Bab 10 Djiwa Raga Semesta
Setelah satu minggu berada di rumah sakit, akhirnya Hanna dan anaknya kembali ke rumah Veranda yang ada di Klaten. Hanna bersyukur karena ketika anaknya pulang dari rumah sakit, tali pusarnya sudah lepas sehingga ia tidak perlu merawatnya lagi. Karena hal ini pula, Yati akhirnya membuat bancakan untuk anak Hanna langsung setelah mereka sampai di rumah. Meskipun tidak paham kenapa Yati membuat nasi gudangan lengkap dengan buah pisang dan jajanan anak kecil lalu dibagikan kepada beberapa tetangga yang rumahnya tidak terlalu dekat dengan rumah mereka, namun Hanna membiarkannya. Bahkan saat hari kedua kelahiran anaknya, Yati meminta ijin untuk pulang dan membuat brokohan. Hanna baru mengetahui ada hal-hal seperti ini saat ini. Karena setahunya yang wajib adalah akikah.
"Mbak, kalo sudah puput pusarnya, anaknya sudah boleh dikasih nama."
"Puput pusar? maksudnya tali pusarnya sudah lepas?"
"Iya, Mbak Hanna. Mau dikasih nama siapa?"
Hanna yang baru saja selesai menyusui anaknya secara DBF akhirnya memantapkan hatinya untuk memberikan nama seperti apa yang ia pikirkan sejak beberapa hari yang lalu ketika berada di rumah sakit.
"Mak, saya akan kasih nama Djiwa Raga Semesta."
Kedua bola mata Yati hampir keluar dari tempatnya berada saat ini karena mendengar nama yang akan diberikan Hanna untuk anak laki-lakinya itu. Nama yang baginya cukup aneh dan jarang dimiliki anak-anak lain yang biasanya namanya mengikuti trend jaman.
"Mbak, ini lagi booming nama Fatih, Azka, Arka, Azriel, Al, El yang gitu-gitu kenapa ini ngasih namanya beda sih?"
"Karena sudah banyak yang pakai, jadi saya tidak memakainya. Daripada saya kasih nama Sinar Langit Biru, pilih mana? Bagusan Djiwa Raga Semesta 'kan, Mak?"
"Semoga saja tidak dibully nanti sama temannya waktu sekolah."
Hanna tersenyum dan ia gelengkan kepalanya. Ia yakin anaknya akan tumbuh menjadi anak yang kuat baik fisik maupun mentalnya dan ia akan berguna bagi semesta di kemudian hari.
"Enggak, tenang aja. Dia enggak diuber-uber sama cewek-cewek teman sekolahnya itu aja udah bagus, Mak."
Yati memamerkan senyum tipisnya. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan kepercayaan diri Hanna yang luar biasa besar ini. Mungkin saja jika Raga akan tumbuh besar mirip dengan Hanna wajahnya tidak perlu dipertanyakan lagi ketampanannya, namun yang ada Raga sama sekali tidak mirip dengan Hanna selain rambutnya yang hitam dan lurus ini.
***
Hari berganti hari, sejak Raga berusia enam bulan, Hanna mencoba memberanikan dirinya untuk mendaftar ke salah satu universitas swasta yang ada di Jogja. Mau bagaimanapun juga, ia sudah menunda pendidikannya selama tiga semester dan kini ia harus mencoba menata kembali kehidupannya. Pekerjaannya kini juga sudah mulai bertambah. Tidak hanya dirinya bekerja pada Dana, namun ia juga membantu Veranda mengurusi keuangan rumah singgah. Meskipun Hanna ikhlas melakukan semua ini, namun sejak dua bulan yang lalu, Veranda tetap memberikannya uang sebagai imbalan hasil pekerjaannya ini.
Sejak lima bulan yang lalu, Hanna juga belajar bagaimana cara mengemudi motor hingga ia akhirnya berhasil mendapatkan SIM C-nya. Hanna juga bersyukur karena orangtuanya benar-benar membuangnya dari kartu keluarga mereka. Dengan bantuan Dana, ia bahkan sudah berhasil mengurus surat kepindahan kependudukannya hingga akta kelahiran Raga yang sama sekali tidak mencantumkan nama ayah biologisnya.
"Mbak, apa kita tidak pindah di Jogja saja? Cari kost yang dekat dengan kampus sepertinya lebih baik," tutur Yati yang membuat Hanna menggelengkan kepalanya.
"Tidak, Mak. Saya sudah betah di sini. Lagipula di sini minim polusi dan hawanya masih sejuk. Kita juga sudah mulai kenal dengan warga desa sekitar. Lebih baik tetap berada di sini meskipun saya setiap hari harus naik kereta untuk pulang pergi Klaten Jogja."
"Kalo Raga nanti minta susu gimana?"
"Saya sudah nabung asip dan saya taruh di frezzer. Nanti mak Yati bisa kasih itu setiap kali saya sedang tidak di rumah."
"Andai mbak Hanna mau dinikahin sama pak Dana, pasti Mbak Hanna enggak usah sesusah ini cuma untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik lagi."
Hanna tersenyum. "Siapapun suami saya kelak, yang pasti dia harus bisa mencintai anak saya melebihi cintanya ke saya dan satu lagi, Mak. Saya tidak berharap memiliki suami yang kaya untuk membuat hidup saya lebih mudah, tapi saya menginginkan pasangan yang selalu bisa mendukung setiap langkah yang saya ambil dan mau mendampingi saya mewujudkan mimpi-mimpi saya."
"Pak Dana masuk ke semua kriteria itu."
"Sejujurnya, karena kebodohan saya mencintai laki-laki justru membuat hidup saya merana saat ini. Karena itu, saya memiliki keinginan menjadi ibu yang baik untuk Raga dan bekerja keras agar masa tua saya tidak menjadi beban untuk Raga."
