Bab 10 Tak Bisa Dianggap Remeh
Anton menatap tajam ke arah Jaya, dengan sepasang mata yang memancarkan kebencian yang mendalam.
Ini tidak mungkin! Mustahil! Jaya hanyalah seorang pecundang!
Sejak pertama kali melihat Jelita, Anton telah mengirim seseorang untuk menyelidiki mantan suami wanita itu. Dia menyadari bahwa mantan suami Jelita hanya menikah dengan keluarga Subagja karena dia sedang dikejar-kejar. Jika Jelita tak menyelamatkan hidupnya, Jaya pasti sudah dibunuh oleh musuhnya sejak lama.
Mustahil, pecundang ini tak mungkin seorang komandan! Bahkan jika semua pria di dunia ini mati, Jaya tetap tidak berguna untuk menjadi komandan.
"Sebenarnya siapa kau, Jaya Baiduri?" tanya Anton, dengan rahang yang terkatup rapat.
Sebagai putra tunggal ketua Grup Surendra, disudutkan oleh menantu laki-laki yang tidak berguna seperti Jaya adalah hal yang sangat memalukan baginya. Bagaimana anggapan orang-orang tentangku jika berita ini sampai keluar?
"Aku adalah seseorang yang tak bisa kau anggap remeh!" cibir Jaya. "Ingat, jika aku melihatmu mengganggu Jelita lagi, Grup Surendra akan lenyap!"
Jelas, ini adalah ancaman.
Mendengar ancaman yang dilontarkan secara terang-terangan oleh Jaya, Anton pun marah dan menatapnya dengan kejam. Jika tatapan bisa membunuh, Jaya pasti sudah tercabik-cabik saat itu.
Sayangnya, tatapannya tidak menggentarkan Jaya, yang justru menoleh ke Jelita dan berkata, “Jelita, aku tak tahu masalah apa yang dialami keluargamu, tapi apa pun itu, aku bisa mengatasinya. Kau tak perlu menikahi pria yang tak kau sukai hanya karena masalah sepele!”
Masalah sepele?
Begitu mendengar kata-kata Jaya, orang-orang di sekitarnya mengangkat alis mereka dengan ragu.
Keluarga Subagja telah menyinggung keluarga paling berpengaruh di Biantara—keluarga Kumara. Itu sudah menjadi rahasia umum. Bahkan, keluarga Kumara sangat berpengaruh di Biantara.
Kini keluarga Subagja terburu-buru untuk menikahkan Jelita dengan Anton agar mereka bisa bergabung dengan Grup Surendra dan mampu bertahan melawan keluarga Kumara.
"Sudah cukup, Jaya!" teriak Jelita. "Aku tak peduli orang hebat seperti apa yang kau temui di luar sana, atau bagaimana caramu menipu orang untuk mendapat bantuan dari mereka, tapi jangan lupa bahwa mereka tidak akan bisa melindungimu selamanya!"
Dia menarik napas dalam-dalam dan menambahkan, “Begitu mereka menyingkirkanmu, kau bukanlah apa-apa lagi! Apa kau tak mengenal dirimu sendiri? Kau tak akan bisa memecahkan masalah keluargaku, jadi pergi saja! Aku tak mau melihatmu lagi!”
Jelita meneriakkan kalimat terakhir itu dengan keras, mengerahkan seluruh energinya.
Lagi pula, dia tahu pria seperti apa Jaya ini—malas dan tak berambisi!
Dia memang pandai melakukan pekerjaan rumah, tapi hanya itulah kelebihannya.
Karena itu, dia masih tak percaya bahwa Jaya telah menjadi orang penting setelah menghilang selama tiga tahun ini.
Jaya yang dia kenal adalah pria pemalas yang tak pernah memiliki pekerjaan yang layak, dan juga seorang pengecut yang tak pernah membalas, tak peduli seberapa buruk perlakukan yang dia terima. Jadi, dia berpikir bahwa Jaya tak akan mungkin bisa mendapat kekuatan.
Dia mungkin telah mendapat dukungan orang penting atau mengorbankan sesuatu demi mendapat bantuan mereka. Itulah satu-satunya jawaban yang masuk akal menurut Jelita.
