Bab 8 Pekerjaan Baru
Tiga hari sudah Hanna berada di rumah sakit. Selama berada di rumah sakit ini hanya keluarga Sanusi yang terus menemaninya tanpa beranjak sama sekali meninggalkannya. Kejadian ini membuat Hanna semakin yakin untuk membuat orangtuanya menyesal karena sudah mengusirnya dikala ia membutuhkan support mereka sebagai keluarga.
Deringan suara handphonenya membuat Hanna kembali menapaki realitas. Ia menoleh ke arah sisi meja yang ada di dekat ranjang tempat tidurnya. Saat ia melihat nama si penelepon, Hanna menghela napas panjang. Kini baru ia sadari jika dirinya sudah melupakan Veranda yang berniat membantunya keluar dari probelamtika ini. Segera saja Hanna mengangkat panggilan telepon dari Veranda ini.
"Selamat siang, Bu?" sapa Hanna dengan suara ramahnya.
"Selamat siang. Han, kamu tidak ada kabar beberapa hari ini, kamu di mana? Saya mencari kamu di hotel tapi kamu tidak ada di sana."
Kini mau tidak mau Hanna menceritakan semua yang terjadi kepadanya tiga hari lalu kepada Veranda. Saat ia selesai bercerita, Veranda akhirnya meminta alamat rumah sakit tempat ia dirawat.
"Saya akan datang ke rumah sakit nanti sore sepulang dari kantor, Han."
"Ibu yakin mau datang ke tempat ini."
"Iya, karena ada sesuatu yang harus saya bicarakan sama kamu langsung."
Setelah mengatakan hal itu, Veranda segera memberikan salam perpisahan dan menutup sambungan teleponnya dengan Hanna. Kini Veranda segera beralih untuk menghubungi Dana dan mengkonfirmasi jika ia akan membicarakan keputusan mereka dua hari lalu kepada Hanna hari ini. Semoga saja Hanna mau menerima keputusan mereka ini dengan baik.
***
Sore hari ini, Hanna sudah jauh lebih sehat. Pendarahan yang ia alami juga sudah berhenti. Kemajuan kesehatannya ini terjadi karena adanya dukungan dari Sanusi dan istrinya (Rochayati yang biasa dipanggil Hanna dengan panggilan Mak Yati). Sejak ia masuk ke rumah sakit sampai dengan saat ini, pasangan suami istri itu tidak pernah meninggalkannya sama sekali. Untung saja boss Sanusi yang baru cukup baik karena membiarkan Sanusi untuk mengambil cuti selama beberapa hari ini.
"Enggak usah jalan-jalan dulu, Mbak Hanna. Duduk aja di kasur."
"Saya sudah sehat, Mak. Besok kalo saya sudah keluar dari rumah sakit ini, Mak Yati sama Pak Sanusi bisa kembali ke rutinitas seperti biasa," tutur Hanna sambil melihat ke arah luar jendela rumah sakit ini yang memperlihatkan kemacetan jalan di depannya.
Yati menggelengkan kepalanya. "Saya sudah sepakat sama bapak, kalo ke manapun Mbak Hanna pergi, saya akan menemani. Nanti biar bapak yang kerja untuk memenuhi kebutuhan kita."
Baru juga Hanna akan menolak tawaran dari Yati ini, namun suara perempuan yang memanggil namanya membuat Hanna menoleh. Saat ia menoleh, sosok Veranda sudah berdiri di dekat pintu masuk ruang perawatannya. Seketika Hanna tersenyum dan mempersilahkan Veranda masuk. Begitu Veranda sudah ada di dekat Hanna ia berikan parcel buah yang ia beli di supermarket dekat rumah sakit ini. Menyadari jika Hanna membutuhkan waktu berdua saja dengan Veranda, akhirnya Yati memilih untuk pamit keluar dari ruangan ini. Sepeninggal Yati, Hanna mengajak Veranda menuju ke balkon yang ada di ruang perawatannya. Ia ajak Veranda duduk di kursi kayu panjang yang ada di sana. Meskipun ruangan ini bukan VVIP, namun Hanna bersyukur karena sore hari ini teras ini cukup sepi. Sepertinya pengunjung lain sedang tidak menerima kunjungan dari para keluarga serta teman-temannya.
Beberapa menit mereka sama-sama terdiam hingga akhirnya Veranda memilih memulai semua pembicaraan ini. Toh, ia tahu jika kemungkinan besar Hanna tidak bisa berpikir dengan dingin dan memilih jalan apa yang terbaik untuk hidupnya saat ini.
