Bab 9 Golongan Darah Berbeda

Hari berganti hari hingga tak terasa bulan pun terus berganti sampai akhirnya kini usia kandungan Hanna sudah memasuki 39 minggu. Usia di mana ia bisa melahirkan kapan saja. Selama masa kehamilan ini dirinya tetap tinggal bersama dengan Yati di rumah Veranda. Dirinya juga tetap masih bekerja dengan Dana. Hubungan mereka selama ini juga cukup baik dan dekat layaknya teman. Namun bagi Hanna, Dana tetaplah sosok teman dan tidak akan pernah lebih dari itu. Meskipun Dana pernah memberikan tawaran kepadanya untuk menikah agar anak yang ia lahirkan kelak tetap memiliki ayah di akta kelahirannya, tapi Hanna tetap tidak mau menerima tawaran itu. Bagi Hanna hal itu bukan sesuatu yang wajib untuk dilakukan. Buat apa ada nama Ayah di akta kelahiran anak namun si anak tidak mendapatkan kasih sayang yang seharusnya ia dapatkan dari ayahnya. Di sisi lain Hanna tak mau menambah ruwet kehidupannya di kemudian hari karena memanipulasi data asal usul anaknya. Biarkan kelak ketika anaknya dewasa, ia akan menceritakan semuanya saat dirinya sudah siap dengan konsekuensinya yang mungkin akan membuat anaknya malu memiliki ibu seperti dirinya. Minggu ini Hanna bahkan memilih untuk tinggal di sebuah kost harian yang lokasinya dekat dengan rumah sakit tempat ia akan melahirkan kelak. Rumah sakit yang Hanna pilih berada di kabupaten Sleman yang tidak terlalu jauh dari rumahnya yang berada di kabupaten Klaten. Cukup 20 menit perjalanan untuk sampai di rumah sakit itu dari rumahnya ini. Deringan suara handphone Hanna membuat Hanna menghela napas panjang. Ia tahu pasti siapa yang meneleponnya. Benar saja saat ia melirik nama si penelepon ternyata adalah Dana, segera saja Hanna mengangkatnya. "Hallo," sapa Hanna ramah. "Han, aku enggak bisa temani kamu melahirkan. Aditya balik ke Indonesia hari ini sampai sebulan ke depan." Mampus... Cukup dengan mendengar berita ini saja, Hanna menjadi overthingking dibuatnya. Bagaimana bisa di saat mau melahirkan, dirinya justru harus memikirkan untuk menyembunyikan dirinya serapat mungkin jangan sampai Aditya mengendus keberadaannya saat ini. "Enggak pa-pa kali, Dan. Aku lahiran sama Mak Yati. Pak Sanusi biar di Jakarta aja sama kamu." "Enggak, Pak San rencananya akan aku suruh balik ke Klaten hari ini. Kamu tenang aja, Adit enggak akan tahu lokasi kamu berada. Aku akan ajak dia stay di Bali dan Jakarta selama liburan dia kali ini." "Terserah kamu aja. Kamu yang lebih tahu baiknya gimana." Setelah itu Hanna segera menutup sambungan teleponnya karena Mak Yati sudah memanggilnya untuk ke depan. Mobil rental yang akan membawanya ke Jogja sudah tiba saat ini. *** Selama tiga hari berada di penginapan, akhirnya Hanna merasakan perutnya terasa mulas dan pinggangnya seperti mau copot. Rasa mulasnya bahkan datang dan pergi dengan durasi tidak sampai lima menit sekali. Setelah pipis saja, Hanna bisa melihat jika terdapat lendir bercampur darah di celana dalam khusus ibu hamil yang ia kenakan. Fix, ia harus segera ke rumah sakit secepatnya. Segera saja ia membangunkan Mak Yati yang malam ini sudah tidur lebih dulu daripada