Bab 14 Difitnah oleh Erina
Orang yang membukakan pintu untuk mereka adalah Maria Sukoco, ibu Erina.
Menurut Jaya, ibu mertuanya adalah wanita yang amat kasar, kejam, dan picik. Sejak dia menikah dengan keluarga Subagja, ibu mertuanya itu tak pernah menyukainya, senang mempermalukannya dan juga memerintahnya melakukan tugas rumah.
Dulu, dia harus melakukan tugas rumah yang tak ada habisnya, termasuk mengganti bohlam lampu yang rusak, mencuci piring, menyedot debu lantai, memperbaiki toilet, dan bahkan mencuci pakaian dalam milik Maria, karena wanita itu terlalu malas untuk melakukannya sendiri.
Meski begitu, dia tetap saja tidak suka dengan Jaya. Tak jarang dia mendesak Jelita untuk menceraikan Jaya agar bisa menikah dengan pria kaya.
"Ibu!" sapa Jaya.
Tak peduli seberapa besar kebenciannya pada Maria, selama dia masih menikah dengan Jelita, dia harus tetap menahannya.
"Aku bukan ibumu!" balas Maria dengan tajam. “Kau sudah menghilang selama tiga tahun tanpa memberitahu kami sama sekali. Kau anggap apa kami ini, huh? Hotel yang bisa kau datangi dan tinggalkan sesuka hatimu?”
“Bu, aku sudah—”
Sebelum Jaya bisa menjelaskan apa yang terjadi padanya selama tiga tahun terakhir, Maria menyelanya. “Sudah cukup, berhenti mengarang alasan. Aku tak peduli apa kabarmu selama ini. Bahkan, menurutku kau lebih baik mati. Tak ada gunanya lagi kau hidup. Menghabis-habiskan tempat dan membuang-buang makanan saja!”
Wanita itu menarik napas dalam-dalam dan kembali berujar, “Jaya, aku akan berterus terang padamu. Karena kau sudah pergi begitu saja selama tiga tahun, menurut hukum, pernikahanmu dengan Jelita telah berakhir. Dengan kata lain, kalian berdua sudah bercerai. Jadi, jangan pernah muncul di kediaman keluarga Subagja lagi, karena kami tidak menerimamu!”
Tanpa memberi Jaya kesempatan untuk menjelaskan alasan kepergiannya, Maria mengusirnya secara terang-terangan.
Dia tak mau semakin dibuat kesal oleh menantu laki-lakinya yang tak berguna ini. Semakin dilihat, Jaya semakin merusak pemandangan di mata Maria.
Dia tak ada apa-apanya dibandingkan dengan putra tunggal ketua Grup Surendra.
“Hukum mana yang menyatakan bahwa pernikahanku dengan Jelita otomatis berakhir karena aku sudah meninggalkan rumah selama tiga tahun?" tanya Jaya dengan ekspresi muram. Dia telah berulang kali menolerir sikap Maria, tapi kesabarannya hanya membuat ibu mertuanya itu semakin sombong dan melontarkan komentar kejam.
Ini adalah pertama kalinya dia pulang setelah pergi selama tiga tahun, namun ibu mertuanya malah tak mengizinkannya masuk.
"Itu bukan urusanmu! Jaya Baiduri, sudah cukup omong kosongmu. Besok pagi, kau dan Jelita harus pergi ke Balai Kota dan bercerai. Mulai hari ini dan seterusnya, jauhi putriku. Jika kau masih terus mengikutinya, aku akan memerintahkan seseorang untuk menghajarmu!” Maria memperingatkan Jaya seraya menudingnya.
Jaya sudah tak bisa bersikap sopan lagi, karena Maria sendiri yang mulai bersikap kasar padanya. "Apa Ibu cepat-cepat meminta kami bercerai karena ingin menikahkan Jelita dengan Anton Surendra?" tanya Jaya dengan tegas.
"Bagaimana kau tahu?" Ekspresi terkejut muncul di wajah Maria, tapi dia segera kembali tenang dan menjawab, “Ya. Memang kenapa? Sejak kau menghilang, Jelita hidup seperti janda. Tak bisakah dia menikah dengan pria lain? Itu lebih baik baginya, daripada tinggal dengan seorang pecundang sepertimu!”
