Bab 16 Keluarga Terkuat di Biantara
"Pokoknya, kalian tak boleh menghubungi polisi," pinta Erina sambil berlinang air mata.
Benar saja, hati Maria melunak saat melihat air mata putrinya mengalir. “Baiklah, berhenti menangis. Aku tak akan menghubungi polisi,” ujarnya dengan suara yang bercampur aduk, antara putus asa dan kasihan.
Namun, saat dia berbalik menghadap Jaya, ekspresinya tampak berubah seperti penyihir jahat. "Jaya, jika bukan demi reputasi Erina, aku pasti sudah menelepon polisi!" sambar Maria. Kemarahan mengalir melalui nadinya.
"Terserah!" Kesabaran Jaya sudah mencapai batasnya. “Jadi kau akan menelepon polisi atau tidak? Jika tidak, aku akan pergi sekarang juga!”
"Berhenti!" Maria berteriak kasar. "Besok pagi, bawa kartu keluargamu, pergi ke Balai Kota dan ajukan permohonan cerai!"
Dia memberi perintah mutlak, tak menyisakan ruang untuk negosiasi. Nada bicaranya seolah memperingatkan Jaya untuk tidak melanggar perintahnya.
Nada bicaranya angkuh, persis seperti yang biasa dia gunakan untuk memerintah Jaya dulu. Maria memerintahnya untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga dan kebersihan, seolah-olah Jaya adalah tenaga kerja gratis di keluarga mereka.
"Aku tidak akan mengajukan permohonan cerai!" Jaya menolak dengan tegas.
"Tidak bisa! Kau harus mengajukannya!" raung Maria. “Keluarga kami sudah bersedia menampungmu selama satu tahun penuh. Apa kau benar-benar berharap kami akan menerimamu kembali?”
"Tidak perlu," jawab Jaya dengan tenang. “Aku kembali ke sini untuk membayar utangku kepada Jelita. Mulai sekarang, aku akan membalasnya seratus kali lipat!”
"Seratus kali lipat?" Maria tertawa seolah mendengar lelucon yang konyol. “Uang apa yang akan kau gunakan untuk membayar? Jaya, sebenarnya aku tak mau memandang rendah dirimu, tapi orang sepertimu tak akan mungkin mencapai kesuksesan seumur hidupmu, apalagi hanya dalam kurun waktu tiga tahun. Kau bukan tandingan Anton!”
Maria tidak menyembunyikan rasa jijiknya terhadap Jaya sama sekali. Anton berasal dari keluarga berpengaruh. Biaya makan malamnya saja mungkin lebih dari penghasilan yang bisa kau dapatkan seumur hidupmu. Kau tak akan pernah bisa dibandingkan dengan dia!
"Anton bukanlah siapa-siapa. Bahkan ayahnya saja tidak penting, bagaikan semut bagiku!” Jaya menyeringai. Jelas, dia tidak menghormati keluarga Surendra.
Bahkan gubernur Janeda harus berlutut di hadapannya, apalagi pemilik Grup Surendra.
"Ayah Anton bagaikan semut bagimu?" Maria sontak mengejek komentar arogan Jaya. Dia menatap menantunya itu bagaikan orang bodoh dan terus bertanya, “Apa kepalamu terbentur pagi ini? Kau pikir siapa dirimu? Gubernur Janeda? Atau walikota Biantara? Apa kau tidak tahu siapa ayah Anton? Hartanya mencapai triliunan rupiah. Aku yakin kau tidak tahu berapa banyak hartanya itu.”
“Triliunan rupiah? Aku bisa memberi Jelita 155 triliun rupiah jika dia mau.” Jaya tetap tidak gentar.
"Apa? Kau mendengarnya, kan, Jelita?” Maria berbalik dan melihat Jelita, lalu berkata, “Sudah kubilang, dia gila, kan? Aku memintamu untuk berhenti menunggunya, tetapi kau malah tak mau mendengarkan aku. Apa sekarang kau percaya aku? Lihatlah, dia membual lagi. Kenapa kau mau menghabiskan sisa hidupmu dengan pria pecundang seperti dia? Anton adalah pria hebat, dan sebaliknya, pecundang ini hanyalah parasit.”
