Bab 7 Seperti Biasa
Sandi Surendra? Jika dia berdiri di sini, dia pasti sudah melempar Jaya ke Sungai Bida. Jaya hanya akan menjadi mangsa ikan!
Beberapa orang yang ada di sana memandang Jaya seperti melihat orang bodoh.
Siapa orang di Biantara yang tidak tahu bagaimana Grup Surendra berkembang? Dulu, dengan cara kejamnya, Sandi berhasil naik ke puncak kesuksesan, mengorbankan begitu banyak orang sebagai batu loncatan. Karena itu, setengah dari kekayaannya diwarnai pembunuhan! Bahkan orang-orang yang memiliki kekayaan bersih sebanyak lebih dari 1,5 triliun rupiah menghindarinya seperti wabah. Jadi, menantu yang tidak penting seperti Jaya ini tidak layak diperhatikan!
Setelah mendengar kata-kata Jaya, ekspresi Anton berubah dingin. “Kau dengar itu, Jelita? Dia yang menggali kuburnya sendiri, jadi aku tak bisa berbuat apa-apa!”
Dia mengangkat ponselnya dan menghubungi seseorang, namun dia tak banyak bicara. “Halo, Dipa! Aku ada masalah di sini. Datanglah bersama beberapa orang dan tangani masalah ini! Seperti biasa, jangan lupa membawa beberapa senjata!”
Dipa yang dimaksud Anton tidak lain adalah kapten dari Divisi Penegakan Tindak Kriminal di Biantara, Dipa Bramantya.
Dipa sudah biasa menikmati banyak keuntungan dari keluarga Surendra, jadi pada dasarnya dialah yang membantu kapan pun Anton membuat masalah di luar atau mengalami situasi yang rumit.
“Aku di Ruang No. 1 di Hotel Internasional Surya Kencana!”
Setelah selesai berbicara, Anton menutup telepon dan menatap Jaya, seolah-olah ajal pria itu sudah dekat. “Kau sangat ahli dalam bertarung, huh? Baiklah. Akan kulihat seberapa baik kemampuanmu nanti, apakah kau bisa menghadapi senjata dan juga peluru!”
Ancaman terdengar sangat jelas dari kata-katanya.
Setelah mendengar ancaman itu, semua orang yang ada di sana memandang Jaya, berpikir bahwa akan terjadi pertunjukan hebat sesaat lagi.
Sorot mata mereka jelas tampak menyalahkannya karena mengundang bencana.
Terutama Yani, yang tidak bisa menahan diri untuk tidak mencibir setelah mendengar kata-kata Anton, “Di dunia ini, memang ada orang yang sungguh tidak tahu diri. Hanya karena kau menemukan batu yang tidak berharga di pinggir jalan dan bertemu dengan orang hebat dari Bolinia, kau pikir kau benar-benar hebat? Aduh, sampai kapan pun, segumpal lumpur tetaplah segumpal lumpur, tidak berarti apa-apa!”
Kata-katanya mempengaruhi semua orang yang ada di sana.
Benar sekali! Jaya hanyalah seorang menantu yang tidak berguna. Memangnya kenapa jika dia beruntung dan menemukan batu tak berharga di pinggir jalan? Anton memang tak berani melakukan apa pun padanya saat pria hebat dari Bolinia itu ada di sini, tapi sekarang pria hebat itu sudah pergi, dan Jaya hanyalah orang yang tidak berguna! Bodoh sekali!
“Kenapa sekarang kau diam saja, Jaya? Bukankah tadi kau sangat arogan, bahkan tidak memiliki rasa hormat sedikit pun untuk ayahku?” Anton pun terus melontarkan ejekan ketika menyadari bahwa Jaya sangat ketakutan dengan ancamannya sampai-sampai tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
Benar saja, dia memang pengecut! Belum melihat pistol saja sudah ketakutan seperti ini, sampai-sampai tidak berani bicara sama sekali!
“Memangnya aku harus berkata apa?” Jaya meliriknya dengan acuh, tidak ingin memedulikannya. "Dengan mengancamku dengan pistol, bukankah kau sama saja dengan mencari mati?"
Di dunia ini, hanya ada dua jenis orang yang berani menodongkan pistol padaku. Yang pertama adalah orang yang sudah mati, dan yang kedua adalah orang yang akan segera mati!
“Kalian dengar itu, kan? Dia bilang aku mencari mati!” Mendengar komentar Jaya, Anton bertingkah seolah-olah itu adalah lelucon terbesar di dunia.