"Apakah dokter sudah memberitahu kamu tentang rencana kepulangan kamu dari rumah sakit ini?"
"Dokter bilang kalo semua baik, dua hari lagi saya sudah boleh pulang, Bu. Apakah ibu tetap membolehkan saya untuk tinggal bersama dengan ibu?"
Veranda menganggukkan kepalanya. Sementara waktu memang Hanna harus tinggal di rumahnya yang ada di Jakarta karena ia membutuhkan kontrol ke rumah sakit beberapa hari setelah ia diperbolehkan pulang.
"Terimakasih, Bu."
"Sama-sama, Hanna. Untuk sementara waktu, saya akan menampung kamu di rumah pribadi saya di Jakarta. Nantinya jika dokter sudah mengatakan janin kamu sudah cukup kuat dan kamu dalam kondisi sehat, saya akan mengantarkan kamu untuk tinggal di rumah saya yang ada di Klaten."
satu detik...
dua detik...
tiga detik....
Hanna diam dengan mulut sedikit terbuka. Klaten? Ia belum pernah merasakan menginap di kota ini sehingga dirinya belum memiliki gambaran sama sekali akan seperti apa kehidupan yang dirinya akan jalani di sana.
"Klaten itu kabupaten di Jawa Tengah yang ada di dekat Solo dan Jogja, Bu?"
"Iya. Saya rasa kota kecil itu cukup aman sebagai rumah aman untuk kamu. Jika kamu ingin melahirkan pun fasilitas di kota itu cukup lengkap, harga makanan juga masih sangat ramah di kantong. Kamu bisa hidup dengan cukup hemat di sana, meskipun kalo kamu butuh hiburan seperti jalan-jalan ke Mall, kamu harus ke Jogja atau ke Solo dulu."
Hanna tersenyum. Tidak.... ia tidak butuh beredar apalagi beredar di mall. Jika bisa berada di dalam rumah saja itu sudah cukup untuknya terlebih sampai ia melahirkan nantinya.
"Saya tidak butuh jalan-jalan di Mall. Saya hanya butuh kampus yang bisa dijangkau dari tempat tinggal saya nantinya. Saya berpikir untuk meneruskan pendidikan saya setelah saya melahirkan kelak."
"Kamu bisa kuliah di Solo atau Jogja. Ada kereta lokal yang beroperasi dari Jogja sampai Solo setiap harinya. Meskipun berdesak-desakan setiap kali kamu mau berangkat dan pulang, tapi biayanya cukup murah."
"Saya tidak mempermasalahkan hal itu, Bu. Terimakasih atas semua bantuan ibu selama ini untuk saya dan calon anak saya. Sampai kapanpun itu, saya tidak akan pernah melupakan kebaikan ibu."
Veranda tesenyum mendengar perkataan Hanna ini. Ia segera memeluk wanita muda yang duduk di sampingnya ini. Di dalam hati Veranda ia merasa bersyukur karena dirinya sudah berhasil menyelamatkan satu kehidupan wanita dan calon anaknya lagi.
***
Satu minggu setelah dirinya keluar dari rumah sakit, kini Hanna sudah berada di kota Klaten. Dirinya tinggal di sebuah rumah yang tidak terlalu besar dengan tiga kamar tidur. Di sekelilingnya di kelilingi oleh sawah dan cukup sepi setiap malam hari. Sekitar lima ratus meter dari rumahnya terdapat perlintas rel kerta api yang membuat Hanna masih terkaget-kaget karena kadang ia masih mendengar suara klakson kereta. Untung saja Veranda mengijinkannya untuk mengajak Yati tinggal di rumah ini, sedangkan Sanusi memilih untuk tetap bekerja di Jakarta dan akan pulang ke rumah ini sebulan sekali. Di sini, Hanna harus membuat sebuah usaha yang minimal bisa ia gunakan uangnya untuk kehidupan hariannya. Tidak harus besar namun cukup untuk menghidupi dirinya dan Yati tanpa harus menggantungkan semuanya pada Sanusi.
"Mak, usaha apa yang bisa kita lakukan di sini untuk menyambung hidup?"
"Duh, Mbak... kita ini tinggal di desa yang sekeliling kita cuma sawah, jalan di depan rumah juga cuma jalan pedesaan yang lewat juga orang-orang mau ke sawah sebagian besar."
Hanna menghela napas panjang. "Tapi saya enggak bisa menggantungkan hidup ke Pak San. Saya mau kerja buat biaya hidup saya dan anak saya nanti."