dirinya di kamar sebelah. "Mak.... Mak Yati, bangun, Mak." Hanna mencoba membangunkan Yati. "Kenapa, Mbak?" "Sepertinya aku sudah mau melahirkan. Bisa kita jalan ke rumah sakit sekarang?" Tanya Hanna kepada Rochayati. Mendengar penuturan Hanna ini, rasa kantuk yang masih Yati rasakan pada dirinya hilang seketika. Ia segera bangun. Begitu melihat Yati bangun, Hanna segera berdiri dari sisi ranjang yang ia duduki. "Mak, saya ambil koper saya dulu di kamar." Yati menganggukkan kepalanya. Setelah Hanna keluar dari kamarnya ini, Yati segera berdiri dan mengganti daster lusuh yang ia kenakan dengan celana panjang hitam serta baju lengan panjang. Tidak sampai sepuluh menit setelahnya, akhirnya Hanna sampai di depan kamar penginapannya. "Mbak, kita panggil taxi saja, ya?" usul Yati kala melihat wajah Hanna yang tampak lebih pucat daripada tadi kala Hanna membangunkannya. Hanna menggelengkan kepalanya. Ia tahu bahwa pembukaan komplit tidak akan terjadi dalam waktu satu jam ke depan. Entah apakah ia sudah mengalami pembukaan atau belum, namun berjalan kaki lebih efektif untuk mempercepat proses itu. "Tapi nanti kalo brojol di jalan gimana, Mbak?" Yati mulai panik dengan pilihan Hanna ini. "Enggak, Mak. Saya masih kuat jalan kaki. Lagipula cuma jalan kaki sekitar satu kilometer aja. Lebih baik kita segera berangkat sekarang saja." Setelah mengatakan itu, Hanna menyerahkan koper berisi perlengkapan dirinya dan calon anaknya kepada Yati. Selama lima bulan ini, Hanna sudah mengetahui jika calon anaknya berjenis kelamin laki-laki dari USG rutin bulanan yang ia lakukan. Setelah berjalan selama dua ratus meter dari lokasi penginapannya kali ini, Hanna menghentikan langkahnya karena rasanya perutnya mulai mulas kembali. Bahkan untuk berjalan pun rasanya seperti ada yang mengganjal diantara kedua kakinya. "Mbak, saya panggilkan Mas-Mas yang pada nongkrong di warmindo sana biar diantar ke rumah sakit, ya?" Dengan tegas Hanna menolaknya. Ia masih sanggup dan ia akan terus berupaya semampunya. Ia tak mau terlalu lama tidur di atas ranjang rumah sakit untuk menunggu kelahiran anaknya. Toh ia masih kuat meskipun apa yang ia rasakan saat ini sudah sulit dilukiskan dengan kata-kata. Kini Hanna mulai berjalan kembali meskipun dengan lebih pelan. Siapa sangka ia sudah berhasil melampaui jalan hingga pojokan gang masuk ke kampung ini. Jalan raya di depannya tampak sepi dan lampu sedikit remang-remang saat ini. Ia bahkan memilih beristirahat sambil menyenderkan punggungnya pada gapura masuk kampung ini yang setinggi dua setengah meteran. Sejujurnya saat ini Hanna merasa sudah mulai kesulitan untuk berjalan namun jika ia harus berhenti di sini dan meminta Yati memanggilkan ambulance untuk menjemputnya sangat buang-buang waktu. Lebih baik ia mencoba berjalan terus malam ini. Berjalan sekitar satu kilometer dari penginapan hingga pos satpam rumah sakit ini saja ditempuh Hanna dengan waktu satu jam karena ia berkali-kali berhenti berjalan. Saat tiba di pos satpam, satpam itu segera memanggil perawat UGD dan setelahnya Hanna sudah langsung dibawakan sebuah ranjang lalu dibawa masuk