ada senyum terukir di wajahnya dan dia berkata, "Anak muda, coba kamu katakan padaku, bagaimana kamu ingin menyelesaikannya?"
Penglihatan tembus pandang super.