“Untuk apa kau peduli dengan orang bodoh seperti dia, Tuan Surendra? Bisa-bisa dia kencing di celana saat melihat pistol nanti!”
"Benar sekali! Dia hanya berpura-pura tenang, tapi mungkin dialah yang pertama kencing di celana nanti!”
Mengikuti Anton, mereka semua mengolok-olok Jaya dengan komentar buruk.
Meski begitu, Jaya tidak ingin membuang-buang waktu dengan mereka. Dia hanya menjawab dengan santai, “Benarkah? Kalau begitu, aku benar-benar ingin lihat apakah orang-orang yang kau panggil itu berani menembakku nanti.”
Kata-katanya sontak mengundang gelak tawa dari banyak orang yang ada di sana.
Mata mereka diwarnai dengan penghinaan, karena mereka menganggap bahwa Jaya hanya membual.
Sementara mereka tertawa terbahak-bahak, perasaan jijik terhadap Jaya menggenang di dalam hati Jelita. Meskipun dia tidak terlalu menyukai Jaya tiga tahun lalu, sebenarnya Jelita tidak terlalu membencinya.
Dulu, meskipun dia tidak berguna dan hanya hidup bergantung pada keluarga Subagja, setidaknya dia tidak sombong seperti ini. Sekarang, dia sudah tidak tahu diri! Apa dia pernah mendapat pukulan berat di luar sana selama tiga tahun terakhir ini, sampai-sampai kepribadiannya berubah sangat drastis seperti ini?
Akhirnya Jelita membentaknya, “Cukup, Jaya! Kenapa kau masih di sini? Cepat pergi dari sini! Kau tak diterima di sini!”
Meskipun mencaci-maki Jaya, sebenarnya dia ingin menyelamatkan pria ini untuk yang terakhir kalinya.
Tak peduli betapa besar kebencianku padanya, aku tak ingin melihatnya mati di tangan orang lain. Aku tahu betul orang seperti apa Anton itu. Seseorang seperti Jaya, yang tidak memiliki kekuatan ataupun status, pasti akan dihajar hingga babak belur jika sampai jatuh ke tangan Anton. Jika tidak, dia akan mati dengan mengerikan!
Sayangnya, Jaya sama sekali tidak menghargai kebaikan Jelita. Alih-alih pergi, dia bahkan menatap Jelita dan menegaskan, “Jangan khawatir, Jelita. Tak ada seorang pun di dunia ini yang berani menembakkan pistol ke arahku atau mengusikmu!”
“Kalian semua mendengarnya, kan? Di saat seperti ini, dia masih saja keras kepala!” Kata-katanya kembali membuat banyak orang tertawa terbahak-bahak.
Di mata mereka, Jaya sama saja dengan menggali kuburnya sendiri.
Dia ini sudah hampir mati, tapi tetap saja bertingkah arogan dan kuat! Dengan semua akting yang dia lakukan, dia akan terlihat sangat bodoh!
"Kau ini benar-benar tidak bisa diselamatkan, Jaya!" Jelita kehilangan harapan pada diri Jaya.
Ah, biarkan saja! Bahkan Tuhan pun tak akan bisa menyelamatkan pria terkutuk ini! Dia sudah bertekad untuk menantang kematiannya, untuk apa aku repot-repot mencampuri urusannya?
Tepat ketika keputusasaan terukir di wajahnya, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang terburu-buru di luar pintu ruang pribadi. Detik berikutnya, seorang pria paruh baya berseragam polisi bergegas memasuki ruangan bersama beberapa bawahannya.
"Tuan Surendra!” Begitu mereka memasuki ruangan, petugas polisi setengah baya—Dipa Bramantya—langsung menghampiri Anton. "Jadi, mana idiot yang menyinggungmu kali ini?"
"Di sana! Itu dia.” Sambil mengerucutkan bibirnya, Anton mengarahkan pandangannya pada Jaya. “Seperti biasa, bawa dia pergi. Terserah kau mau menggunakan alasan apa. Jangan lupa, urus dia dengan baik selama di dalam tahanan! Bahkan jika dia tidak mati, aku ingin dia berakhir sekarat! Kau mendengarku, kan?”
“Seperti biasa, kan? Baik, aku mengerti!" Dipa melambaikan tangan dan menunjuk ke arah Jaya setelah menerima perintah dari Anton. Jelas sekali bahwa ini bukanlah pertama kalinya mereka melakukan hal seperti itu. "Semuanya, bawa pergi anak itu!" seru Dipa.