Bab 9 Golongan Darah Berbeda
Hari berganti hari hingga tak terasa bulan pun terus berganti sampai akhirnya kini usia kandungan Hanna sudah memasuki 39 minggu. Usia di mana ia bisa melahirkan kapan saja. Selama masa kehamilan ini dirinya tetap tinggal bersama dengan Yati di rumah Veranda. Dirinya juga tetap masih bekerja dengan Dana. Hubungan mereka selama ini juga cukup baik dan dekat layaknya teman. Namun bagi Hanna, Dana tetaplah sosok teman dan tidak akan pernah lebih dari itu. Meskipun Dana pernah memberikan tawaran kepadanya untuk menikah agar anak yang ia lahirkan kelak tetap memiliki ayah di akta kelahirannya, tapi Hanna tetap tidak mau menerima tawaran itu. Bagi Hanna hal itu bukan sesuatu yang wajib untuk dilakukan. Buat apa ada nama Ayah di akta kelahiran anak namun si anak tidak mendapatkan kasih sayang yang seharusnya ia dapatkan dari ayahnya. Di sisi lain Hanna tak mau menambah ruwet kehidupannya di kemudian hari karena memanipulasi data asal usul anaknya. Biarkan kelak ketika anaknya dewasa, ia akan menceritakan semuanya saat dirinya sudah siap dengan konsekuensinya yang mungkin akan membuat anaknya malu memiliki ibu seperti dirinya.
Minggu ini Hanna bahkan memilih untuk tinggal di sebuah kost harian yang lokasinya dekat dengan rumah sakit tempat ia akan melahirkan kelak. Rumah sakit yang Hanna pilih berada di kabupaten Sleman yang tidak terlalu jauh dari rumahnya yang berada di kabupaten Klaten. Cukup 20 menit perjalanan untuk sampai di rumah sakit itu dari rumahnya ini.
Deringan suara handphone Hanna membuat Hanna menghela napas panjang. Ia tahu pasti siapa yang meneleponnya. Benar saja saat ia melirik nama si penelepon ternyata adalah Dana, segera saja Hanna mengangkatnya.
"Hallo," sapa Hanna ramah.
"Han, aku enggak bisa temani kamu melahirkan. Aditya balik ke Indonesia hari ini sampai sebulan ke depan."
Mampus...
Cukup dengan mendengar berita ini saja, Hanna menjadi overthingking dibuatnya. Bagaimana bisa di saat mau melahirkan, dirinya justru harus memikirkan untuk menyembunyikan dirinya serapat mungkin jangan sampai Aditya mengendus keberadaannya saat ini.
"Enggak pa-pa kali, Dan. Aku lahiran sama Mak Yati. Pak Sanusi biar di Jakarta aja sama kamu."
"Enggak, Pak San rencananya akan aku suruh balik ke Klaten hari ini. Kamu tenang aja, Adit enggak akan tahu lokasi kamu berada. Aku akan ajak dia stay di Bali dan Jakarta selama liburan dia kali ini."
"Terserah kamu aja. Kamu yang lebih tahu baiknya gimana."
Setelah itu Hanna segera menutup sambungan teleponnya karena Mak Yati sudah memanggilnya untuk ke depan. Mobil rental yang akan membawanya ke Jogja sudah tiba saat ini.
***
Selama tiga hari berada di penginapan, akhirnya Hanna merasakan perutnya terasa mulas dan pinggangnya seperti mau copot. Rasa mulasnya bahkan datang dan pergi dengan durasi tidak sampai lima menit sekali. Setelah pipis saja, Hanna bisa melihat jika terdapat lendir bercampur darah di celana dalam khusus ibu hamil yang ia kenakan. Fix, ia harus segera ke rumah sakit secepatnya. Segera saja ia membangunkan Mak Yati yang malam ini sudah tidur lebih dulu daripada dirinya di kamar sebelah.
"Mak.... Mak Yati, bangun, Mak." Hanna mencoba membangunkan Yati.
