Bab 12 Erina Subagja
Sosok itu tidak lain adalah Erina Subagja, putri bungsu keluarga Subagja.
Dia adalah adik Jelita, sekaligus saudari ipar Jaya.
Kenapa dia ada di sini? Jaya bertanya-tanya sambil mengerutkan keningnya. Sebelum aku meninggalkan keluarga Subagja, dia sudah memasuki tahun terakhir sekolah menengah atas. Kenapa sekarang dia ada di bar?
Terlebih lagi, sepertinya Erina sedang mabuk, bisa dilihat dari tatapannya yang tidak fokus dan pipinya yang merona. Pandangan Jaya menelusuri rambut Erina, yang berwarna merah anggur, lalu beralih ke rok mini putih yang dikenakannya. Dengan pakaian minim dan warna rambut yang mencolok seperti itu, dia tampak seperti berandalan.
Kerutan di dahi Jaya semakin dalam saat dia melihat para berandalan yang duduk di samping Erina. Dari rambut yang diwarnai dan lengan yang dipenuhi tato, tampak jelas bahwa mereka adalah pembuat onar.
"Ayolah, Emmelin. Minumlah lagi! Jika kau menghabiskan minuman ini, aku akan mengantarmu pulang nanti,” desak salah satu berandalan itu sambil mengangkat gelasnya. Diam-diam, dia menggoyangkan tangannya dan menuangkan bubuk ke dalam minuman tersebut.
Sementara itu, berandalan yang lain menarik lengan Erina dan mendesaknya untuk meminumnya. Jelas, mereka akan memaksa Erina meminum alkohol itu jika dia menolaknya.
"Aku tidak bisa minum lagi," kata Erina sambil menggelengkan kepalanya. Jelas, dia sudah mengigau karena minum terlalu banyak alkohol.
"Sungguh? Jangan merusak suasana!” Para berandalan itu bertukar pandang sebelum menuangkan minuman tersebut ke tenggorokan Erina.
Sayangnya, Erina tak cukup kuat untuk melawan mereka, sehingga dia terpaksa meneguk segelas bir tersebut. Setelah itu, mereka membantunya berdiri dan menyeretnya ke pintu. "Ayolah, Emmelin. Mari kita bersenang-senang malam ini!”
“Aku ingin tahu apakah dia masih perawan atau tidak. Jika iya, artinya kita mendapat jackpot!”
“Tidak masalah. Lagi pula, kita tidak akan menikahinya, kan? Itu bukan urusan kita.”
"Ya, itu tidak ada hubungannya dengan kita!"
Para berandalan itu menerobos kerumunan pengunjung dan membawa Erina, yang tidak sadarkan diri, ke arah pintu.
Pada saat itu, bahkan Erina sudah tidak sanggup membuka matanya.
Namun, saat mereka sampai di pintu, satu sosok berdiri menghalangi jalan mereka. "Lepaskan dia!"
"Siapa kau?" Kemunculan si pengganggu ini membuat para berandalan kesal. “Minggir kau! Kalau tidak, akan kami hajar kau sampai babak belur!”
"Sial! Berani-beraninya kau menghalangi jalan kami? Apa kau tidak tahu siapa kami?”
Karena berada di bawah pengaruh alkohol, para berandalan itu tidak menganggap serius sosok tersebut.
"Biar kuulangi — lepaskan dia dan pergi dari sini!" Sosok itu adalah Jaya, yang kebetulan telah menyaksikan ulah mereka di sana.
Meskipun dulu Erina sering menghinanya, gadis ini tetaplah adik Jelita. Kalau tidak, Jaya tak akan mau repot-repot mencampuri masalahnya.
"Kepar*t kau, b*jingan!" Dengan amarah yang memuncak, salah satu berandalan meraih sebuah botol bir dan mengayunkannya ke kepala Jaya.
Jika botol itu mengenai kepala Jaya, dia pasti akan terluka.
Namun, mereka bukanlah tandingan Jaya.
Bahkan sebelum botol bir itu sempat mendekati kepalanya, Jaya menampar si berandalan keras-keras hingga beberapa giginya patah dan pipinya membengkak.
Bruak!