ke UGD. Kali ini Hanna meminta Yati berperan sebagai walinya untuk pengurusan administrasi. Toh Hanna sudah mem-booking paket melahirkan di rumah sakit ini sejak usia kandungannya memasuki 7 (tujuh) bulan. Saat tiba di UGD, baru Hanna sadari jika ketubannya sudah merembes. Tidak hanya itu saja, pembukaannya sudah mencapai bukaan 5 ketika sampai di sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hanna lakukan saat ini. Terlebih saat ia dibawa ke ruang untuk persalinan. Untung saja Yati setia berada di sisinya. Sanusi yang seharusnya pulang sejak tiga hari lalu tidak bisa pulang. Ia diminta untuk menemani Yudhistira ke Bandung karena supir pribadi Yudhistira sedang terkena cacar air. Kejadian ini justru membuat Hanna bersyukur karena setidaknya ia bisa melahirkan dengan nyaman tanpa merasa was-was akan datangnya keluarga Aditya bahkan Aditya sendiri di tempat ini. Entah obat apa yang disuntikkan ke infus yang terpasang di tangannya karena kini rasa sakit yang Hanna rasakan sudah tidak sehebat tadi. "Sus, apakah saya diinduksi?" tanya Hanna ketika perawat itu selesai menyuntikkan obat di infusnya. Sejujurnya Hanna takut jika ia harus diinduksi karena menurut orang-orang yang pernah mengalaminya, rasanya luar biasa sakit. Karena itu pula selama masa kehamilan ini Hanna rajin melakukan senam hamil serta hypnobirthing sejak memasuki trimester ketiga. "Tidak, Ibu. Kami hanya memberikan obat anti kejang saja. Karena hasil tes urine ibu menunjukkan protein urine ibu positif satu." What the hell is going on? Tidak mungkin 'kan dirinya ini terserang Preeklamsia? Toh selama ini dirinya menjaga kandungannya sebaik mungkin dengan rutin memeriksakan kandungan ke dokter, makan makanan bergizi, tidak lupa dirinya juga mengkonsumsi vitamin kehamilan yang diresepkan dokter secara rutin. "Kok bisa, Sus? Tiga hari lalu saya tes urine hasilnya masih negatif?" "Preekalmsia itu seperti penyakit halilintar yang bisa menyerang ibu hamil kapan saja. Penyebabnya pun berbagai macam mulai dari makanan yang dikonsumsi selama masa kehamilan, riwayat keluarga yang memiliki hipertensi hingga stress yang dialami ibu selama masa kehamilan." Hanna menghela napas panjang. Mau semua ia jalankan dengan baik, namun stress yang ia alami selama masa kehamilan ini tidak bisa ia kesampingkan juga. Toh wanita mana yang tidak stress harus menjalani masa kehamilan tanpa di dampingi pasangan. Bekerja setiap hari untuk mempersipkan biaya lahiran dan kehidupan anak kelak. Itu saja ia masih mendapatkan cibiran dari orang-orang yang menganggapnya sebagai wanita murahan karena ia hamil tanpa memiliki suami. "Tapi enggak pa-pa 'kan, Sus? Enggak bahaya buat calon anak saya?" Perawat itu tersenyum ramah kepada Hanna dan mencoba menenangkan Hanna agar Hanna tidak merasa stress dengan semua kondisi ini. Setelah beberapa saat menenangkan Hanna, perawat itu ijin untuk keluar dari kamar persalinan ini. *** Pukul 06:40 WIB, akhirnya pembukaan Hanna sudah lengkap. Kini proses persalinan secara normal akan dilakukan dengan di dampingi dokter kandungan yang selama ini merawatnya serta dokter anak yang