Bab 14 Menyiapkan Cincin
Melihat tatapan tulus Sarah, akhirnya Pandu mengangguk kecil. Sarah langsung tersenyum cerah, seterang langit biru.
Dia melambaikan tangannya ke arah Pandu dan berkata, "Jangan lupa, ajak juga anak-anakmu ke pesta ulang tahunku besok!"
Pandu pun cepat-cepat pergi. Dia langsung pulang ke rumahnya, duduk di sofa, dan menyalakan sebatang rokok. Bayangan mata jernih Sarah terus melekat di benaknya.
Beberapa lama kemudian, dia mematikan rokoknya di asbak, mengambil ponselnya, dan menghubungi seseorang. "Siapkan cincin."
"A-Apa? Apa? Tuan Mahanta, apa yang kau katakan?" tanya Janu di ujung telepon. Dia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Siapkan cincin," ulang Pandu.
"Baik, baik, baik. Cincin seperti apa yang kau butuhkan?"
"Cincin apa pun tak masalah."
Pandu langsung menutup telepon dan bersiap untuk berangkat ke perusahaan.
Sekarang, Kirana sedang duduk di kantor presdir Grup Adhikari. Mendengar Janu bicara tentang cincin, Kirana segera mengangkat kepalanya dan melihat Janu.
Cincin? Pandu memintanya untuk menyiapkan cincin? Akhirnya dia sudah siap untuk melamarku?
Saat Janu menutup telepon, Kirana kembali mengalihkan pandangannya pada majalah yang sedang dipegangnya, berpura-pura tak mendengar apa pun.
"Nona Wardana, silakan minum kopi dulu. Tuan Mahanta akan tiba sebentar lagi."
Tadi, Janu sedang membuatkan kopi untuk Kirana, namun sebelum membawakan kopi itu pada Kirana, dia mendapat telepon dari Pandu. Janu sangat terkejut mendengar atasannya memintanya untuk menyiapkan cincin, karena sejauh yang dia tahu, Pandu tak pernah berniat untuk menikah dengan Kirana.
Bagaimanapun juga, identitas Pandu tidak biasa.
Kirana tersenyum pada Janu, lalu kembali membaca majalah di tangannya.
Saat berjalan keluar dari pintu, Janu melirik Kirana, wanita yang dianggap sebagai dewi oleh para penggemarnya. Dia tampak sangat anggun dan bermartabat. Terlepas dari latar belakang keluarganya, dia sangat pantas menjadi pendamping Pandu.
Jika ada wanita yang pantas untuk Pandu, Kirana lah orangnya.
Lagi pula, Kirana adalah seorang aktris populer di industri hiburan. Wanita ini baru berusia 22 tahun, juga baru saja memenangkan Golden Lion Awards untuk kategori Aktris Terbaik, membawa namanya menjadi megabintang film generasi baru.
Kata 'cincin' terus berputar di pikirannya, membuat Kirana tak bisa fokus pada artikel majalah yang sedang dibacanya.
Hari yang dia tunggu akhirnya datang juga. Akhirnya!
Dia pertama kali bertemu dengan Pandu saat berusia empat belas tahun. Sejak saat itu, Kirana jatuh cinta padanya. Kini, Pandu adalah pewaris keluarga Mahanta dan memiliki Grup Adhikari, membuatnya menjadi sosok yang paling berpengaruh di Kota Amerta, atau bahkan di seluruh Nilaya. Atau bahkan juga di seluruh dunia! Namun, sebelum memiliki semua ini, Pandu tidak seperti ini.
Tuan muda keluarga Mahanta ini jarang muncul di depan publik dan begitu dilindungi oleh keluarga Mahanta. Menurut berita yang beredar, sejak berusia tujuh belas tahun, Pandu berubah menjadi anak yang suka memberontak dan sering membuat ayahnya, Rahman, sangat geram hingga harus dirawat di rumah sakit. Kemudian, kakek dari pihak ibu Rahman dan Pandu berencana untuk mengirimnya ke kamp militer.
Saat itu, citra Pandu di mata publik menjadi buruk. Semua orang mengatakan bahwa dia galak, jahat, pengkhianat, juga kejam dan tak berperasaan.
Saat Kirana berusia 14 tahun, dia mengikuti kompetisi internasional dengan tim paduan suara sekolahnya. Tiba-tiba, tim paduan suara mereka disandera oleh sekelompok teroris, dan Pandu lah yang menyelamatkan mereka.
Sejak saat itu, Kirana begitu mencintai Pandu. Namun kemudian, dia mengetahui bahwa Pandu adalah tuan muda dari keluarga Mahanta, dan dengan latar belakang keluarganya, Kirana tak mungkin cocok bersanding dengan Pandu. Tapi, apa itu penting?
Dia mulai mengumpulkan seluruh informasi yang berhubungan dengan Pandu. Saking besarnya rasa cintanya pada Pandu, Kirana sampai terobsesi.
