Bab 3 Diusir
Plak....
Sebuah temparan keras mendarat di pipi Hanna begitu ia jujur kepada orangtuanya jika dirinya kini tengah berbadan dua. Apapun yang akan orangtuanya lakukan kepadanya tidak akan membuat dirinya mundur untuk mempertahankan calon anak yang ada di dalam rahimnya. Ia akan melakukan apa saja untuk melindungi calon anaknya. Sudah cukup dosa yang ia perbuat hingga akhirnya Tuhan menyadarkan dirinya dengan menghadirkan calon anak yang harus ia rawat dan jaga sepenuh hati.
"PAPA!" Teriak Shinta ketika melihat suaminya menampar anak tunggal mereka.
"Diam kamu, Shin! aku rasa ini sudah paling ringan hukuman yang aku berikan untuk Hanna. Bisa-bisanya dia tidak mau memberitahu siapa laki-laki yang sudah menghamili dia."
Shinta langsung berjalan ke arah Hanna dan ia menarik tangan anaknya untuk menjauhi Arman yang sedang marah besar. Seumur hidup Shinta, ia bahkan baru pertama kali ini melihat Arman memperlakukan anak tunggal mereka dengan begitu kejam.
"Enggak, Pa! Mama enggak akan membiarkan Hanna menjadi samsak kemarahan Papa."
"Aku tidak melenyapkan Hanna dan calon anak yang ada di dalam rahimnya saja itu sudah bagus. Kamu tahu bukan kalo Hanna kita persiapkan sejak kecil untuk meneruskan Aledra Group. Jadi bagaimana bisa dia setolol ini dengan melakukan sex bebas tanpa pengaman sampai hamil seperti ini."
"Hanna bisa melanjutkan kuliahnya nanti setelah dia melahirkan. Lagipula melakukan tindakan aborsi itu sebuah dosa besar dan bisa mengancam nyawa Hanna. Apa Papa mau kehilangan anak kita satu-satunya? Tolong ingat bagaimana perjuangan kita untuk memiliki Hanna dulu, Pa."
Mendengar kata dosa dan kemungkinan bila nyawa Hanna yang akan terancam jika melakukan aborsi, Arman mulai melunak. Ia menurunkan rasa kesalnya pada sosok Hanna yang kini terlihat menunduk dan tak berani menatapnya.
"Baik, kita tidak melakukan aborsi tapi Hanna harus keluar dari rumah ini. Papa enggak mau orang-orang tahu bahwa Hanna punya anak tapi tidak punya suami."
Shinta membalikkan tubuhnya dan ia memeluk anak perempuannya ini yang harus mengalami nasib menyedihkan seperti ini.
"Han, kamu dengarkan apa kata Papa. Nanti kamu bisa tinggal di rumah kita yang ada di Bali atau Jogja," ucap Shinta yang hanya bisa Hanna tanggapi dengan air mata yang terus mengucur dari kedua mtanya.
"Kalo anak itu lahir, Papa mau anak itu dibuang ke panti asuhan dan Hanna kembali ke sini untuk melanjutkan pendidikan."
Mendengar komentar Papanya ini, Hanna memilih mengurai pelukan Shinta. Kini ia angkat pendangannya untuk menatap Arman. Entah keberanian ini datang dari mana, namun kali ini Hanna tak merasa takut melawan kehendak Papanya.
"Sampai kapanpun juga aku enggak akan pernah menyerahkan anak ini kepada orang lain, Pa."
"Kalo begitu silahkan angkat kaki dari rumah ini dan jangan pernah kamu berpikir untuk menjadi pewaris Aledra Group kalo kamu tetap mempertahankan anak kamu."
Hanna tersenyum kala mendengar perkataan sang Papa. Jika Papanya berpikir ia akan merubah keputusannya ini, maka salah besar. Sekali ia sudah mengambil keputusan, Hanna tetap akan mempertahankannya terlebih jika keputusannya ini adalah benar.
"Baik, Pa. Aku tetap memilih mempertahankan anak ini meskipun aku tidak menjadi bagian dari keluarga ini."
Setelah mengatakan hal itu, Hanna memilih berjalan meningalkan ruang keluarga. Kepergian Hanna ini membuat beberapa asisten rumah tangga yang sudah bekerja bertahun tahun bahkan ada yang sudah puluhan tahun di rumah ini merasa sedih. Air mata mereka menetes ketika menyadari bahwa sosok gadis yang ceria, ramah dan baik hati itu akan pergi meninggalkan rumah ini. Kala Shinta mulai berjalan menuju ke arah kamar utama, semua orang yang sedang mengintip ini segera bubar karena mereka tidak mau tingkah kepo mereka diketahui oleh sang majikan.
