Bab 17 Mempermalukan Dirinya Sendiri
"Apa? Apa kau serius?" Maria menatap Jaya, mengira bahwa menantunya itu sudah gila karena bernyali bicara seperti itu. “Bagaimana mungkin pecundang sepertimu bisa melakukannya? Kurasa, bertemu Tuan Kumara saja kau tak akan bisa, apalagi membuatnya meminta maaf.”
Jaya jelas hanya membual. Dengan statusnya yang rendah ini, mana mungkin dia bisa bertemu dengan kepala keluarga Kumara? Lagi pula, kepala keluarga Kumara, Jaya Kumara, adalah sosok yang sangat penting. Bahkan walikota Biantara saja harus membuat janji terlebih dahulu jika ingin bertemu dengannya.
Maria memutar matanya melihat betapa sombongnya Jaya.
Berani-beraninya dia membohongi kami! Apa dia pikir kami adalah orang bodoh yang akan jatuh ke dalam tipuannya?
“Beri aku waktu satu hari. Jika aku gagal melakukannya, maka aku akan pergi ke Balai Kota bersama Jelita dan mengajukan permohonan cerai,” ujar Jaya seraya menatap tajam ke mata Maria. "Tapi sebaliknya, jika aku berhasil, kau harus berjanji tidak akan memaksa Jelita lagi untuk menceraikanku!"
Maria mendengus mengejek, lalu menggoda Jaya, “Ha! Jika kau berhasil, bahkan aku akan membiarkan Jelita menikah denganmu sekali lagi!”
Jelas, Maria hanya mengikuti permainan Jaya untuk membuatnya kesal, karena menurutnya Jaya tak akan berhasil.
Kurasa bahkan ketua Grup Surendra, yang hartanya mencapai triliunan rupiah, tak akan berani membuat janji semacam itu. Pecundang ini lucu sekali, huh? Dia pasti sedang melantur!
"Baiklah, kita sudah sepakat!" Jaya hanya membalas dengan singkat sebelum berbalik dan melihat Jelita. “Dalam waktu satu hari, kepala keluarga Kumara akan datang dan meminta maaf padamu. Tunggu dan lihat saja!”
“Cukup, Jaya. Kapan kau akan berhenti berpura-pura?” bentak Jelita. Kebencian telah menyelimuti pikirannya.
Baginya, Jaya hanya membual.
“Aku tidak berpura-pura. Aku adalah pria yang selalu menepati janji!” ujar Jaya dengan tegas. "Sekarang, kau hanya perlu bersiap untuk menjadi pengantin lagi!"
"Jaya, jika kau memang begitu percaya diri, bagaimana kalau kau selesaikan masalah di pesta ulang tahun Jaya Kumara besok?" usul Maria, diiringi seringai jahat yang mengembang di wajahnya.
Semua tokoh terkemuka di Biantara akan menghadiri pesta ulang tahun ke-70 Jaya keesokan harinya. Setelah mendengar semua bualannya, Maria tak sabar untuk melihat bagaimana Jaya akan memasuki kediaman keluarga Kumara.
“Pesta ulang tahunnya akan diadakan besok? Baik, tidak masalah!" Jaya menjawab tanpa ragu sedikit pun.
Bahkan dia bisa menyelesaikan masalah ini dengan panggilan telepon saja, apalagi menyelesaikannya sendiri pada malam itu atau keesokan harinya?
"Omong-omong, aku lupa memberitahumu bahwa kau perlu kartu undangan untuk memasuki kediaman keluarga Kumara." Maria mengingatkan Jaya. Bibirnya melengkung membentuk seringai menghina.
“Aku tidak membutuhkannya.” Ejekan Maria sama sekali tidak menggoyahkan Jaya.
Memang kenapa jika aku tak punya kartu undangan? Tak ada yang berani menghentikanku memasuki kediaman keluarga Kumara!
"Mari kita lihat berapa lama kau bisa terus membual seperti ini, b*jingan," cibir Maria. "Sebaiknya aku tidak melihatmu ditolak saat memasuki gerbang!"
Jaya hanya menjawab, “Aku bisa pergi ke mana pun aku mau. Tak ada yang sanggup menghentikanku.”
Dia menatap Jelita untuk yang terakhir kalinya sebelum pergi dengan langkah besar. Setelah sosoknya hilang dari pandangan mereka, Jelita menatap Maria dengan sorot mata penuh dendam. "Bu, kenapa Ibu memintanya untuk menghadiri pesta ulang tahun itu? Bukankah Ibu tahu bahwa dia tak akan bisa masuk tanpa kartu undangan?" tanya Jelita.
Akses ke pesta keluarga Kumara begitu eksklusif, sehingga keluarga Subagja hanya mendapat beberapa kartu undangan.
