Bab 7 Tetap Harus Berlutut
Erick menjawab, "Masalah tentang mataku bisa diabaikan, aku tidak lagi perlu mencari dia dan dia juga tidak perlu mencari aku. Tapi masalah tentang temanku yang terluka parah tidak mungkin diabaikan begitu saja. Aku ingin Husea berlutut dan meminta maaf kepada temanku sekarang juga di rumah sakit. Dia juga harus mengirim fotonya kepadaku. Selain itu, dia juga harus menanggung segala biaya perawatan, biaya gangguan mental, biaya kehilangan pekerjaan dan biaya pengobatan yang totalnya sekitar 100 juta rupiah. Silakan minta keponakanmu yang baik itu untuk mempersiapkan 100 juta ke rumah sakit. Kalau kamu bisa melakukan ini, maka semua masalah yang ada di antara kita bisa di anggap selesai."
Hansen tersenyum dan berkata, "Dek, kamu masih muda, begitu banyak hal di kehidupan masyarakat yang belum kamu mengerti. Aku menyarankan kamu untuk tidak bertindak terlalu ekstrem dalam hidup. Semua hal tetap harus diberi kelonggaran dan memberi kesempatan kepada setiap orang agar tidak begitu canggung kalau bertemu kembali di kemudian hari. Kamu seharusnya mengerti apa maksud dari perkataan ini, 'kan?"
"Iya, tapi aku tidak ingin bertemu denganmu lagi." Erick kembali berkata, "Kalau kamu tidak ingin melakukannya, aku akan langsung mengunggah video yang baru saja aku rekam itu ke media sosial."
"Jangan...." Hansen seketika merasa cemas, "Dek, begini saja, uang bukanlah masalah, tapi apakah perihal berlutut boleh dihilangkan? Bagaimanapun juga, Husea termasuk sebagai sosok yang dihormati oleh banyak orang. Kalau kamu meminta dia untuk berlutut di rumah sakit dan mengirimkan fotonya padamu, dia pasti tidak bisa melakukannya."
"Sebaiknya aku mengunggah video ini di media sosial saja." Sambil mengutak atik ponselnya, Erick kembali berkata, "Hm, aku bisa menjadikannya sebagai trending besok."
"Sial...." Hansen yang awalnya hendak memarahi Erick segera membatalkan niatnya. Dia lalu bergegas bangkit dari atas lantai sambil berkata, "Dek, jangan lakukan itu, aku akan segera menelepon bocah itu dan meminta dia untuk membawa uang sebesar 100 juta dan berlutut di depan temanmu. Aku juga akan meminta dia untuk mengirim fotonya untukmu. Kamu sudah puas sekarang?"
Suara Hansen terdengar begitu penuh dendam, tapi Erick sama sekali tidak menghiraukan hal ini. Dia tahu jelas, meskipun dia tidak meminta Husea untuk berlutut di depan Anthony dan meminta uang pengobatan sebesar 100 juta, Hansen tetap akan datang mengganggu mereka di kemudian hari. Alasannya sangat sederhana, karena orang seperti Hansen tidak akan membiarkan orang lain berdiri di atas kepalanya!
Erick juga bukan merupakan orang bodoh, ketika Hansen mengambil ponsel untuk menghubungi Husea, dia segera mengganti layar ponselnya dan mengunggah video tersebut ke Google Drive. Dengan begitu, dia masih bisa menyimpan satu rangkap video tersebut dan tidak perlu takut kalau nantinya Hansen datang untuk membalas dendamnya!
Hansen akhirnya berhasil menghubungi Husea.
Erick lalu berkata, "Nyalakan mode speaker."
Hansen melirik ke arah Erick dengan tatapan penuh amarah, tapi dia tetap melakukannya.
Dari dalam ponsel, terdengar suara Husea yang bertanya, "Siapa kamu? Cepat katakan tujuanmu meneleponku!"
"Aku pamanmu! Dasar berengsek!" Saat ini, Hansen merasa begitu marah dan ingin memaki orang lain.