Akhirnya, Tuhan memberinya kesempatan. Suatu hari, Kirana membawa dua anak laki-laki itu ke keluarga Mahanta dan memberi tahu Pandu bahwa mereka adalah anak-anaknya.
Sejak saat itu, dia menjadi calon nyonya muda di Keluarga Mahanta.
Empat tahun telah berlalu, dia sudah tak sabar dilamar Pandu. Kini, keinginannya akan segera terwujud.
Selama beberapa tahun belakangan, Pandu selalu bersikap sangat dingin terhadapnya. Namun jika dipikir-pikir lagi, sebenarnya Pandu memperlakukannya dengan cukup baik, termasuk memberinya perhiasan mahal yang tak terhitung jumlahnya dan membantunya mengembangkan kariernya. Jika tidak, Kirana tak mungkin bisa menjadi bintang film populer hanya dalam waktu empat tahun.
Memikirkan semua yang telah terjadi selama bertahun-tahun ini membuat mata Kirana berkaca-kaca.
Dia cepat-cepat memiringkan kepalanya agar air matanya tidak mengalir.
Tidak, dia tidak boleh melihatku menangis. Kami tidak bertemu di hari ulang tahun anak-anak kami beberapa hari yang lalu. Bahkan, sudah tiga bulan kami tidak bertemu. Jadi, aku harus tampil sebaik mungkin di hadapannya.
Setelah berpikir demikian, Kirana duduk dari sofa, mengambil tasnya, dan langsung pergi ke toilet.
Pandu begadang hampir sepanjang malam.
Melihat kedatangan Pandu, Janu langsung menyapanya. "Presdir Mahanta, Nona Wardana sudah menunggu di kantor sejak tadi."
Mendengar nama Kirana, Pandu sedikit mengernyitkan dahi, namun dia tetap masuk ke kantor presdir.
Janu melihat majalah yang tadi dibaca Kirana, namun wanita itu tak ada di sana. "Uh, barusan dia masih ada di sini."
"Jam berapa rapatnya?" Pandu membuka mulut dan bertanya. Mendengar pertanyaan sang bos, Janu langsung melirik arlojinya. "Rapat hari ini akan diadakan pada jam sembilan, delapan menit lagi."
"Ayo pergi ke ruang rapat." Setelah mengatakan itu, Pandu segera keluar.
"Tapi Nona Wardana ..."
Dengan sisa waktu delapan menit, sebenarnya Pandu masih sempat menyapa Kirana. Tak perlu terburu-buru, kan? Selain itu, Pandu selalu datang tepat waktu di setiap rapat. Dia tidak pernah datang lebih awal maupun terlambat satu menit pun.
"Uruslah dia," balas Pandu dengan singkat, lalu dia langsung meninggalkan kantor, meninggalkan Janu yang menggaruk kepalanya kebingungan. Padahal dia sudah siap untuk melamar Nona Wardana, tapi kenapa sikapnya masih sedingin itu?
Saat Kirana kembali, Pandu baru saja pergi meninggalkan kantornya. Wajah Kirana tampak bersinar dan berseri-seri. Tadi, dia pergi ke toilet untuk merias wajahnya. Kini, pipinya tampak merona merah, tak kurang namun juga tak berlebihan, membuatnya terlihat jauh lebih energik dan bersemangat.
"Nona Wardana, Presdir Mahanta sudah ..."
"Dia sudah datang?"
"Presdir Mahanta sudah pergi ke ruang rapat." Sebenarnya Janu merasa tak tega mengatakan hal ini pada Kirana, namun akhirnya dia tetap mengatakan yang sebenarnya. Kirana sudah lama tidak bertemu Pandu, tapi Pandu malah tak mau menemuinya. Bosnya itu memang dingin ...
"Oh ..." Kirana tampak sedikit kecewa. "Kalau begitu, aku akan menunggunya."
"Nona Wardana, kurasa kau tak perlu menunggu di sini, karena Presdir Mahanta dijadwalkan mengadakan pertemuan setelah pertemuan hari ini. Bisa-bisa rapat itu akan memakan waktu setidaknya tiga jam."
Kirana tampak murung. "Begitukah?"
"Bagaimana kalau kau pulang dan menemui si kembar dulu? Di hari ulang tahun mereka, mereka kabur dari rumah dan membuat keributan, tapi untungnya mereka sudah pulang dengan selamat. Nona Wardana, sebaiknya kau pulang dan menemui mereka."
"Tentu."
Janu agak bingung melihat reaksinya. Setelah mendengar bahwa kedua putranya sempat kabur dari rumah, Kirana tampak santai dan menjawab dengan singkat, “Tentu.”
Kirana mengangguk kecil pada Janu dan pergi dari sana.
Tidak masalah. Mungkin dia sedang mengatur acara lamaran kejutan yang sempurna untukku. Mungkin dia tak mau bertemu denganku dulu agar aku semakin menantikannya.