Yati berpikir sebentar hingga akhirnya ia memiliki ide untuk mempertemukan Hanna dengan Dana yang merupakan boss baru suaminya. Siapa tahu saja Dana bisa membantu Hanna mencari solusi terbaik untuk saat ini. Minimal Dana bisa memberikan pekerjaan part time yang dikerjakan dari rumah menggunakan laptop saja. Karena jika harus datang ke tempat sangat tidak mungkin dilakukan oleh Hanna yang semakin hari perutnya akan semakin besar ditambah ia tinggal jauh dari Jakarta.
"Kata suami saya, Minggu depan bossnya ada acara di Jogja. Kita bisa berupaya untuk minta kerjaan sama dia saja."
"Apa bisa, Mak?"
"Duh, Mbak Hanna ini gimana, enggak peduli sekarang sudah jaman modern, tapi rata-rata lowongan pekerjaan bagus itu tidak akan di share secara terbuka, karena kebanyakan orang mencarinya lewat relasi saja dan orang yang memberi lapangan pekerjaan kebanyakan akan lebih percaya pada rekomendasi orang-orang terdekatnya daripada orang yang baru dikenalnya."
Hanna menganggukkan kepalanya. Inilah saatnya ia membangun kehidupan barunya lagi tanpa embel-embel nama keluarga besarnya. Jika ini memang jalan rezeki untuk dirinya dan anaknya, maka Hanna akan mencobanya. Setidaknya ia bisa tetap berpenghasilan.
***
Hanna duduk di kursi yang ada di pinggiran jalan Malioboro sambil menunggu kabar dari Sanusi mengenai selesainya acara pertemuan bossnya dengan client-nya di dalam hotel yang ada di kawasan Malioboro ini. Meskipun lelah setelah berdesak-desakan menggunakan kereta Prambanan Express dari Stasiun Klaten sampai dengan Stasiun Tugu Yogyakarta, namun Hanna tak mau menyerah. Apalagi menurut Sanusi boss-nya setuju untuk memberikan pekerjaan pada Hanna meskipun gaji yang diberikan tidak bisa terlalu besar. Lagipula Hanna hanya dipekerjakan secara pribadi oleh Bossnya bukan secara resmi menjadi karyawan di perusahaan. Apapun itu akan Hanna lakukan demi calon anaknya.
"Mbak Hanna, ayo kita ke dalam," ajak Yati yang membuat Hanna menoleh ke arahnya.
"Iya, Mak."
Hanna segera berdiri dan berjalan masuk ke halaman hotel ini. Saat ia sampai di lobby, Sanusi sudah menunggunya di sana. Segera saja Sanusi mengajak Hanna untuk menuju restoran hotel ini karena Dana sudah menunggunya. Begitu memasuki area restoran hotel dan Sanusi menunjuk di mana boss-nya duduk, Hanna cukup terkejut karena boss Sanusi ini masih terlihat muda. Hanna yakin usianya masih di bawah 30 tahun dengan tinggi sekitar 180 centimeter, penampilannya juga terlihat cukup santai namun tetap rapi. Saat laki-laki itu mengangkat gelas kopi dan menyeruputnya dengan pelan, sebuah alarm di dalam kepala Hanna berbunyi. WASPADA! Laki-laki ini bukan laki-laki biasanya. Karena kemungkinan setiap kali ia mengerlingkan matanya saja, wanita bisa klepek-klepek dibuatnya.
Sanusi terus mengajak Hanna dan Yati mendekati meja Dana berada hingga akhirnya saat mereka sampai di dekat meja itu, dan Sanusi langsung memperkenalkan Hanna pada sosok Dana. Hanna tak bisa menutupi kekagetannya ketika mengetahui nama lengkap Dana. Danadipta Sasongko Aji. Meskipun Hanna belum mengenal keluarga mantan pacarnya secara lagsung namun Aditya sering menceritakan tentang keluarganya termasuk tentang 'Om Dana-nya' yang memiliki nama lengkap seperti apa yang Sanusi bilang kepadanya ini.
Dana yang menyadari jika Hanna sepertinya mengetahui jauh lebih banyak tentang dirinya mencoba memenangkannya dan mengatakan jika pertemuan mereka kali ini di Jogja tanpa sepengetahuan Yudhistira apalagi Aditya. Ia bahkan jujur kepada Hanna jika dirinya sudah tidak berkomunikasi selama tiga bulan ini dengan Aditya. Merasa banyak hal yang perlu dibicarakan secara empat mata berdua dengan Hanna, Dana meminta Sanusi dan istrinya untuk memberi waktu mereka berdua berbicara empat mata.
