Bab 13 Kenapa Kau Masih Hidup
Erina tak akan pernah lupa betapa tidak bergunanya kakak iparnya itu. Dia hanya bermalas-malasan dan tidak pernah mau mencari pekerjaan. Selain melakukan pekerjaan rumah, seperti memasak, mencuci piring, menyedot debu lantai, dan memperbaiki toilet, pria itu sama sekali tidak kompeten.
Tidak ada pria yang tak berguna dan konyol seperti Jaya.
Erina telah memandang rendah Jaya sejak hari pernikahannya dengan keluarga Subagja.
Aku benar-benar tidak mengerti, apa yang dilihat kakakku dari dirinya? Pria ini jelek dan tidak berguna. Jika bukan karena belas kasihan Jelita, dia pasti akan menjadi lajang selamanya!
“Orang-orang yang minum bersamamu tadi mencampur minumanmu dengan obat. Aku menyelamatkanmu dari mereka!” Jaya tahu bahwa adik iparnya ini membencinya, jadi dia tidak menjelaskan panjang lebar.
Namun, Erina tak mau mempercayainya. Dia menatap Jaya dengan mata melebar dan membentaknya, “Obat? Maksudmu mereka membiusku? Sepertinya justru kaulah yang ingin melakukan itu!”
Tak mungkin mereka membiusku. Bahkan kalaupun aku dibius, pelakunya pasti Jaya!
Tak ingin menanggapi tuduhan Erina, Jaya hanya memutar matanya dan menjawab dengan sepatah kata, "Terserah."
Jika bukan karena Jelita, dia pasti sudah membiarkan gadis ini mati di jalanan.
"Jaya Baiduri, beraninya kau bicara seperti itu padaku?" bentak Erina, kesal dengan sikap Jaya.
Setelah menikahi kakakku, dulu dia selalu bersikap sopan dan tunduk padaku. Dia tak pernah berani meninggikan suaranya padaku, apalagi berbicara padaku dengan nada acuh tak acuh seperti itu. Tak kusangka, dia bisa bersikap sekasar ini setelah muncul kembali!
“Erina, jika bukan karena kakakmu, aku tak akan peduli melihatmu dijerumuskan seperti itu. Jika tadi aku tidak membantumu, para berandalan itu pasti sudah memperkosamu di hutan!” jelas Jaya sambil menatapnya dengan dingin. “Karena sekarang kau sudah sadar, kau bisa memilih sendiri, pulang atau tetap minum dengan teman-temanmu itu! Jangan ragu, lakukan saja apa yang kau mau. Itu bukan urusanku!”
Setelah mengatakan itu, dia berbalik dan berjalan pergi.
Erina merasakan kemarahan dalam kata-kata Jaya barusan. "Jaya, berhenti!" teriaknya.
Jaya terus berjalan pergi, mengabaikan teriakan Erina. Ditinggalkan sendiri di area yang sunyi dan gelap, tanpa ada seorang pun yang terlihat, Erina merasakan ketakutan merayap ke hatinya. "Jaya, jika kau tidak berhenti, aku akan menelepon Jelita dan memberitahunya bahwa kau telah membiusku!" jerit Erina.
"Erina, apa maumu?" Jaya menghentikan langkahnya, dan tatapan matanya tampak dingin tanpa ekspresi.
Dia memang berutang pada Jelita, tetapi itu bukan berarti bahwa dia harus selalu bersikap baik pada keluarga Subagja.
Karena itulah dia tak bisa menyembunyikan rasa tidak sukanya pada Erina, yang telah menghinanya berkali-kali.
"Antarkan aku pulang!" Meski mereka sudah tidak bertemu selama tiga tahun, Erina tetap memerintah Jaya seperti dulu.
“Tak bisakah kau berjalan sendiri? Atau memanggil taksi?" tanya Jaya dengan suara dinginnya.
"Sekarang sudah terlalu gelap. Aku takut!" Erina mendengus. “Jaya, kau mau mengantarku pulang atau tidak? Kau tinggal di rumah kami tiga tahun lalu. Tak bisakah kau mengantarku pulang sekarang? Apa kau sungguh tidak berperasaan?”