Lutut berandalan itu pun melemas dibuatnya, dan tubuhnya sontak ambruk ke tanah.
"Sial! Beraninya dia menyerang kawan kita? Ayo, tangkap dia!” Para berandalan mengayunkan tinju mereka ke arah Jaya tanpa henti.
Sayangnya, tinju lemah yang mereka layangkan tak berarti apa-apa bagi Jaya, sosok yang telah menghabisi nyawa banyak orang dalam peperangan.
Saat mereka baru saja mengangkat tangan mereka, Jaya mengangkat kaki kanannya dan melayangkan tendangan terbang ke arah mereka. Dalam sekejap, suara tulang patah menggema di udara, dan para berandalan itu langsung menjerit kesakitan. Saking kerasnya, jeritan mereka bahkan sampai memekakkan telinga.
"Sebagai hukuman, akan kupatahkan satu kaki masing-masing dari kalian!"
Tak mau membuang waktu untuk menjelaskan pada mereka, Jaya menendang tulang kaki mereka yang patah tanpa terkecuali.
Di tengah ratapan kesakitan para berandalan itu, Jaya membantu Erina berdiri dan berjalan menuju pintu keluar.
Baru saja mereka keluar dari bar, namun tiba-tiba Jaya mengerutkan keningnya, merasa tidak senang.
Dalam keadaan mabuk, tangan Erina meraba-raba tubuh Jaya. Bahkan gadis ini juga menyandarkan pipinya yang merona merah di bahu Jaya, lalu menghembuskan napas ke telinganya.
“Bangun!”
Jaya meletakkan Erina di bangku terdekat dan memanggil namanya, namun gadis itu tidak menggubrisnya, justru berpegangan pada tubuhnya dengan putus asa. Tak peduli seberapa keras Jaya mendorongnya menjauh, Erina tetap tak mau bergerak.
“Ah, a-aku menginginkanmu. Kumohon, bawa aku sekarang juga. Cepat, aku sudah tak tahan lagi,” pinta Erina dengan lembut.
Mata Erina tampak berkabut, dan dia terus menghembuskan napasnya di telinga Jaya. Dia juga menempelkan bibirnya ke leher Jaya, begitu tiba-tiba.
Sensasi lembap dari bibir Erina membuat kerutan di dahi Jaya semakin dalam.
"Erina Subagja, cepat bangun!" Jaya meletakkan telapak tangannya di punggung Erina, segera mengalirkan semburan energi dari jari-jarinya ke tubuh Erina.
Jelas, para berandalan itu telah membubuhkan sesuatu ke dalam bir Erina. Dilihat dari perilaku Erina, Jaya bisa langsung menebak zat apa yang mereka bubuhkan.
“Mm…” erang Erina saat energi dari Jaya menyebar ke seluruh tubuhnya.
Erangan yang tak tertahankan dari mulut Erina terdengar tepat di telinga Jaya, tapi pria itu tidak terangsang sedikit pun.
Lagi pula, dia sudah pernah digoda banyak wanita cantik dari keluarga terkemuka dalam tiga tahun terakhir. Dibanding wanita-wanita itu, Erina bukanlah siapa-siapa. Karena itu, erangan seduktif Erina tidak mempengaruhinya sama sekali.
“J-Jaya?”
Tak lama setelah itu, Erina akhirnya tersadar. Dia membuka matanya dan tercengang melihat pria yang berdiri di depannya. Sambil menggelengkan kepalanya dengan keras, dia bergumam, “Tidak, aku pasti mabuk. Jaya sudah menghilang selama bertahun-tahun. Dia bahkan mungkin sudah mati! Tidak mungkin dia berdiri di depanku saat ini. Mana minumanku? Aku butuh minuman keras!”
Berpikir bahwa dia sedang mabuk, Erina pun mengulurkan tangannya dan hendak minum. Namun, tangannya tak sengaja bersentuhan dengan Jaya, dan dia tersentak bangun.
Erina terbelalak kaget dibuatnya. Setelah menatap Jaya selama satu menit penuh, dia berteriak, “Jaya, dasar b*jingan tak berguna! Kenapa kau ada di sini?"