Bab 6 Berlutut dan Meminta Maaf
“Baik, sudah cukup! Berhenti bersandiwara!” Akhirnya ada seseorang yang kehabisan kesabaran melihat Jaya terus bersandiwara dengan pria tua itu. "Dengan bersandiwara bersama dua orang ini, kau pikir botol bir yang tidak berharga bisa menjadi harta karun?"
Bersandiwara?
Orang-orang yang ada di sana pun mulai tersadar.
Benar! Bagaimana mungkin pria tak berguna seperti Jaya bisa menghasilkan sesuatu yang bernilai triliunan rupiah?
“Jelita, mengingat sikapnya yang seperti itu, kurasa kau harus segera menceraikannya. Dia selalu melebih-lebihkan dan berbohong, tidak pernah berkata jujur! Dia menyewa seseorang untuk bersandiwara dengannya hanya karena dia tidak mampu memberimu hadiah yang mahal! Bukankah itu memalukan?”
Mendengar ejekan yang tak henti-hentinya dari banyak orang, wajah Jelita pun memerah karena malu.
“Apa sudah cukup kau membuat ulah, Jaya? Keluar dari sini dan bawa batu tak berharga milikmu itu!” Sambil menunjuk Jaya, dia berteriak hingga mulutnya berbusa.
"Baiklah. Karena kau tidak menginginkan kalung ini, aku akan...”
Tiba-tiba, terdengar suara sebuah retakan.
Dalam sekejap mata, batu akik giok yang semula ada di tangan Jaya pecah menjadi beberapa bagian dan jatuh ke tanah.
Harta karun langka senilai 15 triliun rupiah hancur begitu saja.
“Sedari awal, aku khusus menyiapkan hadiah ini untukmu. Karena kau tidak menginginkannya, maka hadiah ini sudah tidak berharga lagi,” kata Jaya dengan ekspresi acuh tak acuh di wajahnya.
"Apa kau sudah gila?" Pria tua itu sontak terkejut melihat apa yang terjadi tepat di depan matanya. "Itu adalah potongan terakhir dari batu akik giok di seluruh dunia!"
Dia sangat geram sampai seluruh tubuhnya gemetar. Setelah bergegas maju dengan putus asa, pria itu mengambil batu akik giok yang telah pecah menjadi beberapa bagian.
"Untuk apa kau bersandiwara demi beberapa potong batu yang tidak berharga itu?" Melihat tindakan pria tua itu, Anton menarik kakinya ke belakang dan menendangnya ke depan.
Dia nyaris saja menjatuhkan pria tua itu ke tanah.
“Apa kau ingin mati, Anton Surendra?”
Tiba-tiba, seorang pria paruh baya di belakang pria tua itu berjalan ke depan dan menendang Anton ke tanah.
“Kau mengenalku?”
Kemarahan tampak menyelimuti wajah Anton.
Padahal dia mengetahui identitasku, berani-beraninya dia bergerak melawanku? Apa dia sudah bosan hidup?
Pria paruh baya itu hanya menatapnya dengan dingin tanpa melontarkan sepatah kata pun.
Dia mengeluarkan ponselnya, kemudian menelepon seseorang. Setelah panggilan terhubung, dia hanya mengucapkan dua kalimat.
“Sandi, kau harus mengajari putramu lebih baik lagi. Jika kau tak mau mengajarinya, biar aku yang mewakilimu!”
Kata-katanya sontak membuat orang-orang yang ada di sana tertawa terbahak-bahak.
Siapa Sandi Surendra? Dia adalah Ketua Grup Surendra di Biantara, yang memiliki kekayaan bersih sejumlah lebih dari 15 triliun rupiah! Beraninya mereka mengancam menggunakan namanya dan menipu orang-orang, padahal mereka hanyalah aktor bayaran!
Tak disangka, sesaat setelah pria paruh baya itu selesai berbicara, ponsel Anton tiba-tiba berdering.
"Halo? Ayah?"
Seketika, firasat buruk muncul di dalam hatinya.
"Berlutut dan minta maaf!"
"Apa?" Anton terkejut, bertanya-tanya apakah dia salah mendengar kata-kata ayahnya.
"Kubilang, berlutut dan minta maaf!"
"Kenapa aku harus minta maaf?" tanya Anton sambil menggertakkan giginya dan mendesis.
"Kenapa? Karena dia adalah Gatra Dewangga dari Janeda! Dari segi status dan koneksi, aku masih jauh di bawahnya! Jika kau tak ingin mati, lakukan perintahku dan berlutut! Kalau tidak, bahkan aku tak akan bisa menyelamatkanmu!”
Anton benar-benar terperanjat mendengar peringatan ayahnya.
Bahkan tangannya yang memegang ponsel pun agak gemetar dibuatnya, dan keringat dingin menetes di dahinya.
Gedebuk!
Dia jatuh berlutut tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dengan kepala tertunduk.
Dia tampak sangat hina layaknya debu.
"M-Maafkan aku, Tuan Dewangga!"
Gatra menatapnya dengan tajam dan menggeram, “Kau tidak perlu meminta maaf padaku! Sebaliknya, kau harus minta maaf pada Tuan Siswanto!”
“Maaf, Tuan Siswanto! K-kumohon, maafkan aku!”
Di kota ini, hanya ada satu orang yang berhak meminta seseorang dengan status tinggi seperti Gatra untuk memanggilnya demikian. Orang itu adalah Daru Siswanto, salah satu orang terkaya di Cibaria, yang telah kembali ke kampung halamannya dari Bolinia sepuluh tahun lalu.
Dibanding mereka, keluarga Surendra tidak ada apa-apanya.