"Kenapa, Mbak?"
"Sepertinya aku sudah mau melahirkan. Bisa kita jalan ke rumah sakit sekarang?" Tanya Hanna kepada Rochayati.
Mendengar penuturan Hanna ini, rasa kantuk yang masih Yati rasakan pada dirinya hilang seketika. Ia segera bangun. Begitu melihat Yati bangun, Hanna segera berdiri dari sisi ranjang yang ia duduki.
"Mak, saya ambil koper saya dulu di kamar."
Yati menganggukkan kepalanya. Setelah Hanna keluar dari kamarnya ini, Yati segera berdiri dan mengganti daster lusuh yang ia kenakan dengan celana panjang hitam serta baju lengan panjang. Tidak sampai sepuluh menit setelahnya, akhirnya Hanna sampai di depan kamar penginapannya.
"Mbak, kita panggil taxi saja, ya?" usul Yati kala melihat wajah Hanna yang tampak lebih pucat daripada tadi kala Hanna membangunkannya.
Hanna menggelengkan kepalanya. Ia tahu bahwa pembukaan komplit tidak akan terjadi dalam waktu satu jam ke depan. Entah apakah ia sudah mengalami pembukaan atau belum, namun berjalan kaki lebih efektif untuk mempercepat proses itu.
"Tapi nanti kalo brojol di jalan gimana, Mbak?" Yati mulai panik dengan pilihan Hanna ini.
"Enggak, Mak. Saya masih kuat jalan kaki. Lagipula cuma jalan kaki sekitar satu kilometer aja. Lebih baik kita segera berangkat sekarang saja."
Setelah mengatakan itu, Hanna menyerahkan koper berisi perlengkapan dirinya dan calon anaknya kepada Yati. Selama lima bulan ini, Hanna sudah mengetahui jika calon anaknya berjenis kelamin laki-laki dari USG rutin bulanan yang ia lakukan.
Setelah berjalan selama dua ratus meter dari lokasi penginapannya kali ini, Hanna menghentikan langkahnya karena rasanya perutnya mulai mulas kembali. Bahkan untuk berjalan pun rasanya seperti ada yang mengganjal diantara kedua kakinya.
"Mbak, saya panggilkan Mas-Mas yang pada nongkrong di warmindo sana biar diantar ke rumah sakit, ya?"
Dengan tegas Hanna menolaknya. Ia masih sanggup dan ia akan terus berupaya semampunya. Ia tak mau terlalu lama tidur di atas ranjang rumah sakit untuk menunggu kelahiran anaknya. Toh ia masih kuat meskipun apa yang ia rasakan saat ini sudah sulit dilukiskan dengan kata-kata. Kini Hanna mulai berjalan kembali meskipun dengan lebih pelan. Siapa sangka ia sudah berhasil melampaui jalan hingga pojokan gang masuk ke kampung ini. Jalan raya di depannya tampak sepi dan lampu sedikit remang-remang saat ini. Ia bahkan memilih beristirahat sambil menyenderkan punggungnya pada gapura masuk kampung ini yang setinggi dua setengah meteran.
Sejujurnya saat ini Hanna merasa sudah mulai kesulitan untuk berjalan namun jika ia harus berhenti di sini dan meminta Yati memanggilkan ambulance untuk menjemputnya sangat buang-buang waktu. Lebih baik ia mencoba berjalan terus malam ini. Berjalan sekitar satu kilometer dari penginapan hingga pos satpam rumah sakit ini saja ditempuh Hanna dengan waktu satu jam karena ia berkali-kali berhenti berjalan.
Saat tiba di pos satpam, satpam itu segera memanggil perawat UGD dan setelahnya Hanna sudah langsung dibawakan sebuah ranjang lalu dibawa masuk ke UGD. Kali ini Hanna meminta Yati berperan sebagai walinya untuk pengurusan administrasi. Toh Hanna sudah mem-booking paket melahirkan di rumah sakit ini sejak usia kandungannya memasuki 7 (tujuh) bulan. Saat tiba di UGD, baru Hanna sadari jika ketubannya sudah merembes. Tidak hanya itu saja, pembukaannya sudah mencapai bukaan 5 ketika sampai di sana.
