Bab 15 Aku Tidak Melihat Apa Pun
Ruki langsung terbengong sesampainya di area kantor polisi.
Kantor polisi kosong melompong, hanya ada beberapa polwan yang sedang bekerja.
Ruki berjalan ke depan meja kerja seorang polwan dan menanyakan, "Della, apa yang terjadi, di mana orang orang?"
Polwan yang bernama Della itu berkata, "Sudah diutus keluar semuanya oleh Pak Martin."
"Untuk apa?"
Polwan Della menuturkan, "Beberapa orang pergi untuk menyelidiki kasus sebelumnya, beberapa orang lainnya pergi patroli, juga ada orang yang pergi untuk menangani sebuah laporan yang diterima beberapa menit yang lalu, katanya, rumah pelapor kemasukan maling."
Wajah Ruki pun memerah saking gusarnya, dia berkata dengan kesal, "Sembarangan! Atasan sudah memberikan perintah agar memecahkan kasus ini dalam waktu satu minggu, kenapa di saat ini mereka pergi menangkap maling?"
"Ehem." Martin juga muncul di dalam area kantor polisi, dia memegang sebuah cangkir porselen yang sangat mengkilap di tangannya, dia merasa senang atas penderitaan orang lain, "Della, seduhkan aku secangkir teh."
"Iya, baik." Polwan Della langsung bangkit berdiri dan pergi menyeduh teh untuk Martin, sikapnya terhadap Martin jauh lebih sopan dari pada terhadap Ruki.
Ruki berkata dengan kesal, "Pak Martin, apa maksudmu? Semua orang sudah kamu utus pergi, siapa lagi yang akan menyelidiki kasus pembunuhan Profesor Kenzo?"
Martin berkata dengan pelan, "Aku yang akan menyelidikinya. Aku sendiri yang akan membawa pasukan elit kita untuk pergi menangani kasus pembunuhan Profesor Kenzo." Martin terdiam sesaat, lalu dia tersenyum dan berkata lagi, "Bu Ruki, kamu belum pernah membawa pasukan untuk memecahkan sebuah kasus dan tidak punya pengalaman di dalam aspek ini, kamu tunggu di kantor saja dengan santai, tunggu kabar baik dariku. Aku akan berangkat setelah meminum secangkir teh ini."
"Martin! Kamu sengaja, 'kan?" Ruki bergemetaran saking gusarnya. "Aku akan melapor hal ini ke atasan!"
Martin tertawa terkekeh, "Terserah kamu, aku sendiri yang akan membawa pasukan untuk memecahkan kasus Profesor Kenzo, mau apa lagi kamu? Kalau kamu bisa, pergi sendiri saja."
"Kamu...." Ruki tidak bisa berkata kata saking kesalnya.
"Kenapa? Mungkinkah kamu tidak punya kemampuan sedikit pun untuk memecahkan kasus?" Nada bicara Martin sangat memprovokasi.
Awalnya Erick tidak ingin bersuara, saat ini dia tidak tahan lagi dan mengatakan, "Martin, kamu pikir kamu bisa menghalangi Ruki untuk memecahkan kasus? Aku kasih tahu, tidak ada gunanya. Sudah ada foto tersangka, kasus ini sudah terpecahkan setengah jalan."
Martin tertawa sinis, dia mengatakan, "Kamu yang memberikan foto dua tersangka ini, 'kan? Mana mungkin orang yang bekerja di tempat konstruksi sepertimu ini melihat tersangka pembunuhan Profesor Kenzo? Apakah perkataanmu dapat dipercaya? Apakah buktimu asli? Aku rasa, kamu pasti ingin mendapatkan hati Bu Ruki kami, jadi kamu sengaja memalsukan dua tersangka yang tidak pernah ada untuk mendekati Bu Ruki, 'kan?"
Erick juga tertawa, "Kamu jangan senang dulu, kamu baru boleh tertawa kalau Ruki sudah diturunkan jabatannya satu minggu kemudian, tapi kalau di dalam satu minggu ini Ruki berhasil memecahkan kasus dan jabatannya semakin kuat, maka aku rasa seharusnya kamu akan menangis. Awalnya aku berencana pergi menangani urusan toko, tapi orang ini sangat menyebalkan, Ruki, aku sudah memutuskan untuk membantumu memecahkan kasus." Erick menatap Ruki. "Tapi, kamu harus berjanji kepadaku, kelak kamu harus membuat orang ini menjadi penjaga tempat parkir mobil."
"Iya, aku berjanji kepadamu!" kata Ruki dengan tegas sambil tersenyum. Dia menatap Erick dengan penuh syukur dan merasa lega.
"Huh! Aku mau lihat siapa yang akan jadi penjaga tempat parkir mobil!" Senyuman sudah sirna dari wajah Martin.
Erick tidak menghiraukan Martin lagi, dia tertawa, "Ruki, ayo kita pergi."
Begitu keluar dari kantor polisi, Ruki langsung menarik Erick yang hendak berjalan ke depan itu, "Erick, terima kasih untuk ...
barusan. Kalau kamu tidak membelaku, aku pasti sudah dipermalukan."
