Bab 6 Hari Apes Itu Ternyata Ada
Dana menatap jam tangan rolex yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Dari perhitungannya, sepertinya ia tidak akan bisa sampai di kantor dalam waktu tiga puluh menit lagi. Kini Dana meminta Sanusi untuk mencari sebuah coffee shop terdekat untuk melangsungkan meeting secara online yang harus ia hadiri. Dana tahu jika ini akan membuat Yudhistira (Yudhis) marah kepadanya namun ia tidak bisa berbuat banyak.Mencari coffee shop masih jauh lebih baik daripada melangsungkan meeting di dalam mobil.
"Pak, apa di sekitar sini ada coffee shop?" tanya Dana pada Sanusi kala mereka baru saja keluar dari basemen parkir.
"Ada, Pak... di ujung jalan sana dekat warung soto sapi. Memangnya kenapa, Pak?"
"Setengah jam lagi saya ada meeting yang harus saya hadiri, tapi tidak mungkin saya sampai di kantor tepat waktu. Lebih baik saya hadiri meeting ini secara online."
"Baik, Pak saya akan mengantarkan bapak ke coffee shop itu. Dulu saya sering mengantarkan Mbak Hanna ke warung soto yang ada di depannya."
"Okay, kita ke sana saja, Pak."
Sanusi menganggukkan kepalanya. Kini ia segera melajukan mobilnya menuju ke arah coffee shop berada. Begitu sampai di sana, Dana segera masuk ke dalam coffee shop sedangkan Sanusi memilih untuk menunggu Dana di dekat pos satpam.
Di waktu yang sama, Hanna yang baru saja keluar dari gedung kantor milik Veranda memilih untuk berjalan kaki karena ia ingin makan siang dengan soto sapi yang sudah sejak dulu menjadi langganannya. Mumpung lokasi warung soto ini tidak jauh dari tempat ini meskipun ia harus berjalan kaki sekitar 15 menit. Siapa sangka terik sinar matahari Jakarta siang hari ini benar-benar membuat kesabarannya yang setipis tisu dibagi tujuh ini hampir lenyap. Terlebih suara klason mobil dan motor yang ada di sekitarnya sesekali ia dengar. Belum lagi banyak pengguna motor yang sedang cosplay menjadi Valentino Rossi. Melihat hal ini, kadang Hanna rindu tinggal di Amerika. Sayangnya ia tidak bisa kembali ke sana karena di sana bukanlah tempat yang membuatnya merasa lebih nyaman dan aman karena Adit bisa muncul kapan saja.
Kini saat ia sampai di warung soto langganannya, Hanna segera masuk dan ia memesan satu soto sapi daging dengan tambahan babat yang diiris-iris. Akhirnya, ia bisa menikmati soto langgannya ini setelah satu tahun lebih tidak menyantapnya. Pernah Hanna mencoba membuat soto sapi ketika tinggal, di Amerika, namun nyatanya tetap saja berbeda dengan soto yang ada di sini.
Saat pesanan sotonya datang, Hanna segera menyantapnya dengan tambahan lauk tempe serta tahu bacem yang ada di meja. Sumpah.... rasanya satu porsi saja tidak membuat Hanna kenyang. Kini ia menambah satu porsi soto sapi lagi. Ia tak peduli tatapan beberapa pasang mata yang ada di sekitarnya. Toh, ia tidak hanya makan untuk dirinya sendiri namun juga untuk calon anak yang ada di dalam kandungannya.
Siapa sangka jika kegundahannya selama dua hari itu bisa hilang dalam jangka waktu setengah jam ini hanya dengan menyantap soto sapi lengkap bersama berbagai lauknya. Kini Hanna segera berdiri dan berjalan menuju ke arah kasir. Mungkin karena dulu Hanna sering mampir ke tempat ini sepulang sekolah, maka kasir yang berjaga sampai masih mengenalinya.
"Setahunan enggak kelihatan, Kak. Saya kira kakak pindah ke luar kota," ucap sang kasir sambil memasukkan catatan apa saja yang Hanna makan.
"Oh, saya setahunan kemarin memang tidak tinggal di Jakarta. Ini baru balik dan kebetulan lewat sini, jadi sekalian mampir. Kangen sama sotonya."
"Pacar kakak yang ganteng itu juga enggak pernah mampir lagi sekarang."
Somprett....
Kenapa juga harus membawa-bawa Adit yang meskipun tampan tapi kelakuan seperti setan.
Tidak mungkin Hanna menceritakan semuanya, Hanna hanya mengatakan alasan yang sebenarnya tidak terlalu bohong menurutnya.
"Saya sudah putus sama dia beberapa waktu lalu."
"Yah, Kak... padahal gantengnya minta ampun itu pacarnya, penampilannya juga keren. Nyari yang modelan begitu susah."
"Percuma tampan kalo kelakuannya enggak baik."
"Yang ganteng selalu dapat pemakluman, Kak meskipun kelakuan minus kalo di sini."