Pasrah. Hanya itu yang bisa Hanna lakukan saat ini. Terlebih saat ia dibawa ke ruang untuk persalinan. Untung saja Yati setia berada di sisinya. Sanusi yang seharusnya pulang sejak tiga hari lalu tidak bisa pulang. Ia diminta untuk menemani Yudhistira ke Bandung karena supir pribadi Yudhistira sedang terkena cacar air. Kejadian ini justru membuat Hanna bersyukur karena setidaknya ia bisa melahirkan dengan nyaman tanpa merasa was-was akan datangnya keluarga Aditya bahkan Aditya sendiri di tempat ini.
Entah obat apa yang disuntikkan ke infus yang terpasang di tangannya karena kini rasa sakit yang Hanna rasakan sudah tidak sehebat tadi.
"Sus, apakah saya diinduksi?" tanya Hanna ketika perawat itu selesai menyuntikkan obat di infusnya.
Sejujurnya Hanna takut jika ia harus diinduksi karena menurut orang-orang yang pernah mengalaminya, rasanya luar biasa sakit. Karena itu pula selama masa kehamilan ini Hanna rajin melakukan senam hamil serta hypnobirthing sejak memasuki trimester ketiga.
"Tidak, Ibu. Kami hanya memberikan obat anti kejang saja. Karena hasil tes urine ibu menunjukkan protein urine ibu positif satu."
What the hell is going on?
Tidak mungkin 'kan dirinya ini terserang Preeklamsia? Toh selama ini dirinya menjaga kandungannya sebaik mungkin dengan rutin memeriksakan kandungan ke dokter, makan makanan bergizi, tidak lupa dirinya juga mengkonsumsi vitamin kehamilan yang diresepkan dokter secara rutin.
"Kok bisa, Sus? Tiga hari lalu saya tes urine hasilnya masih negatif?"
"Preekalmsia itu seperti penyakit halilintar yang bisa menyerang ibu hamil kapan saja. Penyebabnya pun berbagai macam mulai dari makanan yang dikonsumsi selama masa kehamilan, riwayat keluarga yang memiliki hipertensi hingga stress yang dialami ibu selama masa kehamilan."
Hanna menghela napas panjang. Mau semua ia jalankan dengan baik, namun stress yang ia alami selama masa kehamilan ini tidak bisa ia kesampingkan juga. Toh wanita mana yang tidak stress harus menjalani masa kehamilan tanpa di dampingi pasangan. Bekerja setiap hari untuk mempersipkan biaya lahiran dan kehidupan anak kelak. Itu saja ia masih mendapatkan cibiran dari orang-orang yang menganggapnya sebagai wanita murahan karena ia hamil tanpa memiliki suami.
"Tapi enggak pa-pa 'kan, Sus? Enggak bahaya buat calon anak saya?"
Perawat itu tersenyum ramah kepada Hanna dan mencoba menenangkan Hanna agar Hanna tidak merasa stress dengan semua kondisi ini. Setelah beberapa saat menenangkan Hanna, perawat itu ijin untuk keluar dari kamar persalinan ini.
***
Pukul 06:40 WIB, akhirnya pembukaan Hanna sudah lengkap. Kini proses persalinan secara normal akan dilakukan dengan di dampingi dokter kandungan yang selama ini merawatnya serta dokter anak yang berdiri di sampingnya dekat box bayi yang sudah ada di sana.
"Ibu Hanna, jika ibu merasa mulas, tolong ibu mengejan namun jangan sampai mata ibu tertutup. Kalo rasa mulasnya hilang, ibu berhenti mengejan."
"Baik, Dok," kata Hanna singkat.
