Bab 1 Dua Anak Laki-Laki Itu Sudah Meninggal
"Nona Wardana, kau mengandung tiga anak kembar, dan mereka semua sehat."
Kata-kata dokter itu masih berputar-putar di kepala Gisel, yang tampak memegang pinggangnya dengan satu tangan, sedangkan tangan lainnya memegang laporan USG 4D. Usia kandungannya sudah memasuki tujuh bulan. Terlebih lagi, dia mengandung tiga bayi kembar, jadi perutnya lebih besar dari wanita hamil pada umumnya, bahkan lebih besar dari para wanita yang hampir melahirkan.
Di pemeriksaan sebelumnya, mereka tak berhasil mendapat foto USG yang bagus dari ketiga bayinya, tapi kali ini, akhirnya dia mendapatkan foto yang diinginkannya. Aku akan menunjukkannya pada Farraz! Pasti dia akan sangat senang melihat mereka.
Setelah berjalan selama beberapa saat, dia merasa lelah dan mulai terengah-engah, jadi dia mencari bangku dan duduk di sana. Kemudian, dia menatap laporan pemeriksaan di tangannya. Wajah ketiga bayi yang dikandungnya terlihat jelas.
"Kalian mirip siapa? Mirip Ayah atau mirip Ibu?”
Tiba-tiba, satu tangan ramping terulur dan merebut laporan itu dari Gisel. Melihat laporan itu direbut, Gisel pun sontak mendongak, dan dia melihat wajah yang memesona dan tak asing lagi baginya. Sosok itu tak lain adalah Alana Wardana, adik tiri dari ibu sambungnya. Usianya dan Alana hanya terpaut sekitar enam bulan. Alana adalah hasil perselingkuhan ayahnya saat Gisel masih di dalam kandungan.
"Kembalikan!" Gisel berdiri dengan susah payah. Sambil memegang perutnya, dia mengulurkan tangan untuk merebut laporan pemeriksaannya.
Namun, sudut bibir Alana malah melengkung ke atas membentuk senyuman, dan alisnya terangkat. Dia berkata, "B*jingan-b*jingan ini jelek sekali, bahkan aku langsung tahu bahwa mereka bukan anak-anak Farraz."
"Bicara omong kosong apa kau ini?"
Alana membuang laporan itu dengan mudahnya hingga jatuh ke lantai.
“Gisel, kau pikir kau bisa membangun keluarga dengan Keluarga Ganendra, ya? Teruslah bermimpi! Pria yang tidur denganmu malam itu bukanlah Farraz.” Kemudian, Alana tiba-tiba mendekati telinga Gisel dan berbisik, "Kau tidur dengan pria b*jingan yang kutemukan untukmu."
“Kau!" Gisel melihat Alana dengan ekspresi terkejut. Bagaimana mungkin? Malam itu, jelas-jelas Farraz ...
Tiba-tiba, Alana jatuh ke lantai dan mencengkeram lengan Gisel dengan kedua tangannya. “Gisel, maafkan aku! Aku tak bermaksud melakukannya! Pukul dan marahilah aku semaumu, tapi kumohon jangan sakiti anakku!”
Sebelum Gisel sempat bereaksi, tiba-tiba seorang pria datang dan mendorongnya. Gisel pun terjatuh ke belakang, hingga punggungnya membentur dinding. Rasa sakit yang luar biasa menyebar ke seluruh tubuhnya.
"Apa yang kau lakukan, Gisel?" Farraz cepat-cepat membantu Alana berdiri. Melihat sorot matanya yang penuh kepedulian dan kasih sayang pada Alana membuat mata Gisel terasa perih. Mereka berdua ...
“Farraz, minta maaflah pada Gisel! Akulah yang merebutmu darinya, kakakku, dan mengandung bayimu. Maafkan aku. Ini semua salahku.” Seketika, air mata mengalir dari pipi Alana.
Farraz menoleh dan melayangkan tatapan dingin pada Gisel, lalu dia bertanya pada Alana, “Adakah yang terasa sakit? Apa kau ingin pergi ke dokter?”
Selama tujuh bulan kehamilannya, Gisel sangat jarang dipedulikan oleh pria ini, mengingat bahwa mereka berdua sangat jarang bertemu. Bahkan pertemuan mereka bisa dihitung dengan jari.
"Tidak. Pergi periksakan Gisel. Usia kehamilannya lebih tua daripada aku. Aku baik-baik saja."