berdiri di sampingnya dekat box bayi yang sudah ada di sana. "Ibu Hanna, jika ibu merasa mulas, tolong ibu mengejan namun jangan sampai mata ibu tertutup. Kalo rasa mulasnya hilang, ibu berhenti mengejan." "Baik, Dok," kata Hanna singkat. Tidak lama setelah itu, rasa mulas mendera perut Hanna. Hanna mencoba mengejan sesuai interupsi dokter itu. Untung saja selama mengikuti kelas senam hamil seminggu tiga kali di rumah sakit ini, Hanna diajarkan bagaimana cara mengejan dengan benar. "Ibu Hanna pandangannya kabur tidak sekarang?" tanya dokter iu ketika Hanna berhenti mengejan. "Tidak, dok." "Ok." Tidak sampai semenit kemudian rasa mulas itu datang lagi yang membuat Hanna kembali mengejan. Hanna yakin tidak terlalu lama proses persalinannya ini karena cukup dengan tiga kali mengejan, suara tangisan anaknya sudah bisa Hanna dengar kali ini. Setetes air mata meluncur di sudut mata Hanna. Akhirnya kini dirinya resmi menjadi seorang ibu. Akan ada seseorang yang harus ia jaga, didik dan besarkan mulai saat ini. Dia tidak lagi sendiri. Kini ia memiliki anaknya sebagai keluarga kandung yang akan mencintainya tanpa syarat seperti apa yang dirinya lakukan sejak mengetahui jika dirinya hamil. Ia pastikan jika dirinya akan mendidik calon anaknya sebaik mungkin. Ia tidak akan menjadi orangtua yang gila hormat hingga tak mau mendengarkan pendapat anaknya di kemudian hari. Ia akan membebaskan anaknya untuk memilih jalan hidupnya terutama dalam urusan karier tanpa campur tangan dirinya. Selama itu positif, Hanna akan terus mendukungnya. Hanna juga akan berjuang memberikan semua yang terbaik untuk anaknya mulai sekarang. Ia pastikan anaknya tidak akan kekurangan apapun di hidupnya meskipun ia tidak memiliki ayah. "Selamat, Bu. Anak ibu laki-laki," ucap dokter kandungan itu sambil mengangkat anaknya yang masih berlumuran darah. Tangis Hanna semakin tersedu-sedu karena ternyata wajahnya benar-benar miniatur Aditya bukan dirinya. Padahal selama delapan bulan ini dirinya berusaha menyingkirkan Aditya dari hidupnya namun kenyataannya justru kini Tuhan mengirimkan kembaran Aditya di hidupnya yang harus ia cintai dan jaga seumur hidupnya. Yati yang melihat air mata Hanna berlinangan segera memeluk anak mantan majikan suaminya itu. Ia ucapkan selamat dan Yati juga berjanji akan membantu Hanna merawat serta mambesarkan anaknya. *** Sinar matahari sore yang masuk melalui jendela kamar perawatan Hanna nyatanya tetap tidak membuat Hanna berhenti menangis. Ia masih menangisi keputusan Tuhan untuk membuat wajah anaknya yang mirip dengan Aditya. Karena Hanna masih seperti ini, Yati melarang pihak rumah sakit untuk memberikan bayi tampan itu kepada ibunya. Ia takut jika Hanna akan semakin sedih dibuatnya. "Mak," panggil Hanna pelan yang membuat Yati mendekatinya. "Ya, Mbak?" "Tolong antarkan saya ke ruangan bayi. Saya harus menyusui anak saya." Yati menelan salivanya. Benarkah Hanna sudah siap untuk bertemu dengan anaknya dan menjalani peran sebagai seorang ibu? "Biar saya yang minta perawat untuk membawa bayinya ke sini, Mbak." Hanna menggelengkan kepalanya. "Enggak, Mak. Biar saya