Di dalam kamarnya, Hanna kembali mengepak barang-barang yang baru ia keluarkan dua hari lalu. Ia tidak tahu dirinya harus pergi ke mana saat ini yang jelas ia harus keluar dulu dari rumah ini agar calon anaknya aman.
Ceklek....
Suara pintu kamar yang dibuka membuat Hanna menoleh. Ia bisa melihat Mamanya yang sedang berjalan ke arahnya. Meskipun Mamanya mencoba terlihat tegar, namun Hanna bisa melihat kegundahan hati di wajahnya. Hanna memilih diam dan membiarkan Mamanya sampai di dekatnya. Begitu Mamanya sampai di sana, ia memberikan sebuah amplop coklat yang Hanna tahu berisi uang. Hanna hanya menatap amplop itu, namun gerakan tangan Mamanya yang memindahkan amplop itu ke tangannya membuat Hanna hampir menangis kembali saat ini.
"Mama kagum sama kamu, Han. Apapun yang dunia katakan tentang kamu, kamu tetaplah anak Mama sampai kapanpun. Mama bangga dengan pilihan yang sudah kamu buat. Gunakan uang ini untuk biaya hidup kamu dan cucu Mama."
Hanna tidak bisa menahan tanggul air matanya agar tidak jebol. Sambil terisak, ia mengucapkan maaf dan terimakasih kepada Mamanya.
"Maaf kalo aku mengecewakan Mama. Tapi aku enggak mau menambah dosa lagi, Ma. Terimakasih sudah menjadi ibu yang baik untuk aku selama ini."
"Sudah kewajiban Mama, Han karena Mama yang menginginkan kamu hadir di dunia ini. Mama cuma berharap kamu akan kembali ke rumah ini suatu hari nanti. Mama ingin melihat anak kamu tumbuh besar di sini. Semoga kemarahan Papa kamu akan hilang dalam waktu dekat. Mama ingin kita berkumpul seperti kemarin sebelum kamu tinggal di Amerika."
Hanna menghapus air matanya dan ia memeluk Mamanya untuk yang terakhir kalinya sebelum ia meninggalkan rumah. Setelah beberapa saat memeluk sang Mama, akhirnya Hanna mengurainya.
Meskipun berat, namun Shinta memilih untuk merelakan kepergian anaknya. Bukan karena ia tidak mencintai anaknya atau tidak bisa mempertahankannya di depan suaminya. Namun untuk saat ini, inilah yang terbaik untuk Hanna dan Arman. Sifat kedua orang itu yang sama-sama keras dan teguh pendirian tentu saja membuat mereka akan sulit tinggal di bawah satu atap. Lagipula ia bisa meminta tolong pada orang-orang kepercayaannya untuk tetap mengawasi Hanna meskipun dari jarak jauh.
Setiap langkah kaki yang Hanna lakukan sejak ia keluar dari pintu gerbang rumah orangtuanya, ia sibuk memikirkan di mana ia bisa tinggal malam ini? Baiklah, untuk satu dua hari ia bisa berada di hotel dengan uang yang ada di tangannya, namun bagaimana untuk hari-hari ke depannya. Tidak mungkin ia bisa melakukan itu. Ia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan anaknya dan melanjutkan pendidikannya setelah anaknya lahir.
***
Sudah beberapa waktu Hanna meninggalkannya dan Adit tidak pernah bisa tidur dengan tenang setiap malam. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas terlihat saat ini. Bayang-bayang Hanna yang ternyata berbohong kepadanya membuat Adit ketakutan sendiri. Demi apapun, jika tidak terpaksa, Adit tidak akan mau memberikan solusi ini untuk Hanna. Memilih melakukan aborsi tentu saja sesuatu yang Adit tahu salah besar belum lagi resiko dan dosa yang harus mereka berdua tanggung.
Adit menghela napas panjang. Daripada stress memikirkan Hanna, kali ini Adit memilih untuk pergi ke club malam bersam Luke dan pacarnya. Siapa tahu saja gemerlapnya lampu serta minuman beralkohol sedikit bisa membantu dirinya agar tidur dengan tenang malam ini.
***