Jaya berujar dengan dingin, “Bermimpilah. Anton tak akan menikah dengan Jelita!”
Setelah peristiwa tadi sore, Anton tak akan mungkin menikahi Jelita, kecuali kalau dia memang ingin mati.
"Benarkah? Apa menurutmu Anton takut padamu?” ejek Maria. “Jaya, selama tiga tahun terakhir, kau hanya semakin pintar membual, huh? Cukup, berhenti berpura-pura. Aku sangat mengenalmu. Jauhi Jelita, atau tanggung akibatnya!”
Dia menyeret Erina ke dalam rumah tanpa ragu, lalu hendak menutup pintu dan mengunci Jaya di luar. Namun, saat melakukan itu, dia melihat memar di lengan putri bungsunya.
Dengan raut wajah yang berubah serius, dia bertanya, "Apa ini?"
“B-Bu, aku…” Erina tergagap karena gugup.
"Apa Jaya si b*jingan ini yang membuatmu seperti ini?" seru Maria sambil menatap Jaya dengan tajam. “B*jingan, apa kau yang melakukan ini pada Erina? Berani-beraninya kau menyentuh putriku! Aku akan memberimu pelajaran!”
Dia berbicara seraya mengulurkan tangannya, hendak menampar pipi Jaya.
Namun sayangnya, bahkan sebelum Maria bisa mengangkat lengannya, Jaya menangkapnya dengan kencang. “Tadi putrimu mabuk di bar dan dibius oleh orang lain. Aku menyelamatkannya dari pemerkosaan!”
"Jaya, lepaskan aku. Berani-beraninya kau menyentuhku?” desak Maria, dengan amarah yang membuncah di dadanya. “Erina adalah putriku, jadi aku sangat mengenalnya. Putriku yang penurut ini selalu menjadi siswa terbaik. Tak mungkin dia pergi ke bar!”
Dia tak mau percaya dengan penjelasan Jaya.
B*jingan ini sudah mengambil keuntungan dari Erina, tapi masih saja mengelak. Dia hanya berbohong untuk menipuku!
"Tanyakan sendiri padanya!" Jaya mendorongnya dan menatap Erina. "Emmelin, cepat katakan!"
“A-Aku tidak pergi ke bar. Dia memfitnahku...” Mata Erina memerah, seolah-olah Jaya memang telah memfitnahnya.
“Memar ini adalah ulah Jaya. Karena melihatku pulang sendirian, dia mencoba mengambil keuntungan dariku di tengah kegelapan. Untung saja aku cukup cepat dan berhasil melepaskan diri dari cengkeramannya. Dia bahkan mengancamku untuk tidak memberitahukan tentang ini pada Ibu, kalau tidak... dia akan..."
Setelah menjelaskan sampai di situ, suaranya semakin lirih. Dia menggigit bibirnya untuk menahan tangis, sehingga membuat ceritanya tampak sangat meyakinkan.
“Jaya, mau menjelaskan apa lagi kau, huh? Dasar b*jingan menjijikkan!” Amarah Maria memuncak, sampai-sampai dia menampar Jaya dengan keras. “Erina adalah adik iparmu! Meski kau membenci kami, bagaimana bisa kau melakukan itu padanya? B*jingan, aku tak akan melepaskanmu!”
Maria mulai berteriak penuh amarah. Saat itu, terdengar suara langkah kaki di dalam rumah. Kukuh Subagja, suami Maria, juga ayah mertua Jaya, muncul di sana. Pria itu berlari ke pintu dan bertanya, "Ada apa?"
Di belakangnya ada Jelita, yang telah pergi meninggalkan Jaya setelah peristiwa tadi sore.
“Kukuh Subagja, putrimu telah dilecehkan! Cepat, beri pelajaran pada b*jingan ini!” pekik Maria di sela tangisannya. “Tak hanya melecehkan Erina, bahkan dia juga memukulku!”