Bab 8 Apakah Alasan Itu Cukup
“Dimengerti, Kapten!”
Mengikuti perintah tersebut, beberapa petugas polisi dari Divisi Penegakan Hukum mencabut satu set borgol dan berjalan ke arah Jaya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Orang-orang tidak bisa menahan cibiran mereka saat melihat pemandangan itu.
“Bukankah katamu kau sangat kuat, Jaya? Lawanlah! Kenapa kau tak berani melawan polisi?” Yani mencemooh.
"Melawan? Lihat, dia tampak konyol karena ketakutan! Bagaimana mungkin dia berani melawan? Jangan-jangan dia kencing di celana karena ketakutan?”
“Bukankah tadi dia sombong sekali? Kenapa sekarang dia malah menjadi pengecut?”
Di situasi seperti ini, mereka semua mulai menendang Jaya.
Mereka benci melihat sikap arogan yang ditunjukkan Jaya barusan. Bukankah dia hanya menantu yang tidak berguna? Kenapa dia bertingkah seperti orang penting? Selain itu, dia bahkan mengaku bahwa dia bisa memberi Jelita dunia ini jika dia menginginkannya! Kenapa sekarang dia sangat ketakutan? Padahal dia belum melihat pistol!
"Jadi, ini kartu as yang telah kau sembunyikan, Anton?" Meski dihina habis-habisan oleh mereka, Jaya bahkan tidak sudi melirik mereka.
Mereka semua tidak penting! Mereka tidak layak untuk aku perhatikan!
"Jika hanya ini kartu as-mu, maka aku benar-benar kecewa padamu!" keluh Jaya sambil menggelengkan kepalanya. Yah, yah... Dia ingin membawaku pergi hanya dengan beberapa petugas polisi dari Divisi Penegakan Hukum? Bukankah dia terlalu meremehkanku?
"Lihat, dia masih berpura-pura berani!" Mendengar ucapan Jaya, bahkan sebelum Anton sempat menjawab, beberapa orang yang lain langsung membalasnya.
"Cukup. Berhentilah bersandiwara, Jaya! Apa kau tak tahu diri?”
“Dia benar-benar kecanduan bersandiwara! Tuan Surendra, bawa saja dia pergi. Tak perlu membuang-buang tenaga dengannya! Aku muak melihatnya!”
"Dengar, dengar! Bawa dia pergi, agar dia tidak bisa mempermalukan dirinya sendiri di sini lagi!”
Di tengah desakan orang-orang, Anton menatap Jaya dengan merendahkan. Tidak ingin bercanda dengan Jaya, dia melambaikan tangan dan memberi perintah, "Bawa dia pergi, Kapten Bramantya!"
"Bawa dia pergi!"
Setelah mendapat perintah dari Dipa, beberapa anak buahnya langsung mencengkeram lengan Jaya. Salah satu tangan mereka bahkan sudah bersiap di sarung pistol yang terletak di pinggang mereka. Dilihat dari postur mereka, sepertinya mereka tak akan ragu untuk menarik senjata mereka jika Jaya menunjukkan perlawanan, meski sedikit saja.
“Sebaiknya kau jaga sikapmu, Nak! Jika tidak, jangan salahkan kami jika kami tidak bersikap sopan padamu!” Beberapa petugas polisi dari Divisi Penegakan Hukum hanya menganggap Jaya seperti lelucon.
Ini bukanlah pertama kalinya mereka melakukan hal seperti itu, jadi mereka tahu bahwa mereka hanya perlu mematuhi kapten mereka dan menangkap semua orang yang menyinggung Anton, lalu memberi mereka pelajaran. Kemudian, Anton akan memberi mereka sejumlah uang sebagai imbalan.
Meskipun nominalnya tidak banyak, setidaknya mereka akan mendapat sepuluh ribu per orang.
Itu sudah cukup bagi mereka untuk berlangganan di sebuah clubhouse dan bersenang-senang dengan beberapa wanita muda sepanjang malam.
"Sepertinya sebagian besar dari kalian semua benar-benar melanggar hukum!" Melihat mereka menariknya dengan paksa, Jaya mencibir dan bertanya, "Kalian menangkap siapa pun yang kalian mau tanpa alasan?"
"Alasan?" Mendengar itu, salah satu petugas polisi mendengus dan menjawab, “Baiklah. Kau ingin alasan? Kalau begitu, aku akan memberimu satu alasan! Sekarang aku curiga bahwa kau terlibat dalam perdagangan narkoba! Apakah alasan itu cukup?”