Yati menganggukkan kepalanya. Ia tahu bahwa dirinya tidak bisa mendebat Hanna. Niat hati dirinya ingin membantu Dana agar Hanna mau pindah ke Jogja sehingga jika Dana ingin menemui Hanna serta Raga lebih dekat namun Hanna benar-benar menolak. Ia dan Sanusi sudah berkali-kali meminta Hanna membuka hatinya untuk Dana namun kenyataannya Hanna justru selalu mengalihkan topik pembicaraan ini jika mereka mulai mengungkit hal itu.
***
Dana duduk di sebuah sofa panjang sambil memperhatikan Aditya yang tengah bermain game di dalam apartemennya ini. Sudah tiga hari Dana berada di Amerika dan urusannya sudah selesai di sini. Kini dirinya menyempatkan diri untuk mengunjungi Aditya sekedar untuk memastikan seperti apa perkembangan keponakannya ini setelah lari dari tanggungjawab dan tidak menceritakan dosa besarnya kepada keluarga terlebih kepada dirinya.
"Om, lo enggak ikutan gue main PS?"
"Enggak. Lagi males."
"Males kenapa? Lama lo enggak main ke sini sekalinya main cuma duduk di sofa sambil melamun. Sudah sejam lo begitu, Om."
"Cuma lagi mikir aja. Kenapa lo bisa setenang ini sekarang? Apa lo sudah ketemu sama pacar lo yang ngilang itu?" Dana mencoba mengulik hal ini. Ia penasaran dengan jawaban Aditya. Apakah keponakannya ini semudah itu melupakan Hanna yang sudah ia buat morat marit kehidupannya. Kini bahkan Hanna harus berjuang sendirian untuk membesarkan anaknya?
Aditya menghela napas panjang. Ia kira Om-nya ini akan melupakan ceritanya akhir tahun lalu ketika ia pulang ke Indonesia, siapa sangka jika Om-nya ini justru mengingatnya dengan baik.
"Belum. Gue enggak bisa lupain dia, Om. Setiap hari juga gue nyariin dia sampai dua bulan lalu gue minta tolong sama orang kepercayaan Papa untuk nyari Hanna di Indonesia, cuma sampai sekarang hasilnya masih nihil."
Deg'
Jantung Dana seakan lupa caranya untuk berdetak sepersekian detik. Jika Aditya sampai mengutus orang untuk mencari informasi tentang Hanna, mau tidak mau dirinya harus berhenti untuk mengujungi Hanna sebulan sekali mulai saat ini. Entah sampai kapan ia bisa bertemu dengan Hanna serta Raga lagi. Lagipula ia akan mencoba menjaga kepercayaan yang Hanna berikan kepadanya untuk tidak memberitahu ke Aditya bahwa mereka saling kenal.
"Lo perlu bantuan gue enggak?"
"Enggak perlu sekarang. Soalnya gue tahu kerjaan lo banyak ditambah lo mulai ditagih calon menantu buat keluarga."
Dana tertawa mendengar perkataan Aditya. Sepertinya Aditya cukup update dengan kabar terbaru mengenai dirinya. Ini terbukti dengan Aditya yang sudah tahu bahwa ia sudah didesak oleh keluarga untuk segera menikah dan memiliki anak. Apalagi orangtuanya sudah ingin menimang cucu lagi setelah cucu tunggal kesayangan mereka hijrah ke Amerika beberapa tahun ini yang membuat mereka kesepian.
"Lo duluan aja yang nikah," kata Dana setelah tawanya reda.
"Enggak. Lo duluan aja. Masa iya lo mau gue salip juga dalam urusan nikah dan punya momongan, Om?"
"Ada banyak hal yang membutuhkan fokus gue sekarang. Jadi gue enggak bisa nikah dulu."
"Kalo gue nih, ya... kalo ceweknya bukan Hanna, maka sampai kapanpun juga gue enggak mau nikah. Lebih baik sendiri aja seperti sekarang dan fokus kelarin kuliah gue."
Setelah mengatakan itu, Aditya kembali fokus untuk memainkan game PS-nya lagi. Rasanya sudah cukup dirinya membagi apa yang seharusnya tidak orang-orang ketahui. Karena ia cukup dekat dengan Dana sebagai paman dan keponakan, maka ia menceritakan apa yang ia rasakan saat ini tetapi tidak dengan latar belakang kisah dirinya dan Hanna karena Aditya yakin jika Dana mengetahui semuanya, maka besar kemungkinan wajahnya sudah babak belur dihajar Om-nya karena kelakuannya yang lebih buruk daripada hewan.
Sejujurnya Aditya bahkan tak pernah bisa tidur dengan tenang sejak Hanna meninggalkannya. Setiap malam sebelum dirinya menutup kedua matanya untuk tidur, ia selalu memikirkan perempuan itu dan nasib calon anaknya yang berada di dalam kandungan Hanna. Aditya bahkan terkadang membayangkan akan seperti apa wajah anaknya jika lahir ke dunia. Apakah mirip dirinya atau Hanna? Anaknya lahir berjenis kelamin apa? Lalu apa nama yang indah yang bisa ia berikan pada anaknya andai saja ia masih bersama dengan Hanna. Ya, meskipun jalan yang ia pilih dulu salah dengan meminta Hanna melakukan aborsi pada janinnya, namun semua demi kebaikan dirinya serta Hanna. Hanna saja yang keras kepala untuk mempertahankan kandungannya meskipun mereka belum siap secara mental dan materi untuk menjadi orangtua. Karena Aditya tahu meskipun mereka mempertahankan calon anak itu, belum tentu orangtua mereka akan menerima hubungan mereka terlebih anak mereka dengan tangan terbuka.
***