Tidak lama setelah itu, rasa mulas mendera perut Hanna. Hanna mencoba mengejan sesuai interupsi dokter itu. Untung saja selama mengikuti kelas senam hamil seminggu tiga kali di rumah sakit ini, Hanna diajarkan bagaimana cara mengejan dengan benar.
"Ibu Hanna pandangannya kabur tidak sekarang?" tanya dokter iu ketika Hanna berhenti mengejan.
"Tidak, dok."
"Ok."
Tidak sampai semenit kemudian rasa mulas itu datang lagi yang membuat Hanna kembali mengejan. Hanna yakin tidak terlalu lama proses persalinannya ini karena cukup dengan tiga kali mengejan, suara tangisan anaknya sudah bisa Hanna dengar kali ini. Setetes air mata meluncur di sudut mata Hanna. Akhirnya kini dirinya resmi menjadi seorang ibu. Akan ada seseorang yang harus ia jaga, didik dan besarkan mulai saat ini. Dia tidak lagi sendiri. Kini ia memiliki anaknya sebagai keluarga kandung yang akan mencintainya tanpa syarat seperti apa yang dirinya lakukan sejak mengetahui jika dirinya hamil. Ia pastikan jika dirinya akan mendidik calon anaknya sebaik mungkin. Ia tidak akan menjadi orangtua yang gila hormat hingga tak mau mendengarkan pendapat anaknya di kemudian hari. Ia akan membebaskan anaknya untuk memilih jalan hidupnya terutama dalam urusan karier tanpa campur tangan dirinya. Selama itu positif, Hanna akan terus mendukungnya. Hanna juga akan berjuang memberikan semua yang terbaik untuk anaknya mulai sekarang. Ia pastikan anaknya tidak akan kekurangan apapun di hidupnya meskipun ia tidak memiliki ayah.
"Selamat, Bu. Anak ibu laki-laki," ucap dokter kandungan itu sambil mengangkat anaknya yang masih berlumuran darah.
Tangis Hanna semakin tersedu-sedu karena ternyata wajahnya benar-benar miniatur Aditya bukan dirinya. Padahal selama delapan bulan ini dirinya berusaha menyingkirkan Aditya dari hidupnya namun kenyataannya justru kini Tuhan mengirimkan kembaran Aditya di hidupnya yang harus ia cintai dan jaga seumur hidupnya.
Yati yang melihat air mata Hanna berlinangan segera memeluk anak mantan majikan suaminya itu. Ia ucapkan selamat dan Yati juga berjanji akan membantu Hanna merawat serta mambesarkan anaknya.
***
Sinar matahari sore yang masuk melalui jendela kamar perawatan Hanna nyatanya tetap tidak membuat Hanna berhenti menangis. Ia masih menangisi keputusan Tuhan untuk membuat wajah anaknya yang mirip dengan Aditya. Karena Hanna masih seperti ini, Yati melarang pihak rumah sakit untuk memberikan bayi tampan itu kepada ibunya. Ia takut jika Hanna akan semakin sedih dibuatnya.
"Mak," panggil Hanna pelan yang membuat Yati mendekatinya.
"Ya, Mbak?"
"Tolong antarkan saya ke ruangan bayi. Saya harus menyusui anak saya."
Yati menelan salivanya. Benarkah Hanna sudah siap untuk bertemu dengan anaknya dan menjalani peran sebagai seorang ibu?
"Biar saya yang minta perawat untuk membawa bayinya ke sini, Mbak."
Hanna menggelengkan kepalanya. "Enggak, Mak. Biar saya yang ke sana."
Rochayati menghela napas panjang. Kini ia segera membantu Hanna turun dari atas ranjangnya. Meskipun Yati menawarkan mengambilkan kursi roda, namun Hanna menolak hal itu sehingga Yati menggandeng Hanna untuk berjalan ke ruangan bayi. Dikarenakan hanya ibu bayi saja yang bisa masuk ke ruangan ini, maka Yati menunggu Hanna di depan ruangan itu.