Erick mengatakan, "Kamu ditindas orang lain, tentu saja aku harus membelamu."
Ruki mengeluarkan sebuah senyuman yang indah, dia mencoba untuk berkata, "Barusan Martin bilang, bilang kamu... mau mengejar hatiku, benarkah seperti itu?"
"Hah?" Kaki Erick seolah olah diinjak oleh seseorang. "Mana ada, aku tidak akan mengejarmu. Waktu kelas tiga SD kamu melapor kepada guru kalau aku makan permen pada jam pelajaran, setelah itu, aku pun tidak pernah bermimpi untuk mendapatkanmu lagi."
Ruki memukul Erick dan berkata dengan kesal, "Bahkan kamu masih ingat dengan masalah kelas tiga SD, dasar picik!"
Erick menghindar dari pukulan kedua Ruki, lalu dia tersenyum sambil menuturkan, "Sudahlah, sudahlah, jangan bercanda lagi, lebih baik kita pikirkan kasus itu, apa rencanamu, Ruki?"
Ruki merasa sedih, "Aku juga tidak tahu apa yang harus dilakukan, yang Martin katakan itu memang benar, aku sama sekali tidak punya pengalaman dalam memecahkan kasus...." Ruki menatap Erick. "Apakah menurutmu aku sangat tidak berguna?"
Erick menghiburnya, "Kamu jangan meremehkan diri sendiri, atasan menunjukmu sebagai ketua, itu pasti karena dia percaya kepadamu. Walaupun aku masih belum menemukan keunggulanmu, atasan kalian pasti sudah mengetahui keunggulan kalian."
Ruki memelototi Erick, "Kamu sedang memujiku atau sedang menghinaku?"
Erick tertawa, dia menuturkan, "Tentu saja memujimu, sudahlah, bawa aku lihat lihat ke rumah Profesor Kenzo, aku sudah bilang akan membantumu memecahkan kasus, maka aku pasti akan melakukannya."
Ruki mengernyitkan keningnya, "Lokasi kejadian itu sudah pernah diselidiki oleh tim teknis, tapi mereka tidak menemukan apa pun, sia sia saja kita ke sana."
Erick mengatakan, "Bagaimana kalau orang tim teknis melewatkan sesuatu? Kita lihat ke sana saja, siapa tahu kita beruntung dan menemukan suatu petunjuk?"
Ruki memikirkannya untuk sesaat, "Baiklah, kita lihat lihat ke sana, lagi pula aku juga tidak tahu harus pergi ke mana untuk menangkap kedua bedebah itu."
Erick masuk ke dalam mobil Ruki, lalu dia menelepon Anthony dan menyerahkan urusan yang seharusnya dia kerjakan itu.
Anthony tersenyum sambil berkata, "Kamu tenang saja, aku bisa menangani urusan kecil itu, kamu berkencan dengan calon kakak iparku dengan tenang saja, ingat bawa kondom, haha!"
"Kondom kepalamu!" kata Erick sambil menekan suaranya, lalu dia mematikan telepon.
Sekilas, Ruki melirik Erick yang duduk di sebelahnya itu, "Kamu telepon siapa? Dia suruh kamu bawa apa?"
"Anthony, dia menyuruhku agar ingat...." Hampir saja Erick kebablasan bicara. Dia langsung berdalih, "Dia menyuruhku agar ingat bawa uang."
"Bawa uang? Bawa uang untuk apa?" Mendadak, Ruki mengeluarkan sebuah senyuman yang indah. "Erick, kamu mau traktir aku makan, ya? Bawa aku makan masakan barat saja, aku tahu ada sebuah restoran barat yang daging panggangnya sangat enak."
Erick melirik Ruki dengan kesal, "Makan kepalamu, bawa mobil dengan baik."
"Dasar pelit," gerutu Ruki. "Kakak sedang mengajarimu bagaimana cara untuk mengejar seorang wanita, kamu begitu pelit, mana ada wanita yang mau sama kamu?"
Erick, "..."
Rumah Profesor Kenzo terletak di sebuah perumahan elit, rumahnya adalah sebuah vila yang terpisah.
Istri Profesor Kenzo meninggal satu tahun yang lalu, dia tidak punya anak, tempat ini jadi rumah kosong dan terkesan sangat sunyi setelah kematiannya.
Ruki membuka garis polisi, dia membawa Erick masuk ke dalamnya. Umumnya, garis polisi tidak boleh dibuka, tapi sebagai seorang ketua, dia berhak melakukan itu, apalagi ini demi memecahkan kasus.
Ruang tamu dikemas dengan bersih, semua barang tertata rapi.
"Tempat ini dibersihkan setelah kasus terjadi? Ataukah sudah seperti ini sebelum kasus terjadi?" tanya Erick.