“Ya, sudah cukup.”
Anehnya, Jaya hanya mengangguk tanpa melawan sama sekali. Melihat reaksinya, semua orang yang di sana tak bisa menahan tawa. Sorot mata mereka saat menatapnya pun penuh dengan penghinaan.
Lihatlah! Dia hanya takut, bahkan tidak berani protes sama sekali!
"Tapi, sepertinya kau tak akan bisa menangkapku karena alasan itu saja!" Jaya bergumam pelan seraya melirik ke pintu dengan tenang, "Sepuluh... Sembilan..."
Para petugas polisi tidak memedulikan gumamannya, tapi ketika mereka mendengar kata-katanya, mereka mencibir dan mencemooh, "Apa kau berencana untuk menolak penangkapan kami, Nak?"
Segera setelah mengatakan itu, mereka mencabut senjata mereka dan mengarahkannya ke kepala Jaya tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
"Ayo, biar kulihat bagaimana caramu melawan kami!"
Komentar petugas polisi tersebut langsung membuat orang-orang tertawa terbahak-bahak.
Jelas, mereka sengaja melakukan itu untuk menakut-nakuti Jaya dan membuatnya terlihat seperti orang bodoh.
"Aku benci orang yang menodongkan senjata ke arahku, jadi sebaiknya kalian singkirkan senjata kalian sebelum kesabaranku habis!" Dalam sekejap, tatapan Jaya berubah dingin.
Hal yang paling kubenci seumur hidupku adalah melihat orang lain menodongkan pistol ke arahku!
“Aku hanya ingin menodongkan pistol padamu. Memangnya kenapa?" Diiringi suara tawa yang dingin, seorang petugas polisi memukul kepala Jaya dengan pistol di tangannya. "Selain menodongkan pistol padamu, aku juga akan memukulmu dengan pistol ini!"
Pistol petugas polisi tersebut hampir saja mengenai kepala Jaya. Jika pistol itu sampai menyentuh Jaya, pertumpahan darah tak akan terelakkan.
Semua orang yang ada di sana memaku tatapan mereka pada Jaya, tak sabar untuk segera melihat pertunjukan yang menarik.
Namun, Jaya bertindak di saat-saat penting itu.
Dia tiba-tiba mengangkat tangan kanannya dan meraih pergelangan tangan si petugas polisi. Setelah dia mengerahkan sedikit kekuatan, suara tulang yang patah membelah udara.
Pergelangan tangan petugas polisi itu patah, dan pistol di tangannya jatuh ke tangan Jaya dalam sekejap mata.
“Ahh!” Detik berikutnya, ratapan kesakitan menggema di seluruh ruangan.
Kemudian, Jaya menendang tempurung lutut si petugas polisi hingga berlutut di depannya, diiringi bunyi yang cukup keras.
"Sudah kubilang, aku tak suka orang lain menodongkan pistol ke arahku!" Raut wajahnya tampak sangat dingin, seolah diselimuti lapisan es.
"Cepat! Bunuh dia! Beraninya dia menyerang seorang petugas polisi!”
Melihat si petugas polisi yang berlutut di tanah meraung kesakitan, para petugas polisi yang lain cepat-cepat mengangkat senjata mereka.
Dalam sekejap, lima hingga enam senjata diarahkan ke Jaya.
“Letakkan senjata di tanganmu! Kalau tidak, kami akan menembakmu!” Jari telunjuk mereka sudah menyentuh pelatuk pistol masing-masing, siap untuk meledakkan kepala Jaya jika dia sampai bergerak secara tiba-tiba.
“Sepertinya kalian tidak mengerti aku.” Kemudian, Jaya memutar pistol di jarinya dengan santai dan berkata dengan dingin, “Jadi, kalian ingin tahu siapa yang memiliki lebih banyak senjata, huh? Baiklah, akan kuberi kalian kesempatan untuk melakukannya!”
Setelah mengatakan itu, dia menarik sebuah kursi dan duduk di atasnya, tak peduli dengan beberapa senjata yang diarahkan ke kepalanya. Dia sama sekali tidak panik, justru memandang ke arah pintu dengan acuh tak acuh.
"Tiga… dua… satu..."
Begitu dia berkata “satu”, suara serangkaian langkah kaki yang teratur dan berat terdengar di luar pintu. Seolah-olah ada ribuan pasukan yang mendekat.
Kemudian, pintu kamar ditendang dengan keras hingga terbuka.