"Bagi orang lain silahkan seperti itu, bagi saya dia sudah saya anggap mati. Sudah ah, Mas... berapa itu saya habisnya?"
Akhirnya Hanna mencoba memutus basa basi ini karena ia mulai merasa tidak nyaman. Setelah kasir laki-laki berusia 25 tahunan ini selesai menyebutkan berapa yang harus ia bayar, Hanna segera mengeluarkan uangnya dari dompet.
"Gagal move on, Kak? Foto di dompetnya masih sama pacarnya itu," goda sang kasir yang membuat Hanna cukup terkejut. Kini Hanna segera mengeluarkan foto itu dan membaliknya sehingga bagian belakang foto menjadi di depan. Tentu saja ia belum bisa membuang foto itu di tempat sampah karena di dalam foto itu ada sosok dirinya juga.
"Gagal move on? Enggak lah. Kaya laki-laki di dunia ini cuma dia aja. Sudah ya, Mas saya duluan."
Setelah mengatakan hal itu, Hanna segera keluar dari dalam warung soto sapi. Di saat Hanna keluar dari pintu warung tersebut, sosok Sanusi yang baru saja membayar kopi yang ia nikmati sambil menunggu boss-nya itu segera menyebrang jalan karena melihat sosok Hanna. Jalanan yang macet di depannya ini tidak membuat Sanusi memelankan langkah kakinya. Ia terus mencari Hanna yang sudah tak nampak lagi batang hidungnya. Begitu ia bisa menemukan sosok Hanna, ternyata Hanna sudah berjalan di sekitar trotoar menuju ke arah selatan. Sontak saja Sanusi segera berteriak memanggil Hanna.
"MBAK HANNA....," teriak Sanusi yang membuat Hanna langsung menghentikan langkah kakinya karena ada yang memanggil namanya.
Saat membalikkan tubuhnya, Hanna bisa melihat sosok mantan driver pribadinya yang sedang berjalan cepat ke arahnya. Tidak,... tidak, ia tidak bisa ada di tempat ini sekarang. Ia harus kabur sebelum orang-orang yang pernah ada dan dekat dengan kehidupannya mengetahui kisah menyedihkannya ini. Secepat yang Hanna bisa, ia berlari menyusuri trotoar ini. Melihat bahwa jembatan penyebrangan cukup jauh, Hanna memilih untuk menyebrang jalan yang ada di dekatnya meskipun saat ini jalan sedang cukup padat. Suara Sanusi yang terus menerus memanggil namanya membuat Hanna semakin panik. terlebih orang-orang yang mulai memandang ke arahnya.
Dengan terpaksa Hanna harus menyebrang jalan ini. Karena panik dan sedikit gugup, Hanna sampai tidak melihat ke kiri dan kanannya demgan seksama sebelum menyebrang jalan. Alhasil sebuah motor matic bermesin 125 cc menyerempet dirinya hingga terjatuh. Bukannya ditolong oleh pengendara yang menyerempetnya, Hanna justru dihadiahi umpatan dan ditinggal pergi begitu saja hingga akhirnya beberapa orang mulai mendekat termasuk Sanusi.
Sekuat tenaga Hanna berusaha untuk sadar namun matanya tiba-tiba saja mulai terasa berat dan ia akhirnya terpejam. Suara-suara orang yang ada di sekitarnya masih bisa ia dengar namun akhirnya ia kehilangan kesadarannya.
Sanusi yang melihat Hanna pingsan dengan darah yang mulai terlihat di kakinya segera menelepon ambulance. Tidak ada yang berani membantu Hanna karena mereka tidak memiliki ketrampilan untuk menolong orang dalam keadaan darurat seperti ini.
Kala ambulance datang, Sanusi ikut masuk ke dalam mobil. Ia terus menerus menangis karena melihat kondisi Hanna yang tidak sadarkan diri. Begitu Hanna sampai di rumah sakit dan masuk ke ruang UGD, Sanusi segera mengurus administrasi. hampir setengah jam menunggu hingga akhirnya dokter yang menangani Hanna keluar untuk menemui dirinya.
"Bapak keluarganya?"
Saat pertanyaan itu ditanyakan oleh sang dokter, Sanusi memilih menganggukkan kepalanya. Jika bukan dirinya yang 'cosplay' menjadi keluarga lalu siapa lagi? Tidak mungkin ia menghubungi mantan majikannya karena ia cukup mengenal mereka dengan baik. Bagi mereka, sekali keputusan sudah diambil maka tidak ada revisi lagi. Hanna yang sudah diusir dari rumah tentu saja sudah bukan bagian dari keluarga itu lagi.
"Alhamdulillah, janin yang ada di dalam rahim pasien bisa kami pertahankan dan tidak ada cidera yang serius di tubuhnya."
Ada rasa lega yang Sanusi rasakan di dalam hatinya kala mendengar kabar Hanna ini. Kini ia memilih menunggu Hanna di dekat ranjang Hanna tertidur saat ini. Jika bukan karena dirinya, tidak mungkin Hanna akan terbaring di ranjang rumah sakit seperti ini.
***