"Ha? Paman... ternyata kamu, aku sedang mengemudi dan tidak sempat melihat layar ponsel. Paman, apakah ada masalah?" Nada suara Husea seketika berubah drastis.
"Aku ingin bertanya padamu, apakah ada seseorang yang matanya terluka karena sinar busur di lokasi konstruksimu?"
"Iya, Paman, untuk apa kamu menanyakan hal sepele ini?" Husea kembali berkata, "Bocah bernama Erick itu seperti pria idiot. Apakah dia pergi ke tempatmu untuk mengeluh tentang aku?"
Tidak apa apa kalau Erick hanya datang untuk mengeluh.
"Mengeluh kepalamu!" Saat ini, Hansen meluapkan semua amarahnya pada Husea, "Aku ingin bertanya satu hal lagi, apakah kamu memukul temannya hingga dia harus menginap di rumah sakit?"
"Paman, ada apa denganmu hari ini? Sejak dulu, kamu tidak pernah peduli dengan hal hal kecil seperti ini."
"Berengsek! Aku sedang bertanya apakah kamu benar melakukan itu?"
"Iya." Husea sepertinya sudah menyadari kemarahan Hansen dan dia juga menyadari ada yang tidak beres.
"Aku akan memberimu waktu selama 20 menit. Pergilah ke rumah sakit dengan membawa uang sebesar 100 juta. Setelah itu, kamu harus berlutut dan meminta maaf kepada orang tersebut!"
"Paman, ini...." Husea jelas tidak mau.
"Kalau kamu tetap ingin berjaya, lakukan saja yang aku perintahkan padamu!" kata Hansen dengan nada yang sedikit mengancam, "Selain itu, kamu juga harus mengambil foto ketika kamu berlutut dan meminta maaf kepada orang itu. Setelah itu, kirimkan foto itu padaku, aku ingin melihatnya."
Setelah dilanda keheningan selama puluhan detik, suara Husea kembali terdengar dari dalam ponsel, "Paman, apakah aku telah menyinggung putra dari salah satu sosok penting? Bocah itu sengaja datang bekerja di lokasi konstruksi untuk bekerja dan mencari tahu rasa kehidupan?"
"Kepalamu! Cepat! 20 menit!" teriak Hansen ke arah ponsel.
"Aku akan pergi sekarang, aku akan pergi sekarang," kata Husea sambil mengakhiri panggilan tersebut.
Hansen menatap ke arah Erick sambil mengulurkan tangannya, "Kamu sudah puas, 'kan? Berikan ponselmu padaku."
Erick tersenyum dan berkata, "Ketua Hansen, aku tidak bisa mempercayaimu begitu saja. Alangkah baiknya kalau kita menunggu keponakanmu yang baik itu menyelesaikan semua hal yang seharusnya dia selesaikan."
"Kamu ... apa yang ingin kamu lakukan lagi?!" Hansen tidak pernah semarah ini sebelumnya dan Erick adalah orang pertama yang berani menentang dia.
Erick mengangkat bahunya dengan ringan sambil menjawab, "Aku pikir kamu boleh memakai bajumu terlebih dahulu. Aku tidak terbiasa melihat kamu telanjang dada."
Hansen lalu menatap Erick dengan tatapan yang sangat dingin, seperti mata ular yang sedang memantau mangsanya.
Wanita itu bersembunyi di balik selimut dengan ekspresi rumit di wajahnya.
Dua puluh menit kemudian, ponsel Husea pun berdering. Dia menerima panggilan tersebut dan langsung membuka mode speaker tanpa diingatkan oleh Erick.
"Paman, aku sudah di rumah sakit, aku juga sudah memberikan 100 juta kepada teman bocah itu. Tapi...." Husea kembali bertanya dengan ragu, "Paman, apakah aku harus berlutut untuk meminta maaf padanya?"
"Apakah kamu berpikir kalau aku sedang bercanda?" Hansen kembali berteriak, "Lakukan apa yang aku katakan!"