Melihat Jaya memperlakukannya acuh tak acuh, kebenciannya pun semakin tumbuh.
Kenapa dia sombong sekali? Erina menggerutu dalam hati. Tunggu saja, Jaya. Begitu kita sampai di rumah, aku akan memberimu pelajaran!
"Kemari!" perintah Jaya.
"Untuk apa?" Erina bergidik mendengar nada bicara Jaya.
“Akan kuantar kau pulang!”
Pada akhirnya, Jaya tidak meninggalkan Erina sendirian di sana. Meski dia sangat tidak menyukai Erina, wanita muda itu tetaplah adik Jelita. Dia tidak akan pernah memaafkanku jika terjadi sesuatu pada Erina!
“Hmph!” Erina berdiri sambil mendengus, siap menghampiri Jaya.
Namun, begitu dia berdiri, kepalanya mulai terasa pusing.
Hasrat yang tak terkendali menjalari seluruh tubuhnya, diiringi dengan suhu tubuhnya yang meningkat.
Jelas, dia telah dibius!
Sambil menahan keinginan untuk berhambur ke dalam pelukan Jaya, dia berjalan ke arah kakak iparnya itu dengan napas terengah-engah.
“Jaya, menjauhlah setidaknya satu meter dariku. Kalau tidak, aku akan memberitahu Jelita bahwa kau mencoba mengambil keuntungan dariku!” Erina memperingatkan.
Bahkan meski dia tahu bahwa dia telah salah paham terhadap Jaya, Erina tak bisa meminta maaf kepadanya, dan justru terus memperlakukannya dengan kasar.
“Aku tidak tertarik padamu,” kata Jaya dengan singkat, bahkan dia tidak mau repot-repot melirik Erina. Gadis itu terlalu kurus, tidak sesuai seleranya.
“Pfft!” Emmelin mengejek, “Tentu saja aku juga tidak tertarik padamu. Lebih baik aku diperkosa oleh para berandalan itu daripada disentuh olehmu! Aku tidak mengerti, bisa-bisanya Jelita menikah dengan pria tak berguna sepertimu!”
Di akhir kalimatnya, dia mencibir. Rasa tidak sukanya terhadap Jaya meningkat.
“Mm?”
Jaya langsung menoleh mendengar komentar jahatnya. Saat melihat kilatan pembunuh di mata Jaya, Erina sontak bergidik ketakutan, merasa seolah-olah ada seekor singa yang hendak memangsanya.
"M-Mau apa kau?" tanya Erina dengan gugup dan ketakutan.
Alih-alih menjawabnya, Jaya hanya meliriknya dengan sorot mata dingin dan mulai menghentikan taksi.
Dalam waktu kurang dari tiga puluh menit, taksi yang mereka tumpangi berhenti di depan area perumahan kelas atas.
Taman Anggrek adalah tempat berkumpulnya orang-orang kaya di Biantara.
Meskipun Biantara hanyalah kota tingkat ketiga, harga rumah-rumah di sini mencapai sekitar dua puluh hingga 465 juta rupiah per meter persegi.
“Bayar ongkosnya!” kata Jaya. Dia membuka pintu taksi dan melirik Erina di kursi belakang.
“Ha! Ternyata aku memang benar. Setelah menghilang selama tiga tahun, membayar ongkos taksi saja kau masih tidak mampu! Tidak diragukan lagi, kau memang pecundang, Jaya!” komentar Erina sambil memutar matanya.
Erina tidak menyembunyikan penghinaannya. Dia telah pergi selama tiga tahun, namun membayar ongkos taksi saja tak mampu. Jika aku jadi dia, aku akan melompat dari tebing karena malu!
Setelah membayar ongkosnya, Erina masuk ke area perumahan dengan sepatu hak tingginya. Di belakangnya, Jaya kembali memasuki tempat di mana dia telah dipermalukan habis-habisan tiga tahun lalu.
Ding dong!
Tak lama setelah Erina menekan bel, seseorang segera membukakan pintu. Namun, saat melihat Jaya, orang itu tampak marah dan berteriak, “Jaya Baiduri? Kenapa kau ada di sini? Kenapa kau masih hidup?”