Bab 11 Bar Mahkota
Saat Jaya tiba di lantai bawah, dia tak melihat Jelita di sana.
Sementara itu, Andi, yang tadi sepertinya sudah pergi dengan pasukannya, ternyata sedang menunggunya di lantai bawah. Setelah melihat Jaya, dia bergegas mendekat dan memberi salam, "Komandan!"
"Apakah Abimana mengirimmu untuk membuntutiku?" tanya Jaya, disertai tatapan yang berubah dingin.
Aura luar biasa yang dipancarkan oleh Asura membuat wajah Andi memucat. Rasanya seperti ada sebilah pedang yang siap menggorok lehernya kapan saja.
Kepala Andi dibuat tertunduk oleh tatapan tajam Jaya.
“T-Tidak, kami tidak membuntutimu. Raja Perang mengirim kami untuk melindungimu!” jawab Andi dengan suara gemetar. Kini dia begitu cemas dan takut, sampai-sampai tak berani menatap lurus ke arah atasannya.
"Melindungi?" Jaya terkekeh mendengar jawaban Andi. "Apa aku membutuhkan perlindunganmu?"
Pertanyaan Jaya membuat tubuh Andi menegang.
Sesungguhnya, Asura memang cukup kuat untuk menaklukkan dunia, tanpa kalah dalam pertempuran sama sekali. Dia tak perlu perlindungan.
“Sampaikan pesanku pada Abimana. Jika dia berani mencampuri urusanku lagi, akan kubuat dia kembali ke Penjara Basukarna dan mendekam di sana selama satu tahun!”
Saat Andi mendengar ancaman Jaya barusan, ketakutan mewarnai kulit pucatnya. Dia berlutut dan menjawab, "Baik, Tuan!"
Setelah melayangkan pandangan terakhirnya pada Andi, Jaya berbalik dan melangkah pergi.
Tepat setelah sosok Jaya menghilang dari pandangannya, Andi mengeluarkan ponselnya dengan kedua tangan yang gemetar. Dia menghubungi nomor tanpa ragu dan berkata, "Tuan, Asura—"
"Apa dia mengancam akan mengurungku di Penjara Basukarna jika aku ikut campur urusannya lagi?" sela Abimana sebelum Andi sempat menyelesaikan kalimatnya.
"B-Bagaimana kau tahu?" Mata Andi melebar tak percaya.
Apakah Raja Perang memasang semacam alat penyadap untuk memata-mataiku?
“Berhenti melihat sekeliling. Aku tidak memasang alat penyadap apa pun padamu!” Raja Perang seolah bisa membaca pikiran Andi. Dia terkekeh, lalu menjelaskan, “Aku sudah bekerja di bawah komando Asura selama dua tahun, dan kami telah membunuh begitu banyak musuh bersama-sama, hingga tak terhitung jumlahnya. Aku sangat mengenalnya.”
Kemudian, dia memberi perintah, dengan nada bicara yang berubah tegas, “Kau tidak diizinkan untuk kembali. Bersembunyilah dan terus buntuti dia. Ingat, jangan biarkan Asura berada dalam bahaya!”
"Tapi Asura—"
Namun, begitu Andi hendak menjawab, Abimana kembali menyelanya dengan tidak sabaran. "Diam. Apa kau ingin menentang perintah militer? Bahkan jika nanti Asura mengamuk padaku, kau harus tetap berjaga pada jarak seratus meter darinya. Jika dia sampai terluka, aku akan membunuhmu!”
“Baik, Tuan!”
Tentu saja Andi tidak berani menentang perintah militer.
“Saat ini, kelompok orang-orang di Wilayah Barat itu bertingkah mencurigakan. Aku curiga bahwa mereka akan mengirim seseorang untuk menyakiti Asura. Meskipun Asura tidak terkalahkan, kita tetap harus waspada dan tak boleh memberi mereka celah untuk menyakitinya. Kau mendengarku, kan?
“Ya, Tuan!”
Aura membunuh muncul di mata Andi saat dia mendengar atasannya menyebut Wilayah Barat.
Orang-orang kurang ajar dari Wilayah Barat itu bersiap untuk membuat masalah di Janeda! Apa mereka ingin mati?
Setelah meninggalkan Hotel Internasional Surya Kencana, Jaya memutuskan untuk tidak pergi ke kediaman keluarga Subagja untuk menemui Jelita. Mengingat bahwa Jaya baru saja membuatnya marah, Jelita pasti tak akan mau berbicara baik-baik dengannya jika Jaya mengejarnya.
Bagaimanapun juga, Jaya telah menghilang selama tiga tahun. Siapa pun pasti akan bereaksi seperti Jelita jika menghadapi situasi seperti itu. Karena itu, Jaya mengerti alasan mengapa Jelita marah, dan tidak menyalahkannya.