yang ke sana." Rochayati menghela napas panjang. Kini ia segera membantu Hanna turun dari atas ranjangnya. Meskipun Yati menawarkan mengambilkan kursi roda, namun Hanna menolak hal itu sehingga Yati menggandeng Hanna untuk berjalan ke ruangan bayi. Dikarenakan hanya ibu bayi saja yang bisa masuk ke ruangan ini, maka Yati menunggu Hanna di depan ruangan itu. Begitu sudah memasuki ruangan bayi ini yang untuk masuk saja harus dibantu satpam membukanya menggunakan sandi, Hanna cukup terkesima karena ruangan yang awalnya ia kira sepi ini ternyata cukup banyak dipenuhi dengan ruangan-ruangan lagi di sisi kiri dan kanannya. Mulai dari ruangan yang berisi beberapa bayi dengan kondisi kesehatan bayinya yang kurang sehat hingga beberapa alat trpasang di badannya hingga akhirnya Hanna menemukan sebuah ruangan bayi yang paling ujung. Di sana kebanyakan bayi dalam keadaan yang sepertinya sehat dan hanya beberapa yang sedang menjalani fototerapi. Begitu sampai di depan pintunya, Hanna menanyakan kepada perawat di mana anaknya berada. Perawat itu segera mengeceknya di komputer yang ada di depannya. Begitu sudah menemukannya, Hanna diajak masuk ke dalam ruangan ini. Ternyata anaknya ada di paling ujung dan sedang menjalani fototerapi. Hancur sudah perasaaan Hanna saat ini. Sekuat tenaga ia berusaha untuk tetap berdiri di sini dengan tegak. Ia tak boleh ambruk saat ini. Di depannya ada buah hatinya yang meskipun belum memahami apapun yang terjadi saat ini, namun tetap berjuang di box bayi itu seorang diri demi kesembuhannya. "Sus, kenapa anak saya ada di situ?" "Karena dari tes bilirubin yang dilakukan pada anak ibu, hasilnya menunjukkan jika angka bilirubinnya cukup tinggi." "Apa karena saya belum memberikan dia asi? Sepertinya ini semua karena kesalahan saya sebagai seorang ibu yang egois tidak mau bertemu dengan anak tadi siang." "Ibu tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Bayi itu masih membawa cadangan makanan ketika dia lahir sehingga bisa bertahan hingga tiga hari tanpa asi. Yang perlu ibu lakukan hanya bahagia dan rajin mengasi secara DBF atau pumping terlebih dahulu." Hanna ingat jika dirinya memiliki golongan darah B sedangan Aditya bergolongan darah A. Ia penasaran dengan golongan darah anaknya saat ini. Ia berharap jika anaknya bergolongan darah B seperti dirinya jika anaknya membutuhkan transfusi darah, ia bisa membantu. "Sus, kalo boleh tahu anak saya golongan darahnya apa, ya?" Perawat itu melihat data kertas yang ia bawa. Beberapa saat menunggu hingga akhirnya ia menginformasikan kepada Hanna. "Golongan darah anak ibu AB." Petir tak kasat mata seakan menyambar-nyambar di atas kepala Hanna. Pupus sudah harapannya saat ini. Ternyata Raga memiliki golongan darah yang berbeda dengan dirinya dan Aditya. "Ini beneran, Sus?" Perawat itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Kok bisa, Sus?" "Jika saya boleh tahu, golongan darah ayah biologisnya apa, Bu?" "Golongan darahnya A, Sus." "Dikarenakan orangtua bergolongan darah B dan A, maka anaknya bisa memiliki golongan darah A, B, AB bahkan O. Dan kebetulan anak ibu memiliki golongan