Bab 12 Demam
Mata Gisel langsung terbelalak. Buket bunga itu! Benar! Buket bunga itu dibawa oleh pelayan, bersamaan dengan anggur itu juga. Tadi, si pelayan hanya memberitahunya bahwa Alana menyuruhnya untuk memastikan bahwa Gisel meminum anggur itu, jadi dia langsung menebak bahwa anggur itu pasti sudah dicampur obat bius. Karenanya, Gisel tidak memperhatikan buket bunga itu! Bunga itu pasti juga sudah dicampur obat bius, yang tersebar melalui wangi bunga.
Ternyata wanita ini bisa bertindak begitu kejam?! Gisel memuji betapa licik dan jahatnya Alana, sampai-sampai dia lengah! Selain itu, Alana juga bersikeras untuk membuatnya meminum obat tersebut. Sebenarnya seberapa besar kebenciannya padaku?
Pandu melihat wajah Gisel yang memerah dan menebak apa yang terjadi padanya. "Aku bisa membantumu."
Setelah itu, barulah Gisel melihat ke arah Pandu. Wajah tampan yang bisa memikat orang lain seperti ini sangat sulit ditolak. Terlebih lagi, di bawah pengaruh obat seperti sekarang ini, Gisel tak sabar untuk melemparkan diri ke pelukan Pandu.
"Antar kami ke hotel." Tentu saja Pandu tak bisa membiarkan Sarah melihat Gisel seperti ini.
Mereka memesan kamar setibanya di hotel. Begitu masuk ke kamar, Gisel langsung menuangkan air ke dalam gelas besar dan meminumnya.
"Sudah kubilang, aku bisa membantumu. Kita sudah pernah tidur bersama, jadi tidur bersama sekali maupun jutaan kali pun tak ada bedanya, kan?"
Kata-kata Pandu ini langsung mengingatkan Gisel pada pertemuan mereka sebelumnya. Benar. Tak ada bedanya sama sekali. Dengan nilai diriku ini, aku hanya tidur dengan gigolo, kan? Aku akan membayarnya, jadi untuk apa aku terlalu ambil pusing?
Gisel menatap Pandu dan menjilat bibirnya yang kering, lalu berjalan ke arah Pandu. Dia sudah tak tahan lagi. Dia merasa seolah ada api yang membakar dirinya, dari dalam hingga ke luar. Sekarang, dia membutuhkan air, dan Pandu adalah airnya.
Kini, bayang-bayang wajah Pandu yang tampan dan menawan berputar-putar di depan matanya yang linglung. Gisel harus mengakui bahwa walaupun dalam keadaan sadar, dia tak akan mampu menolak pria semenarik Pandu. Dia melingkarkan kedua lengannya di leher Pandu dan berjinjit. Pandu merasakan pelukan Gisel semakin kencang, dan wajahnya yang merona merah tampak lebih seksi jika dilihat dari dekat. Saking dekatnya, mereka bisa mendengar suara detak jantung satu sama lain, dan bulu mata Gisel menyapu wajahnya.
Saat bibirnya hampir menyentuh bibir Pandu, tiba-tiba Gisel mendorong Pandu dengan keras dan berlari ke kamar mandi, lalu terdengar suara pintu yang dibanting dengan keras.
Pandu membeku seketika.
"Jangan masuk!" Suara Gisel terdengar mendesak dan agak lemah.
"Sudah kubilang, aku bisa membantumu."
"Aku tak butuh bantuanmu!" Pertama-tama, Gisel mandi air dingin di bawah pancuran, lalu dia mengisi bak mandi dengan air dingin. Setelah menarik napas dalam-dalam, dia menenggelamkan seluruh tubuhnya di bak mandi. Air dingin yang menusuk tulang langsung menyadarkannya.
"Entah kita tidur bersama sekali atau sejuta kali, tak ada bedanya."
"B*jingan kau! Aku ini wanita yang bersih, tahu? Biasanya, jika aku tidak minum terlalu banyak anggur, aku tidak pernah ..." Suara Gisel perlahan berhenti.
Pandu berdiri di ambang pintu, dengan sudut bibir yang melengkung ke atas. Hari itu, Gisel bertingkah seolah dia sudah berpengalaman, namun yang sebenarnya terungkap begitu dia berbicara.
Setelah diam sejenak, Gisel berteriak ke luar, "Hei, kenapa kau tidak bicara apa-apa?"
"Memangnya aku harus bicara apa?"
"Air ini sangat dingin, sampai tulangku membeku! Bicaralah untuk mengalihkan perhatianku."
Namun, Pandu hanya duduk di depan pintu kamar mandi dan berpikir. Ternyata wanita ini membenamkan dirinya ke dalam air dingin untuk mendinginkan dirinya. Ternyata dia masih sedikit pintar.
"Hei, kita berdua sudah saling kenal selama tiga hari, tapi aku belum tahu siapa namamu."
"Pandu Moodyan." Moodyan adalah nama ibu Pandu saat masih gadis.