"Baik, aku... aku akan berlutut!" Husea lalu berlutut dengan enggan. Setelah itu, terdengar suaranya yang sedang meminta maaf kepada Anthony dari dalam ponsel, "Bro, aku tidak memiliki mata, maafkan aku kalau aku telah menyinggung perasaaanmu. 100 juta ini adalah biaya pengobatan dariku, terimalah."
Dari dalam ponsel juga terdengar suara Anthony yang samar, "Ini, kamu...."
Meskipun Erick tidak berada di rumah sakit, dia bisa menebak reaksi Anthony saat ini. Anthony pasti merasa terkejut dan tidak percaya akan apa yang terjadi di depannya saat ini.
Semenit kemudian, ponsel Hansen menerima sebuah pesan multimedia.
"Lihatlah, ini yang kamu inginkan, apakah kamu sudah puas?" tanya Hansen sambil mengarahkan layar ponselnya ke arah Erick.
Pada layar ponsel itu, Husea sedang berlutut di sisi kasur rumah sakit dan Anthony sedang berbaring di atas kasur tersebut. Di samping bantalnya juga terletak uang sebesar 100 juta rupiah.
Ekspresi Anthony terlihat aneh, dia terkejut dan juga bahagia, tapi dia menahan semua rasa itu dan tidak berani menunjukkannya. Ekspresi Husea juga terlihat begitu menarik. Dia terlihat sangat menolak dan begitu marah, tapi dia tetap harus berlutut di depan Anthony.
Erick tersenyum dan menjawab, "Baik, mari kita selesaikan masalah ini."
"Berikan ponselmu padaku!" kata Hansen dengan suara yang dingin.
"Baiklah," kata Erick sambil mengangkat bahunya dan menyerahkan ponselnya kepada Hansen.
Hansen menghapus video yang baru saja direkam Erick, tapi ini masih tidak bisa menghilangkan kebenciannya. Setelah menghapus video itu, dia melemparkan ponselnya ke lantai dan menginjaknya berulang kali. Ponsel milik Erick itu sudah hancur berkeping keping dan data pada kartu memori tidak lagi bisa dipulihkan dengan cara apa pun.
Erick berjalan mendekat.
Hansen berjalan mundur selangkah tanpa sadar, "Apa yang ingin kamu lakukan?"
Erick membungkuk dan mengambil kartu SIM nya sambil tersenyum dan berkata, "Jangan panik, aku hanya ingin mengambil kembali kartuku saja. Aku tidak akan mempermasalahkan kamu yang sudah merusak ponselku. Ketua Hansen, selamat tinggal!"
"Hei bocah, kalau kamu memang memiliki mental yang kuat, silakan tunggu dan lihat apa yang terjadi nanti," kata Hansen dengan acuh tak acuh.
Setelah berjalan ke arah pintu, Erick pun menolehkan kepalanya sambil menyeringai, "Ketua Hansen, aku ingin menyarankan kamu untuk menghilangkan niat balas dendammu. Saat ini, aku sudah berhasil menjebak kamu, aku tentu bisa melakukan hal yang sama lebih dari satu kali. Kamu mungkin bisa lolos kali ini, tapi tidak untuk kali kedua. Aku mungkin saja bisa menjebakmu hingga mati!"
Saat ini, Hansen tidak memasang ekspresi apa pun pada wajahnya. Setelah Erick meninggalkan tempat itu, dia pun berkata, "Beraninya kamu menjebak aku? Nak, riwayatmu akan segera tamat! Aku akan mengganti margaku kalau aku tidak bisa mengalahkanmu!"
Hansen mengambil ponselnya dan menelepon satu nomor ....
Setelah berjalan keluar dari hotel, semua amarah dan beban yang ada di dalam hati Erick telah menghilang. Dia seketika merasa begitu santai dan lega.
Satu jam kemudian, Erick pun tiba di kamar nginap Anthony. Saat ini, Erick memegang sebuah kotak ponsel. Ketika dia kembali dari Kota Macwa, dia sudah berpikir untuk membeli ponsel Iphone 6 Plus untuk Anthony dan dia telah menepati janjinya sekarang.
Setelah melihat Erick, Anthony terlihat begitu bersemangat, "Erick, apakah kamu tahu...."