"Sudah, cukup!" Amarah Jelita pun meledak. Dia muak dengan hinaan yang tak henti-hentinya dilontarkan ibunya.
“Pergilah sekarang juga, Jaya! Aku tak mau melihatmu di sini!” teriaknya sambil menghadap Jaya.
Tiga tahun lalu, Jaya memang pria tidak berguna, tapi dia tidak terlalu menyebalkan seperti sekarang ini.
Apa dia pikir dia hidup dengan baik? Orang-orang yang tidak mengenalnya bisa saja mengira bahwa dia terlahir di keluarga kaya, padahal menyewa jasa pelacur yang layak saja dia tidak mampu, sampai-sampai dia mencari orang sembarangan di jalanan.
Jelita hampir tersedak memikirkannya.
“Apa kau tidak mendengar kata Jelita? Dia ingin kau pergi dari sini!” imbuh Maria, seolah menambahkan minyak ke dalam api.
"Enyah kau, dasar parasit!" Erina menatap Jaya dengan pandangan jijik sambil mendesis.
Tak satu pun dari mereka menyambut Jaya. Mereka justru ingin menyingkirkannya secepat mungkin.
“Jelita, ingat kata-kataku. Jika keluargamu memaksamu untuk menceraikanku karena mereka menghadapi masalah serius, beri tahu saja aku. Aku akan membantumu menangani masalah itu.” Jaya sudah mengucapkan kata-kata ini tadi sore, tapi Jelita tak mempercayainya.
Karena itu, Jaya mengulangi kata-kata ini sebelum pergi dari sini.
“Menangani masalah? Bagaimana caramu membantuku?" Akhirnya, Jelita tidak tinggal diam lagi. Dia mengangkat suaranya dan mencaci Jaya, “Berhentilah bicara omong kosong! Apa kau tahu siapa yang telah kami singgung? Keluarga Kumara! Mereka adalah keluarga terbesar dan paling berpengaruh di Biantara! Memangnya kau bisa berurusan dengan mereka? ”
"Tentu saja!" Jaya menjawab dengan tenang. “Aku bisa berurusan dengan siapa pun yang aku inginkan di dunia ini. Jika ada yang menentangku, aku akan menyingkirkan mereka.”
Jaya mengatakan yang sebenarnya, karena Asura memang telah memusnahkan keluarga terkemuka yang tak terhitung jumlahnya dalam peperangan.
Selain itu, keluarga paling terkemuka di Cibaria juga sudah dihancurkan olehnya, jadi tidak mungkin dia takut pada keluarga paling berpengaruh di kota ini.
“Hah! Bangun, Jaya. Berhentilah bermimpi. Hanya karena kau mengenal beberapa orang petinggi, jangan pikir bahwa kau tak terkalahkan!” Jelita mendengus. Dengan ekspresi menghina, dia menambahkan, “Kau pikir hanya kau yang memiliki koneksi dengan orang-orang penting? Keluarga Kumara memiliki lebih banyak koneksi daripada yang kau bayangkan! Dibanding mereka, kau hanyalah hama, yang bisa mereka injak sampai mati kapan saja!”
Setelah berdiri selama puluhan tahun di Biantara, pengaruh dan koneksi yang dimiliki keluarga Kumara jauh dari yang bisa dibayangkan Jaya.
Jaya mungkin mengenal beberapa orang penting hanya karena beruntung, tapi mereka tidak akan mau menyinggung keluarga Kumara demi dirinya.
Hanya orang bodoh yang memilih untuk mempercayai kebohongan Jaya ini.
"Pergilah. Kami tak butuh bantuanmu. Lagi pula, kau tak bisa membantu kami,” kata Maria sambil mengusir Jaya bagaikan lalat.
Alih-alih melihat Maria, Jaya malah menatap mata Jelita dengan sorot mata yang tak tergoyahkan. “Keluarga Kumara? Baiklah. Aku akan meminta kepala keluarga Kumara untuk berlutut dan meminta maaf kepadamu dalam waktu satu hari.” Dia berjanji dengan nada tegas.