"Pandu Moodyan? Nama yang cocok untukmu." Pria ini sangat moody dan dingin.
Sementara itu, Gisel tetap berendam di air dingin. Tubuhnya gemetar, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Untuk mengalihkan perhatiannya, dia terus mengobrol dengan Pandu, yang sesekali menanggapinya.
Setelah Gisel berendam di air dingin selama tiga jam, efek obat itu akhirnya mereda. Tadi, dia telah meminta Pandu untuk membelikannya gaun, jadi dia bisa mengganti pakaiannya dan langsung pulang.
Sesampainya Gisel di rumah, waktu sudah menunjukkan jam makan malam. Sarah sedang duduk di ayunan yang ada di kamar. Dia agak kecewa melihat Gisel pulang.
"Bu, berkencan di malam hari jauh lebih romantis. Kenapa kau sudah pulang?"
Gisel menenangkan diri dan menjawab putrinya, “Aku merindukanmu. Kita sudah berpisah selama berhari-hari, tapi kau malah memintaku berkencan tepat setelah kau kembali. Menyebalkan sekali,” kata Gisel seraya menggendong Sarah dari ayunan.
"Yah, aku khawatir jika kau tak bisa menikah." Sarah mendengus. Dia sungguh membuatku khawatir.
"Kau ingin makan apa? Biar kumasakkan untukmu."
"Tidak perlu. Aku sudah memesan makanan."
Tak lama kemudian, makanan pesanan Sarah dikirim ke depan pintu rumah mereka. Karena ini adalah pertama kalinya Sarah datang ke Nilaya, dia memesan banyak makanan lokal. Sepasang ibu dan anak ini duduk dan makan bersama.
"Bu, Tuan Tampan benar-benar rupawan. Dia adalah pria paling tampan yang pernah kulihat. Dia juga satu-satunya pria yang cocok denganmu, jadi kau harus memanfaatkan peluang ini, oke?"
Sebenarnya Gisel tak mau membahas hal ini, tapi Sarah terus saja mengoceh tentang Pandu.
"Sarah, kau tak boleh menilai orang dari luarnya saja. Kau baru bertemu dengannya sekali, dan kau masih belum tahu banyak tentang dia. Dia benar-benar tak punya uang."
Sarah tak peduli tentang hal itu. "Tapi kau punya uang, kan? Untuk apa kau menghasilkan begitu banyak uang? Kau ingin melakukan apa pun tanpa khawatir tentang uang, kan? Segala masalah yang bisa diselesaikan dengan uang tidaklah penting. Kau punya uang, dan dia punya cinta, jadi kalian berdua bisa saling memberi apa yang kalian punya!”
Gisel menatap wajah polos putrinya, merasa ragu untuk waktu yang lama. Aku bahkan tak bisa menemukan jawaban yang cocok untuk menanggapinya! “Haruskah aku mengambil ponselmu? Kau ini terlalu dewasa untuk usiamu!”
"Haha, sekarang kau cemas. Berarti aku memang benar, hmph!" kata Sarah dengan ekspresi puas di wajahnya.
"Dia memiliki putra kembar.”
Sarah terkejut sesaat, lalu dia mengerucutkan bibirnya dan berkata, "Bagus! Dia sudah punya dua putra, jadi kau tak perlu memberinya putra lagi. Dia punya dua anak laki-laki, sedangkan kau memiliki seorang putri. Sangat adil! Dengan begitu, aku punya teman bermain di rumah!"
Sejak dia melihat bekas luka operasi caesar di perut Gisel, Sarah sangat menolak gagasan melahirkan. Dia khawatir jika ibunya harus melahirkan lagi.
"Dia masih punya banyak kekurangan."
"Tapi kau juga punya banyak kekurangan!"
"Dia adalah—" Gisel hampir saja mengatakan bahwa Pandu adalah seorang gigolo, tapi tak mungkin Gisel mengatakan pekerjaan tercela seperti itu, jadi dia mengurungkan niatnya.
"Ibu, ambil saja kesempatan ini. Menurutku, kalian berdua serasi!"
Gisel sungguh tak bisa melawan putrinya.
Malam itu, Gisel dan Sarah tidur seranjang. Sepasang ibu dan putri ini mengobrol lama sebelum akhirnya tertidur. Sarah masih terus membahas Tuan Tampan, membuat kepala Gisel pusing.
Gisel terbangun di tengah malam, dan seluruh tubuhnya terasa remuk. Dia menyentuh dahinya dan merasa sangat panas. Oh tidak, ini pasti karena tadi aku mandi air dingin!
Dia berusaha keras untuk duduk, namun dia malah terguling dari tempat tidur. Gerakannya ini membuat Sarah terbangun. "Ibu ..."
"Tidak apa-apa. Aku hanya bangun untuk minum air. Tidurlah lagi."
Sarah merasa bahwa suara Gisel terdengar aneh, jadi dia langsung bangun dan menyentuh dahi Gisel. "Ibu, kau demam."