Sebenarnya, keluarga Kumara mengundang mereka hanya untuk menghina mereka. Jika tidak, mereka bahkan tidak layak memasuki kediaman Kumara.
"Ha! Bukankah dia akan mempermalukan dirinya sendiri? Aku hanya memberinya kesempatan untuk melakukannya,” jawab Maria sambil mendengus. “Kenapa, Jelita? Apa kau merasa kasihan padanya? Apa kau tidak dengar apa yang dia katakan tadi? Katanya, dia hanya perlu waktu satu hari untuk memerintahkan kepala keluarga Kumara berlutut di hadapanmu dan meminta maaf, bukan? Bukankah itu hanya omong kosong?”
Maria mendengus marah dan terus mengoceh tentang kesalahan Jaya, “Jelita, orang bodoh seperti dia tak pantas mendapatkan belas kasihan darimu. Karena dia bersikeras merendahkan dirinya sendiri, biarkan saja dia melakukan apa yang dia inginkan! Besok lusa, pergilah ke Balai Kota bersamanya dan selesaikan proses perceraian kalian. Setelah itu, kau bisa bebas menikah dengan Anton!”
Maria tampak tersenyum lebar, tenggelam dalam imajinasinya sendiri. “Keluarga Surendra mungkin tidak setara dengan keluarga Kumara, tapi setidaknya mereka bisa membantu meringankan kekhawatiran kita. Kakekmu hampir menderita serangan jantung karena amarahnya yang menumpuk.”
Mendengar kata-kata ibunya, Jelita membuka mulutnya dan hendak berkata, “Bu, tapi—”
Namun, sebelum dia bisa menyelesaikan kata-katanya, Maria memotongnya, “Sudah cukup. Tidak ada tapi-tapian lagi. Kau sudah hidup menjanda selama tiga tahun. Kau tidak berniat menyia-nyiakan seluruh hidupmu untuk seseorang yang tidak berguna seperti dia, kan?”
“Ibu benar, Jelita. Pria itu hanyalah orang bodoh yang tidak berguna. Kenapa dulu kau menikah dengannya? Dia bahkan mencoba melecehkanku tadi! ” Erina angkat suara, memperkeruh suasana.
Dia benar-benar tak menyukai kakak iparnya yang pecundang itu.
“Erina, jelaskan semuanya. Apa tadi kau berkata jujur?” Tatapan dingin Jelita terpaku pada adiknya, yang segera menundukkan kepala untuk menghindari tatapan matanya.
Dari seluruh anggota keluarganya, Erina paling takut pada Jelita.
"Ada apa? Apa menurutmu Erina berbohong?” Maria menyela dengan tidak senang. “Erina adalah gadis yang baik. Kenapa kau malah mempercayai pecundang itu dibanding adikmu sendiri?”
“Ya, kenapa kau tidak percaya padaku? Kenapa kau malah memihaknya?” Erina balas bertanya. Dukungan ibu mereka membuatnya kembali percaya diri.
"Baiklah. Kau ingin aku percaya, kan?” Jelita mendengus. “Kalau begitu, mari kita minta polisi untuk mendapatkan rekaman kamera pengawas dari bar besok. Jika kau mengatakan yang sebenarnya, aku akan melapor pada polisi untuk menuntut Jaya. Tapi jika kau sengaja berbohong untuk melimpahkan kesalahan padanya...” Dia tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi peringatannya sudah cukup jelas.
"Tidak! Kau tidak boleh memanggil polisi atau meminta rekaman kamera pengawas di sana!” pekik Erina. Kecemasan menyelimuti raut wajahnya.
“Jelita, kenapa kau memihak b*jingan itu? Berhenti menakut-nakuti adikmu!" tegur Maria. Dia tidak senang melihat Jelita bersikap terlalu agresif seperti itu. "Apa kau tidak takut merusak reputasi adikmu jika berita ini sampai tersebar?"
"Jadi reputasinya sangat penting, tapi reputasi Jaya tidak?" Jelita malah menanggapi ibunya dengan dengusan. Meskipun dia sangat membenci Jaya, sangat jelas bahwa Erina hanya berbohong.
"Reputasi pecundang itu pasti sudah hancur!" Maria mendengus. "Siapa tahu? Mungkin dia telah melakukan berbagai tindakan keji dalam tiga tahun terakhir! Mungkin dia juga hanya kembali ke keluarga kita untuk mencari perlindungan setelah mengalami kesulitan atau menyinggung seseorang. Lantas kenapa jika Erina memfitnahnya? Seonggok sampah seperti dia tidak memiliki reputasi yang dipertaruhkan. Bagaimana bisa kau membandingkannya dengan Erina?”
“Ibu—”
Jelita hendak mengatakan sesuatu, tapi Maria menyela dengan tegas, “Baiklah. Sudah cukup. Besok lusa, pergilah ke Balai Kota dengan si sampah itu dan selesaikan proses perceraian kalian!”