Meski demikian, bagi Jelita, itu bukanlah solusi yang tepat untuk Jaya. Begitu para petinggi itu tidak menggunakannya dan membuangnya, orang-orang yang pernah dia sakiti akan kembali membalasnya. Tanpa perlindungan dari mereka, Jaya akan menjadi mangsa yang mudah dihabisi.
“Bantuan dari orang penting?”
Jaya pun tersadar dan tertawa terbahak-bahak. “Jelita, tahukah kau bahwa orang-orang yang kau anggap 'besar' sebenarnya tidak lebih dari semut bagiku? Tak satu pun dari mereka yang berani mengaku sebagai jagoan di hadapanku, karena akulah orang yang paling berpengaruh di dunia ini!”
Asura telah berhasil mendominasi dunia dan memulihkan perdamaian masyarakat dalam kurun waktu dua tahun.
Prestasinya yang gemilang ini tentu membuatnya tak terkalahkan.
Tak ada seorang pun yang berani menentang Keputusan Asura.
Bahkan walikota Janeda harus berdiri dan hormat di hadapannya.
"Kau gila, Jaya Baiduri!" Jelita tak tahan lagi dengan kesombongan Jaya yang luar biasa. "Kau harus segera pergi berobat!" bentaknya lagi.
Setelah itu, dia berputar dan berjalan pergi.
Dia tak sudi melirik Jaya lagi.
Kali ini, dia datang ke tempat ini untuk memanfaatkan pengaruh keluarga Surendra untuk mengatasi masalah dengan keluarga Kumara. Sayangnya, karena Jaya telah menyinggung Anton, sekarang tidak ada gunanya dia tinggal lebih lama lagi di sini.
“Jelita!” panggil Jaya, tetapi Jelita tidak menoleh atau menanggapi sama sekali.
Melihat bahwa Jelita bersikeras untuk pergi, Jaya pun segera mengejarnya.
Begitu dia pergi, suasana tegang di ruangan itu segera mencair.
Anton meraih sebuah kursi untuk menopang tubuhnya. Akhirnya dia berdiri dan menatap sosok Jaya yang bergerak pergi, dengan tatapan penuh kebencian.
Sebagai putra tunggal ketua Grup Surendra, dia tak pernah dipermalukan seperti ini seumur hidupnya. Tentu saja dia marah, karena Jaya telah menginjak-injak harga dirinya. Dia tak akan melupakan masalah ini begitu saja.
"Tuan Surendra, kau harus memberinya pelajaran. Dia sangat sombong!”
"Ya! Kau dengar sendiri, bukan? Dia mengaku sebagai orang paling berpengaruh di dunia. Dia pasti sudah gila!”
"Oh, atau mungkin dia baru saja melarikan diri dari rumah sakit jiwa!"
Begitu Jaya pergi, seluruh ketakutan di benak sekelompok orang ini langsung lenyap. Mereka mulai mengejeknya satu demi satu.
"Omong kosong! Apa kau tidak mendengar apa yang dikatakan Jelita tadi? Pria itu pasti hanya beruntung bisa dikenali oleh orang penting. Kalau tidak, mengapa Andi Adinata sangat menghormatinya?”
“Mungkin dia menjual dirinya sendiri ke perusahaan besar. Jangan lupa, ada beberapa orang berpengaruh memiliki kesukaan tertentu!” Seseorang mencemooh, dan yang lainnya bertukar pandang, tampak saling mengerti maksud satu sama lain.
"Cukup. Tak bisakah kau diam?” Saat mereka mencemooh Jaya, dengan penuh amarah, Anton memukul meja dengan telapak tangannya.
“Jaya, tidak peduli orang hebat macam apa yang sedang kau ‘jilat’, jangan lupa bahwa kita ada di Biantara, wilayah keluargaku. Tak peduli siapa dirimu, kau bukanlah tandingan kami! Dalam waktu kurang dari tiga hari, kupastikan bahwa kau akan berlutut di kakiku untuk memohon ampun! Saat itu terjadi, kau akan tahu siapa yang berkuasa di Biantara,” ujarnya dengan marah.
Saat ini, hanya ada satu hal di benak Anton—dia ingin Jaya mati.
Selain Jaya, dia juga ingin seluruh keluarga Subagja menanggung akibat semua ini.