darah AB." Hanna menganggukkan kepalanya. Kini ia ucapkan terimakasih pada perawat itu. Tanpa membuang waktu lagi, ia melangkahkan kakinya lagi untuk lebih dekat dengan box bayi tempat anaknya dirawat saat ini. Hanna berdiri di sana sambil menatap anaknya yang hanya mengenakan diapers bayi berwarna putih. Setetes air mata turun membasahi pipi Hanna. Betapa bodoh dirinya yang larut dalam kesedihan hanya karena anaknya memiliki wajah yang mirip dengan Aditya. Seharusnya ia bisa tenang, toh golongan darah anaknya saja berbeda dengan ayah biologisnya itu. ***
Pengaturan
Latar belakang
Ukuran huruf
-18
Buka otomatis bab selanjutnya
Isi
Bab 1 Backstreet Bab 2 Mari Hapus Masalah Kita Bab 3 Diusir Bab 4 Kartu Nama Untuk Hanna Bab 5 Malaikat Tak Bersayap Bab 6 Hari Apes Itu Ternyata Ada Bab 7 Mari Sembunyikan Dia Bab 8 Pekerjaan Baru Bab 9 Golongan Darah Berbeda Bab 10 Djiwa Raga Semesta Bab 11 Tamu tak diundang Bab 12 Dia mau datang melayat Bab 13 Lobby Hotel Bab 14 Cerita kepada sahabat appBab 15 Kejutan Dari Raga appBab 16 Surat Wasiat Arman appBab 17 Mama di Jakarta, aku di Surabaya appBab 18 Andai aku jadi kamu appBab 19 Takut Raga Kecewa appBab 20 Suami Halu appBab 21 Setuju Pindah ke Jakarta appBab 22 Sekolah Raga appBab 23 Mencoba menutupi kenyataan appBab 24 Ternyata Dana Berbohong appBab 25 Konsultasi Hukum dengan Elang appBab 26 Mengkhawatirkan Mama appBab 27 Depan Sekolah Raga appBab 28 Insiden Pagi di Kantor Dana appBab 29 First Meet Elang with Hanna appBab 30 Berjalan Sesuai Rencana appBab 31 Damai Bersyarat appBab 32 Memberitahu kenyataan yang sebenarnya appBab 33 Menolak Beasiswa appBab 34 Bandara appBab 35 Dia anak kamu! appBab 36 Rumah Sakit appBab 37 Dia tahu dari siapa? appBab 38 Informasi tentang Hanna appBab 39 Kantor Hanna appBab 40 Jujur kepada Lisa appBab 41 Memberitahu Yudhis appBab 42 Konfilk di pertemuan pertama appBab 43 Harus Minta Izin Raga Dulu appBab 44 Terbiasa Mandiri appBab 45 Semua Salah Aku appBab 46 Jangan buru-buru appBab 47 Meminta keterangan dari Dana appBab 48 Surat Pengunduran Diri Dana appBab 49 Nasib Sial Malik appBab 50 Ini Semua Permintaan Raga appBab 51 Jadi Papaku ya, Om? appBab 52 Gosip Panas di Kantor appBab 53 Bertemu Pradnya appBab 54 Rencana Ulang Tahun Perusahaan appBab 55 Ulang Tahun Aledra Group appBab 56 Acara Lelang appBab 57 Kebohongan Besar Untuk Menutupi Kenyataan appBab 58 Sudah Tahu Sejak Lama appBab 59 Curhatan Hanna appBab 60 Berkenalan dengan Lapak Dosa appBab 61 Curhatan Raga Kepada Elang appBab 62 Usaha Membuat Orangtua Adit Ilfeel appBab 63 Akhirnya aku tidak nyaman sendiri appBab 64 Informasi Kegiatan Hari Ayah appBab 65 Makan Malam Pertama appBab 66 Mencoba meminta kesempatan appBab 67 Saya Ayahnya Raga appBab 68 Perjalanan ke Lembang appBab 69 Act of Service appBab 70 Sekamar Bersama Adit appBab 71 Apakah ini yang aku rindukan? appBab 72 Bersilaturahmi di Atas Ranjang appBab 73 Pembukaan Acara appBab 74 Tidak Mau Tidur Seranjang appBab 75 Pengakuan kepada Raga appBab 76 Ajakan Nongkrong appBab 77 Nongkrong Bersama Penghuni Lapak Dosa appBab 78 Tentang Permintaan Dinner appBab 79 