Dia menghela napas dan bergumam pelan, “Aku berhutang terlalu banyak pada Jelita selama beberapa tahun terakhir. Sepertinya aku hanya bisa menebus kesalahanku setelah dia tenang nanti!”
Setelah menarik napas dalam-dalam, dia memasuki Bar Mahkota, tempat yang sering dia kunjungi tiga tahun lalu.
Dulu, setiap kali keluarga Subagja mencacinya, dia selalu datang ke sini dan minum untuk menghilangkan kesedihannya.
Meskipun dia telah pergi selama tiga tahun dan tidak menjadi objek cemoohan seperti dulu, kakinya tiba-tiba membawanya ke sini karena terbiasa.
"Selamat datang, Tuan. Satu meja untuk berapa orang?”
Saat Jaya melangkah masuk ke dalam bar, seorang wanita berpakaian terbuka beringsut menghampirinya.
“Untuk satu orang!” jawab Jaya sebelum pergi ke tempat biasanya. Meskipun terletak di sudut terpencil, meja itu adalah tempat favoritnya.
“Sepertinya kau sudah pernah datang ke sini.” Wanita itu terkejut saat melihat bahwa Jaya sudah sangat mengenal tempat ini. "Tapi aku belum pernah bertemu denganmu sebelumnya."
"Ini adalah pertama kalinya aku datang ke sini dalam tiga tahun terakhir," jawab Jaya sambil duduk. “Seingatku, dulu aku pernah menyimpan alkohol di sini. Bisakah kau membantuku untuk mencari tahu apakah alkoholnya masih ada di sini?”
"Tentu. Bolehkah aku tahu namamu?"
"Jaya Baiduri."
“Baik, tolong tunggu sebentar.”
Wanita itu berjalan ke konter bar dengan tegak. Di bawah cahaya lampu yang redup, kakinya yang panjang dan ramping tampak bersinar seperti mutiara, menarik perhatian semua orang.
Meskipun dia masih muda, tubuhnya tampak menggairahkan, dengan lekukan indah yang menghiasi semua tempat yang pas.
Selain itu, meskipun memancarkan keseksian, wajahnya menunjukkan kepolosan khas seorang gadis muda. Dengan wajah polos tanpa sedikit pun riasan di wajahnya, dia tampak semurni bidadari, seperti primadona kampus impian setiap mahasiswa.
"Tuan Baiduri, ini alkoholnya.” Tak lama setelah itu, wanita tersebut kembali, diikuti seorang pelayan di belakangnya.
Alih-alih anggur atau minuman keras yang mahal, pelayan tersebut membawa nampan berisi puluhan botol bir.
Tak heran, mengingat Jaya hanyalah seorang pemuda yang bangkrut tiga tahun lalu. Tentu saja dia tidak punya uang untuk membeli minuman keras yang mewah.
"Tuan, apa kau ingin membuka semuanya?" tanya wanita itu.
"Ya, tolong buka semuanya!" Jaya mengangguk kecil. Meski dia tahu bahwa dia tak bisa menghabiskan semuanya, dia tetap menyuruh wanita tersebut untuk membuka botol-botol birnya.
Lagi pula, mungkin ini akan menjadi kali terakhirnya datang ke bar ini, jadi tidak perlu menyimpan bir di sini lagi.
“Baik!”
Wanita itu menoleh ke belakang. Dengan jentikan jarinya, pelayan segera membuka semua botol bir dan meletakkannya di atas meja. Setelah itu, wanita tersebut bertanya, “Tuan Baiduri, karena kau sendirian, haruskah aku meminta beberapa wanita penghibur untuk menemanimu?
“Wanita penghibur?” Jaya terkejut mendengar bahwa bar ini menyediakan layanan seperti itu.
“Jangan salah paham, Tuan Baiduri. Mereka hanya menghiburmu saat minum. Itu saja!" Melihat keterkejutan di mata Jaya, wanita itu segera menjelaskan.
“Tidak perlu!” Jaya melambaikan tangan, memintanya untuk pergi. Dia tidak tertarik dengan layanan semacam itu.
Sebagai Asura yang perkasa, dia telah bertemu banyak wanita sebelumnya. Dengan izinnya, banyak selebriti wanita yang naik ke tempat tidurnya atas kemauan mereka sendiri.
Oleh karena itu, tak mungkin dia mau ditemani oleh wanita penghibur.
Tak lama kemudian, wanita itu meninggalkan Jaya sendirian. Jaya menuangkan secangkir bir untuk dirinya sendiri dengan acuh tak acuh, seraya menyapukan pandangannya ke seluruh area di bar ini. Tiba-tiba, dia melihat sosok yang dikenalnya.