Hanna baru duduk di depan Dana setelah Sanusi dan Rochayati sudah pergi dari restoran hotel ini. Kali ini dirinya sudah memasang pagar setinggi mungkin untuk menangkis serangan Dana jika saja Dana akan memaksanya untuk menggugurkan kandungannya.
"Sepertinya kamu sudah tahu siapa saya," ucap Dana tanpa basa basi karena ia bisa melihat Hanna yang melihatnya dengan begitu waspada.
"Saya cuma tahu jika anda adalah paman dari laki-laki yang sudah menghancurkan hidup saya. Jika anda berpikir saya akan mau menggugurkan kandungan saya demi melindungi nama baik keluarga anda, maka anda salah besar. Saya akan tetap mempertahankan anak ini sampai kapanpun."
"Bagus kalo begitu. Jaga calon cucu saya baik-baik. Hiduplah dengan baik di tempatmu saat ini. Saya akan memberi kamu pekerjaan agar kamu bisa memenuhi kebutuhan anak kamu."
Hanna menggelengkan kepalanya. Ia tak mau anaknya 'diberi makan' menggunakan uang keluarga mantan pacarnya itu. "Maaf, saya tidak bisa menerima itu. Saya tidak mau menerima belas kasihan anda apalagi yang berasal dari keluarga Aji."
"Saya memahami pilihan kamu, karena itu kamu bekerja untuk saya bukan untuk mengurusi perusahaan keluarga saya. Kebetulan saya memiliki beberapa villa di Bali dan Lombok. Itu semua tidak ada hubungannya dengan keluarga saya. Kamu bisa handle semua adminstrasinya jika mau. Karena bulan depan admin saya resign."
Hanna terseyum sinis. Ia tidak akan mudah percaya begitu saja. "Itu cuma alasan saja."
"Kamu bisa menghubungi Nyoman sendiri. Jika kamu memang mau untuk menggantikan tugas dia, sekalian saja kamu minta dia ajari kamu mumpung dia masih berada di Bali."
"Saya tidak bisa ke Bali."
"Kamu bisa pakai skype untuk berkomunikasi dengan Nyoman."
Hanna diam dan ia mencoba mempertimbangkan semua ini. Hingga akhirnya ia mengajukan satu syarat pada Dana. "Baiklah, saya akan mencoba menerima pekerjaan ini dengan satu syarat."
Dana tertawa mendengar perkataan Hanna. Bagaimana bisa dirinya sebagai pihak pemberi pekerjaan justru dipaksa untuk menuruti permintaan si pencari kerja. Sungguh, Hanna benar-benar membuatnya tertawa dengan semua ini. Pantas saja Aditya begitu tergila-gila pada perempuan ini hingga memutuskan untuk merubah lokasi kuliahnya. Ternyata Hanna memiliki sisi keras kepala yang cukup menarik bagi laki-laki.
"Bukannya seharusnya saya yang memberikan kamu syarat?"
"Terserah mau diterima atau tidak. Jika tidak, saya tidak masalah jika tidak mendapatkan pekerjaan dari anda."
Astaga...
Kesombongan Hanna ini benar-benar membuat Dana cukup terkejut. Sepertinya rasa sakit hatinya pada kelakuan Aditya mengubahnya sedemikian drastisnya. Hanna yang menurut Sanusi lemah lembut dan ramah ini menjadi seperti ini karena kelakuan Aditya yang sangat laknat itu.
"Ok, apa syarat yang harus saya penuhi?"
"Jangan pernah memberitahu Aditya bahkan keluarga anda mengenai saya sampai kapanpun itu. Saya tidak mau ada orang yang tahu jika kita saling mengenal."
Dana menganggukkan kepalanya. Kini dirinya ulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Hanna. Hanna tidak langsung menerima jabat tangan itu, ia berpikir beberapa detik terlebih dahulu hingga akhirnya ia terima jabat tangan Dana. Setidaknya mulai saat ini dirinya memiliki orang yang bisa ia manfaatkan sebagai mata-mata untuk mengantisipasi langkah yang kemungkinan akan diambil oleh Aditya. Karena sejak beberapa hari lalu, email Hanna sudah dipenuhi oleh pesan dari Aditya yang terus mencari keberadaannya tiada henti hingga dirinya mengganti nomer telepon, handphone blackberry-nya hingga mengganti email resmi yang selama ini ia gunakan.
***