Ruki mengatakan, "Tempat ini sudah seperti ini saat kami mendapatkan laporan dan tiba di sini, pelayan yang memberikan laporan itu berkata kalau dia hendak membangunkan Profesor Kenzo, lalu dia baru bersih bersih, kemudian, dia pun melihat Profesor Kenzo sudah meninggal di dalam kamarnya, dengan begitu, pelayan itu pun memberikan laporan. Dia bilang dia tidak menyentuh barang apa pun lagi setelah kejadian itu."
"Bawa aku lihat ke kamar," ujar Erick.
Ruki membawa Erick ke sebuah kamar di lantai dua.
Di dalam kamar tidak terlalu berantakan, juga tidak ada bekas darah yang kentara di lantai. Sebuah sudut selimut terbuka, seolah olah pemiliknya baru saja bangun dari ranjang. Barang barang di dalam kamar juga tidak terlihat aneh, tidak ada yang rusak, juga tidak ada yang terjatuh. Membuat orang merasa seolah olah pemilik kamar ini sudah bangun dan keluar untuk menyiram tanaman atau membawa anjing jalan jalan, nanti pasti akan kembali lagi.
Satu satunya letak kejanggalan ada pada goresan cat berbentuk tubuh manusia di atas lantai kayu pinus itu, posisinya terletak di dekat jendela, itu adalah tempat di mana Profesor Kenzo dibunuh.
Ruki menghela napas dengan pelan, "Ini sedikit pun tidak terlihat seperti lokasi kejadian yang mengerikan, aku sama sekali tidak paham bagaimana dua orang tersangka itu bisa melakukannya? tidak ada sedikit pun jejak yang tertinggal."
Erick mengatakan, "Bahkan tiupan angin akan meninggalkan jejak debu, apalagi orang yang pernah ke sini? Pelaku tidak mungkin tidak meninggalkan jejak sedikit pun, hanya kalian yang belum menemukannya saja."
Ruki berkata, "Semua anggota tim teknis adalah orang yang mahir, juga ada peralatan khusus, mereka sudah memeriksa seluruh sudut vila ini dan tidak menemukan jejak apa pun, sedangkan kita tidak punya apa apa, mungkinkah kita bisa menemukan sesuatu?"
Erick tidak berdebat dengan Ruki lagi atas poin itu, dia menanyakan, "Oh iya, kalau tidak ada tanda tanda pembunuhan, kenapa kalian bisa memutuskan kalau Profesor Kenzo dibunuh?"
"Tentu saja dari tubuhnya, lehernya dipatahkan, teknik yang digunakan sangat rapi," ujar Ruki. "Kalau bukan karena ciri ciri itu, khawatirnya kami bahkan tidak dapat memutuskan apakah ini adalah kasus pembunuhan atau bukan."
"Kita bicarakan lagi usai aku melihatnya." Erick berjalan ke depan jendela, dia mengamati goresan cat berbentuk manusia di atas lantai itu dengan saksama. Satu menit kemudian, dia pun mengamatinya sambil berjongkok di lantai. Satu menit berlalu lagi, Erick bahkan tengkurap di atas lantai sambil menatap celah di lantai tersebut, wajahnya sudah hampir menempel ke lantai.
tim teknis memiliki peralatan khusus, yakni kaca pembesar, bubuk fosfor atau sejenisnya, sedangkan Erick tidak punya apa pun, tapi dia punya matanya. Selama Erick mau, dia bahkan bisa melihat debu debu yang mengambang di udara, matanya jauh lebih efektif dari pada peralatan investigasi tim teknis!
Ruki melihat Erick dengan penasaran, "Erick, apa yang sedang kamu lakukan?"
"Aku sedang mencari petunjuk." Erick berbicara sambil mendekatkan mata kirinya ke sebuah celah di lantai.
"Aku lihat kamu seperti sedang mencari semut," kata Ruki, diam diam dia mengangkat kakinya dan hendak menendang pantat Erick.
Mendadak, Erick membalikkan kepalanya, kebetulan dia melihat Ruki mengangkat kaki mau menendang pantatnya. Kaki Ruki terangkat sedikit tinggi, selain itu, dia mengenakan rok, jadi....
"Cari mati, ya?!" Wajah Ruki langsung memerah bagaikan tomat, dia bergegas menarik kembali kakinya, lalu mengapit sepasang kaki indahnya dengan erat, seolah olah takut akan ada sesuatu yang masuk ke dalamnya.
Erick juga merasa sangat canggung, dia terbatuk, "Itu, aku tidak melihat apa pun."
"Sudahlah!" Ruki merasa sangat malu, dia sangat ingin membenamkan wajahnya ke dalam sebuah celah.
Erick menutup mulutnya, tapi diam diam dia membatin, "Seberapa tebal pakaianmu juga tidak berguna kalau aku benar benar mau mengintipmu, hanya saja kamu tidak tahu...."
Suasana di dalam kamar menjadi canggung, akhirnya Erick dikalahkan oleh tatapan mata Ruki yang tajam itu, dia bangkit berdiri dan berjalan ke depan jendela. Dia memeriksa di sekitar jendela untuk sesaat, lalu dia baru membuka jendela itu.