Erick tersenyum dan segera memotongnya, "Aku tahu, apakah ini menyenangkan?"
"Menyenangkan sekali!" Anthony tersenyum dan berkata, "Kamu tidak melihat seperti apa wujud Husea ketika berlutut dan meminta maaf di depan aku... kamu yang melakukan semua ini, 'kan?"
Erick menepuk bahu Anthony sambil berkata, "Jangan bertanya lagi, kamu cukup mengetahui hasilnya saja. Lihatlah, ini adalah ponsel yang aku beli untukmu. Bukankah kamu sangat menginginkan ponsel berwarna emas ini? Ini sudah menjadi milikmu sekarang."
Di saat yang bersamaan, Anthony akhirnya menyadari kotak ponsel Iphone yang ada di tangan Erick. Dia tertegun sebentar dan segera menggelengkan kepala sambil berkata, "Apakah kamu sudah gila? Biaya sekolah adikmu bahkan belum dibayar dan kamu membeli ponsel untukku? Aku baru saja ingin menelepon kamu untuk datang mengambil uang di sini. Oh iya, aku cukup mengambil 40 juta dari 100 juta yang ada. Kamu boleh mengambil 60 juta yang tersisa untuk membayar uang sekolah adikmu." Setelah mengatakan itu, dia pun mengambil 3 ikat uang yang ada di samping bantalnya dan menyerahkannya kepada Erick.
Erick memegang tangannya sambil tersenyum dan berkata, "Apakah aku bisa membeli ponsel kalau aku tidak memiliki uang? Aku tidak hanya membelinya untukmu, aku juga membeli ponsel baru untuk diriku sendiri." Erick lalu mengeluarkan sebuah ponsel Xiaomi 4 dan melambaikan ponsel tersebut di depan Anthony, "Apakah kamu sudah melihatnya? Aku juga memiliki ponsel baru sekarang. Aku tidak suka Iphone, karena terasa begitu repot ketika digunakan. Aku pasti akan membeli Iphone sejak awal kalau aku memang menyukainya."
Setelah tertegun selama beberapa saat, Anthony akhirnya bertanya, "Erick, kamu... kenapa kamu tiba tiba menjadi kaya?"
Erick tersenyum dan menjawab, "Kamu tidak perlu mengkhawatirkan hal ini, kamu harus beristirahat dengan baik hingga kamu pulih nanti. Kamu boleh menyimpan semua uang ini dan membeli apa pun yang kamu mau. Aku juga sudah memberikan uang sekolah kepada adikku, kamu tidak perlu mengkhawatirkannya."
"Kamu mencuri uang?" tanya Anthony sambil membelalakkan matanya.
Erick segera menepuk kepala Anthony sambil berkata, "Omong kosong apa yang sedang kamu katakan?"
"Aduh...." Anthony berteriak kesakitan, tapi dia tetap merasa begitu bahagia di dalam hatinya.
Di saat yang bersamaan, ponsel Erick berbunyi. Dia menatap ke layar dan tertulis 'Nomor tak dikenal' pada layar ponselnya. Ketika ponselnya berdering sebanyak tiga kali, dia pun menolak panggilan tersebut.
"Siapa yang menelepon? Kenapa kamu tidak mengangkatnya?" tanya Anthony.
Erick menjawab, "Nomor tak dikenal, mungkin saja telepon dari penjual asuransi atau sejenisnya. Aku malas untuk mengangkat telepon seperti itu. Sudahlah, waktu sudah larut, aku akan kembali dulu dan sampai jumpa besok."
"Erick, aku tidak bisa menerima ponsel ini, bawalah dan berikan ponsel ini kepada Aisley saja," kata Anthony.
Erick memelototinya, "Kamu ingin dipukul lagi?"
Anthony segera menutup mulutnya, tapi diam diam berkata di dalam hatinya, "Setelah aku keluar dari rumah sakit nanti, aku akan membeli sebuah laptop MacBook untuk Aisley, agar dia bisa membawanya ke Universitas Biliard! Huh!"