Farraz menopang Alana dengan kedua tangannya. Saat melihat Gisel, sorot matanya langsung berubah dingin. “Gisel, janin yang ada dalam kandunganmu itu bukanlah anak-anakku. Anakku hanya yang dikandung Alana,” tukas Farraz dengan nada yang bahkan lebih dingin dari tatapannya. Bahkan dia tak sudi melihat tubuh Gisel sedetik pun.
“Kau … Dia .…” Gisel sungguh tak bisa berkata-kata lagi. Kini, tubuhnya gemetar hebat, seolah-olah sekujur tubuhnya telah disiram sebaskom berisi air es, dari kepala hingga ujung kaki, hingga membuatnya begitu kedinginan.
“Aku dan Alana sudah lama menjalin hubungan. Kami berdua tidak memberitahumu karena kami takut menyakitimu, jadi kami terus menyembunyikannya, bahkan saat kau sedang hamil. Tapi karena sekarang Alana mengandung anakku, aku tak mau membuatnya tertekan lagi, jadi mari kita putus.”
Gisel mencengkeram dinding di belakangnya erat-erat. Tepat ketika usia kehamilannya mencapai tujuh bulan, dan saat dia sudah siap untuk menyambut tiga makhluk kecil ini ke dunia dan memulai hidup baru dengan Farraz, ternyata Tuhan mempermainkannya. Pria yang amat dicintainya ... kini telah meninggalkannya. Sejak ibu Gisel meninggal, Farraz adalah dunianya. Gisel sangat mencintai Farraz, bahkan dia sanggup merelakan semua yang dia miliki demi Farraz. Dia juga sanggup menanggung semuanya demi Farraz, namun pria ini malah meninggalkannya begitu saja.
Melihat Gisel yang tetap bungkam, Farraz menoleh ke arah Alana dan berkata, “Alana, agar aman, ayo kita periksakan dirimu. Bukankah dokter mengatakan bahwa kondisi kehamilanmu masih belum stabil?”
“Oke.”
Farraz membantu Alana berbalik, lalu mereka berdua berjalan ke sisi lain.
Melihat mereka berdua menjauh, barulah Gisel kembali ke akal sehatnya. “Jangan pergi! Kau harus memberiku penjelasan!” Sambil memegangi perutnya, Gisel mengejar Farraz dengan susah payah.
Namun, begitu Gisel menarik lengan Farraz, pria itu langsung menghempasnya tanpa sadar. "Ah!" Gerakannya yang tiba-tiba itu membuat Gisel terjatuh ke tangga yang berada tepat di belakangnya. Tubuh besarnya mulai berguling menuruni anak-anak tangga.
Tiba-tiba dunia seolah sunyi. Gisel mengangkat kelopak matanya dengan susah payah dan melihat bahwa di atasnya, pria yang telah dicintainya selama tujuh tahun itu sedang memeluk wanita hamil lainnya, tanpa memedulikannya sama sekali ...
Rasa sakit di tubuhnya menguasai indranya. Kelopak matanya terasa semakin berat. Detik berikutnya, dunia menjadi gelap.
Saat membuka matanya lagi, Gisel menyadari bahwa dia terbangun oleh rasa sakit yang begitu tajam, sampai-sampai seluruh tubuhnya seolah mati rasa. Sementara itu, cairan bening di dalam botol infus terus mengalir ke dalam tubuhnya.
"Kau sudah bangun!" Perawat melihat keadaan Gisel dan menyesuaikan kecepatan cairan infus, lalu dia melanjutkan, “Karena ini adalah kelahiran prematur bayi kembar tiga, kami melakukan operasi caesar di menit-menit terakhir. Kau melahirkan dua bayi laki-laki dan satu bayi perempuan.” Perawat itu menggigit bibirnya, kemudian dia mengalihkan pandangannya dan menambahkan, "Sayangnya, kedua bayi laki-laki itu ..."
Gisel mengalihkan pandangannya untuk menatap perawat, namun perawat itu segera mengalihkan pandangannya dan menundukkan kepala, lalu mengumpulkan barang-barangnya. Setelah membuat keputusan besar, akhirnya dia berkata, “Mereka berdua sudah meninggal. Bayi perempuanmu ada di inkubator.” Setelah mengatakan itu, sang perawat meninggalkan bangsal dengan tergesa-gesa.
Kedua bayi laki-laki itu sudah meninggal. Kedua bayi laki-laki itu sudah meninggal. Kedua bayi laki-laki itu sudah meninggal ...
Hanya kata-kata inilah yang berputar di kepala Gisel.