Daru mengabaikan Anton. Dia hanya mengambil pecahan-pecahan batu akik giok di tanah tanpa berkata apa-apa, lalu menghampiri Jaya. "Aku bisa menyatukan kembali batu akik giok ini!"
"Kalau begitu, anggap saja ini sebagai hadiahku untukmu," ujar Jaya, masih tidak meliriknya sedikit pun.
Dari awal hingga akhir, tatapannya tetap terpaku pada Jelita.
Daru pun terkejut mendengarnya. Dia melambaikan tangan dan meminta Gatra untuk mengeluarkan selembar cek. “Aku tidak bisa mengambil batu akik giok ini secara cuma-cuma. Terimalah cek senilai 1,5 triliun rupiah ini. Anggap saja aku membelinya darimu.”
Setelah mengatakan itu, dia menandatangani cek dengan penuh gaya.
Kemudian, dia menyerahkan cek senilai 1,5 triliun rupiah itu kepada Jaya.
Delapan angka nol yang tertulis di cek tersebut membuat semua orang terpukau.
Saat itu juga, beberapa orang yang disebut-sebut sebagai sahabat Jelita melemparkan pandangan menggoda pada Jaya
Sementara itu, Yani tampak ternganga dan tidak percaya. Menantu laki-laki yang setahun lalu masih hidup bergantung pada keluarga Subagja ini sekarang menjadi jutawan dalam sekejap mata?
Tak ada yang curiga bahwa cek itu palsu, mengingat Anton masih berlutut di tanah.
Namun, sesuatu yang lebih menakjubkan terjadi tepat setelah itu.
Jaya hanya melihat cek itu tanpa ekspresi, kemudian menyerahkannya kepada Jelita.
“Karena kau tidak mau menerima hadiah itu, ambillah 1,5 triliun rupiah ini sebagai gantinya. Anggap saja ini untuk menebus hutangku kepadamu selama tiga tahun terakhir.”
Dia menyerahkan cek senilai 1,5 triliun rupiah itu dengan santai.
Seketika, seluruh ruang pribadi menjadi sunyi senyap.
Semua orang yang ada di sana ternganga melihat Jaya. Bahkan Daru pun tampak agak terkejut.
Dia berpakaian lusuh dan tidak terlihat kaya sama sekali. Namun, dia memberikan cek senilai 1,5 triliun rupiah begitu saja? Menurut intuisiku, pemuda ini tidak sesederhana itu!
“Ini kartu namaku. Jika kau butuh sesuatu, kau bisa meneleponku.”
Setelah memberikan kartu namanya secara langsung kepada Jaya, Daru buru-buru pergi dari sana.
Aku harus segera menyatukan batu akik giok ini! Bagaimanapun juga, ini adalah satu-satunya bagian yang masih tersisa di dunia ini!
Setelah Daru pergi, barulah Anton berani bangkit kembali.
Fiuh! Untungnya, setelah aku berlutut, dia tidak memperpanjang masalah ini! Aku yakin dia tidak peduli dengan statusku sebagai pewaris harta orang terkaya di Biantara.
“Jelita, aku akan menanyakan ini padamu untuk terakhir kalinya. Maukah kau menikah denganku?"
Saat itu, kesabaran Anton sudah hampir habis.
“Kenapa kau masih ragu-ragu, Jelita? Jaya hanya beruntung dan kebetulan menemukan batu yang berharga. Memangnya kenapa jika kalung itu bernilai 1,5 triliun rupiah? Setelah uangnya habis, dia akan kembali menjadi pria miskin seperti sebelumnya!”
"Tepat sekali! Jelita, apa pentingnya 1,5 triliun rupiah jika dibandingkan dengan keluarga Surendra? Kenapa kau begitu bodoh?”
Teman-teman Jelita kembali memperkeruh suasana, seperti menuangkan minyak ke dalam api.
Sudut mulut Yani tiba-tiba melengkung membentuk seringai menghina, lalu dia mengeluarkan kartu as-nya.
"Jelita, apa kau tahu bagaimana aku bertemu Jaya tadi?"
"Bagaimana?" Jelita pun balas bertanya.
“Aku tak sengaja bertemu dia di jalan. Coba tebak, apa yang sedang dia lakukan? Dia sedang mencari jasa pelacur. Terlebih lagi, wanita itu adalah pelacur murahan! Bahkan dia terlihat lebih tua dari ibuku. Oh iya, harganya hanya 1,5 juta rupiah untuk satu sesi!”
Kepala Jelita tersentak ke belakang, dan dia memelototi Jaya.
Sepasang matanya dipenuhi dengan kecurigaan.
"Kau percaya padaku atau dia?" tanya Jaya dengan dingin.
Dia tak menjelaskan apa pun, juga tidak perlu melakukannya.
Jelita sedikit goyah. Seingatku, meskipun dia tidak punya ambisi dan hanya bermalas-malasan sepanjang hari, Jaya bukanlah pria yang menyedihkan seperti itu.
“Jelita! Kesabaranku sudah habis. Aku tidak bisa membuang waktuku untukmu lagi! Jika kau setuju, aku akan melupakan kejadian tidak menyenangkan hari ini. Kalau tidak..." Anton tiba-tiba melayangkan pandangannya ke Jaya dengan penuh kebencian. "Dia tak akan bisa pergi dari sini hari ini!"
"Aku tak akan bisa pergi dari sini?" Jaya menyeret sebuah kursi dan duduk dengan asal di atasnya. "Bahkan jika ayahmu, Sandi Surendra, berdiri di sini, dia mungkin tak akan berani mengatakan hal seperti itu kepadaku, apalagi kau!"