Begitu sudah memasuki ruangan bayi ini yang untuk masuk saja harus dibantu satpam membukanya menggunakan sandi, Hanna cukup terkesima karena ruangan yang awalnya ia kira sepi ini ternyata cukup banyak dipenuhi dengan ruangan-ruangan lagi di sisi kiri dan kanannya. Mulai dari ruangan yang berisi beberapa bayi dengan kondisi kesehatan bayinya yang kurang sehat hingga beberapa alat trpasang di badannya hingga akhirnya Hanna menemukan sebuah ruangan bayi yang paling ujung. Di sana kebanyakan bayi dalam keadaan yang sepertinya sehat dan hanya beberapa yang sedang menjalani fototerapi.
Begitu sampai di depan pintunya, Hanna menanyakan kepada perawat di mana anaknya berada. Perawat itu segera mengeceknya di komputer yang ada di depannya. Begitu sudah menemukannya, Hanna diajak masuk ke dalam ruangan ini. Ternyata anaknya ada di paling ujung dan sedang menjalani fototerapi.
Hancur sudah perasaaan Hanna saat ini. Sekuat tenaga ia berusaha untuk tetap berdiri di sini dengan tegak. Ia tak boleh ambruk saat ini. Di depannya ada buah hatinya yang meskipun belum memahami apapun yang terjadi saat ini, namun tetap berjuang di box bayi itu seorang diri demi kesembuhannya.
"Sus, kenapa anak saya ada di situ?"
"Karena dari tes bilirubin yang dilakukan pada anak ibu, hasilnya menunjukkan jika angka bilirubinnya cukup tinggi."
"Apa karena saya belum memberikan dia asi? Sepertinya ini semua karena kesalahan saya sebagai seorang ibu yang egois tidak mau bertemu dengan anak tadi siang."
"Ibu tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Bayi itu masih membawa cadangan makanan ketika dia lahir sehingga bisa bertahan hingga tiga hari tanpa asi. Yang perlu ibu lakukan hanya bahagia dan rajin mengasi secara DBF atau pumping terlebih dahulu."
Hanna ingat jika dirinya memiliki golongan darah B sedangan Aditya bergolongan darah A. Ia penasaran dengan golongan darah anaknya saat ini. Ia berharap jika anaknya bergolongan darah B seperti dirinya jika anaknya membutuhkan transfusi darah, ia bisa membantu.
"Sus, kalo boleh tahu anak saya golongan darahnya apa, ya?"
Perawat itu melihat data kertas yang ia bawa. Beberapa saat menunggu hingga akhirnya ia menginformasikan kepada Hanna. "Golongan darah anak ibu AB."
Petir tak kasat mata seakan menyambar-nyambar di atas kepala Hanna. Pupus sudah harapannya saat ini. Ternyata Raga memiliki golongan darah yang berbeda dengan dirinya dan Aditya.
"Ini beneran, Sus?"
Perawat itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Kok bisa, Sus?"
"Jika saya boleh tahu, golongan darah ayah biologisnya apa, Bu?"
"Golongan darahnya A, Sus."
"Dikarenakan orangtua bergolongan darah B dan A, maka anaknya bisa memiliki golongan darah A, B, AB bahkan O. Dan kebetulan anak ibu memiliki golongan darah AB."
Hanna menganggukkan kepalanya. Kini ia ucapkan terimakasih pada perawat itu. Tanpa membuang waktu lagi, ia melangkahkan kakinya lagi untuk lebih dekat dengan box bayi tempat anaknya dirawat saat ini. Hanna berdiri di sana sambil menatap anaknya yang hanya mengenakan diapers bayi berwarna putih. Setetes air mata turun membasahi pipi Hanna. Betapa bodoh dirinya yang larut dalam kesedihan hanya karena anaknya memiliki wajah yang mirip dengan Aditya. Seharusnya ia bisa tenang, toh golongan darah anaknya saja berbeda dengan ayah biologisnya itu.
***