Perdebatan di Dapur Rumah Hanna appBab 80 Bersedia yang bersyarat appBab 81 Mari bicara baik-baik appBab 82 Terpaksa Mengintimidasi dan Mengancam appBab 83 Pecel Lele appBab 84 Adit Sakit appBab 85 Penthouse Adit appBab 86 Opname appBab 87 Tidak Harus Cincin appBab 88 Perasaan Khawatir appBab 89 Hujan, Guntur dan Petir appBab 90 Bukan Seperti Ini Yang Aku Mau appBab 91 Tentang Lean yang harus kamu tahu appBab 92 Mari Kita Menyombongkan Adit di Depan Raga appBab 93 Villa Adit appBab 94 Khayalan kita jadi kenyataan appBab 95 Omelan Elang untuk Raga appBab 96 Ternyata Kita Bisa Akur appBab 97 Alergi Udang appBab 98 Maaf Terlalu Overthingking Selama Ini appBab 99 Tulus Atau Napsu appBab 100 Kenapa Adit Marah? appBab 101 Aku Cemburu appBab 102 She said Yes appBab 103 Menginap di Penthouse Adit appBab 104 Pagi bersama Hanna appBab 105 Perdebatan Hanna dengan Shinta appBab 106 Adit vs Shinta appBab 107 Menghajar Teman Sekolah appBab 108 Di depan temannya dan di depanku berbeda appBab 109 Merasa dibohongi appBab 110 Ternyata Kamu Juga Tahu appBab 111 Mabuk appBab 112 Setelah mabuk appBab 113 Undangan Untuk Shinta appBab 114 Akhirnya dia panggil aku Papa appBab 115 Satu Bantuan appBab 116 Mengalah pada pilihan Adit appBab 117 Time So Fast appBab 118 Operasinya Berjalan Lancar appBab 119 Namanya saja Lapak Dosa appBab 120 Peringatan dari Adit untuk Bejo appBab 121 Selamat Jalan, Ma appBab 122 Mari Kita Buat Mama Bahagia appBab 123 Kamar romantis yang sia-sia appBab 124 Suka Lupa Tempat appBab 125 Menunggu satu tahun lagi appBab 126 Nikah dan kawin itu berbeda appBab 127 Jangan Keterlaluan Jadi Orangtua appBab 128 Lingerie Satin di Pagi Hari appBab 129 Hanna yang terlalu kolot appBab 130 Manjanya ke Papa Aja appBab 131 Satu Hari bersama Hanna dan Raga appBab 132 Pinangan di Hutan Pinus appBab 133 Elang Galau appBab 134 Mencari tahu mengenai masa lalu appBab 135 Pengunduran diri Bejo appBab 136 Ruang Makan Rumah Elang appBab 137 Kembali ke Perusahaan appBab 138 Sebagai Relasi Bisnis appBab 139 Menemani Raga appBab 140 Bikin Mama Cemburu appBab 141 Suasana Pagi di Guest House appBab 142 Piknik appBab 143 Mencari Surat Pengantar Nikah appBab 144 Mencoba Memahami Keinginan Lisa appBab 145 Bertemu Dengan Vendor WO appBab 146 Mari Kita Diskusikan Berdua appBab 147 Menemani Wilson Berduka appBab 148 Pemakaman Chava appBab 149 Demi Wilson Rela Tinggal di Penthouse appBab 150 Kita Sandiwara Aja appBab 151 Permintaan Mama dan Papa appBab 152 Bekerja Sekaligus Prewedding appBab 153 Kabar Bahagia Mendadak appBab 154 Sederhana Tapi Berkesan appBab 155 Goa Jomblang appBab 156 Kalisuci Cave Tubing appBab 157 Andai Dia Ada di Sini appBab 158 Dapat Restu Tinggal Bersama Wilson appBab 159 Pertemuan terakhir sebelum dipingit appBab 160 Liburan Tanpa Pasangan appBab 161 Sah appBab 162 Hari Pertama Jadi Suami Istri appBab 163 Resepsi Pernikahan appBab 164 Diskusi Anak dan Orangtua appBab 165 Honeymoon app
Tambahkan ke Perpustakaan
Joyread
UNION READ LIMITED
Room 1607, Tower 3, Phase 1 Enterprise Square 9 Sheung Yuet Road Kowloon Bay Hong Kong
Hak cipta@ Joyread. Seluruh Hak Cipta