Bab 13 Kau akan Melamarnya, Kan?
Gisel duduk di lantai dan bersandar di ranjang dengan linglung, lalu dia mengulurkan tangannya dan menyentuh kepala Sarah.
"Tidak apa-apa, tidurlah lagi. Aku akan mengambil obat flu sendiri."
Setelah mengatakan itu, Gisel berusaha bangun, namun lututnya lemas, dan akhirnya dia terjatuh ke lantai.
"Ibu, kau harus istirahat. Aku akan memanggil Nona Linda ke sini." Sarah berguling dari tempat tidur dan mencari ponselnya. Namun, begitu Sarah hendak menelepon asisten Gisel, yaitu Linda, tiba-tiba muncul ide bagus di kepalanya. Dia justru menghubungi nomor Pandu.
Gisel sangat lemas, sampai-sampai dia tak memperhatikan apa yang sedang dilakukan Sarah. Dia pikir putrinya sedang menelepon Linda.
Di tengah malam ini, di tengah tidurnya, Pandu mendengar ponselnya berdering. Ternyata yang meneleponnya adalah Sarah. Merasa agak aneh, dia pun mengangkat teleponnya.
"Halo."
"Tuan Tampan, ibuku demam tinggi. Maukah kau datang ke sini?"
Tanpa ragu, Pandu langsung menjawab, "Ya."
Tadi, wanita itu mandi dengan air dingin sepanjang sore. Pantas saja sekarang tubuhnya tumbang. Pandu tinggal di vila di sebelahnya. Agar tidak ketahuan bahwa mereka tinggal sangat dekat, dia sengaja berangkat sepuluh menit kemudian.
Begitu memasuki kamar, Pandu melihat Gisel bersandar di tepi ranjang sambil mengigau.
Mendengar suara itu, Gisel berkata dengan mata terpejam, "Linda? Kau sudah sampai? Sepertinya aku harus pergi ke rumah sakit. Tolong panggilkan taksi, dan kau tinggallah di rumah dengan Sarah. Dia tak boleh pergi ke rumah sakit. Ada begitu banyak bakteri dan virus di sana."
Pandu berjalan mendekat dan mengangkat Gisel. Wanita ini berusaha keras untuk mengangkat pandangannya dan melihat wajah di depannya, namun sebelum dia sanggup bicara lagi, kelopak matanya kembali terkulai.
"Tidak apa-apa. Aku bisa memakai masker!" kata Sarah, yang sudah mengeluarkan masker.
Pandu langsung melarikan Gisel ke rumah sakit.
Ruang gawat darurat rumah sakit sangat penuh di malam hari. Semua ranjang pun sudah terisi dengan pasien. Di sisi lain, ruang infus lebih kosong, namun tak ada ranjang yang tersedia, hanya ada bangku.
Setelah berkonsultasi dengan dokter, menjalani tes, dan mendapat obat, akhirnya perawat memasang infus pada Gisel.
Dalam keadaan mengantuk, Gisel masih bersandar lemah di bahu lebar Pandu.
Sarah memegang tangan Gisel, yang terpasang jarum infus. Dia mengerucutkan bibirnya dan tampak sedih. "Ibuku yang malang. Ibu, tidurlah yang nyenyak. Kau akan baik-baik saja."
Dia menepuk-nepuk kepala Gisel dan duduk di sisinya. Melihat sepasang ibu dan anak ini, Pandu merasa bahwa mereka berdua sangat mirip.
"Tuan Tampan, apa kau menyukai ibuku?"
Pandu memandang wajah polos dan cantik Sarah. Apa aku suka Gisel? Dia dan Gisel baru saling mengenal selama beberapa hari, jadi paling-paling, dia hanya tertarik pada Gisel.
"Ya." Di hadapan bocah yang menggemaskan ini, akhirnya Pandu memutuskan untuk berbohong.
"Lalu, apa kau mencintainya?" tanya Sarah tanpa basa-basi.
"Ya."
Mendengar jawaban Pandu, akhirnya Sarah menghela napas lega.
"Terkadang, ibuku memang terlihat garang, tapi sebenarnya dia sangat baik. Dia adalah ibu terbaik di dunia. Ibu tercantik, paling baik hati ... pokoknya terbaik. Jangan khawatir. Kelak, dia akan memperlakukan putra-putramu dengan baik, dan aku pun akan berteman dengan mereka."
Pandu tertegun mendengarnya.
Agar Sarah berhenti menjodoh-jodohkan mereka berdua, Gisel telah memberi tahu gadis ini bahwa Pandu memiliki dua putra. Namun, kata-kata anak ini ternyata sangat menyentuh.
"Selama bertahun-tahun, ibuku mengalami masa-masa sulit. Dia berjuang keras untuk membesarkanku, dan dulu dia bekerja lembur setiap harinya. Selain itu, dia selalu lupa makan, sampai-sampai dia menderita sakit lambung. Punggungnya juga sakit, terlebih lagi saat hujan turun di hari yang mendung. Meskipun dia baru berusia 23 tahun, kondisi kesehatannya sangat buruk, jadi dia memerlukan seseorang untuk merawatnya dengan baik."
Saat Sarah menundukkan kepalanya, suaranya terdengar semakin lirih. Keberadaannya sangat membebani ibunya, jadi dia sangat berharap ada seseorang yang bisa merawat ibunya dengan baik.
"Di mana ayahmu?"
"Kata Ibu, ayahku ada di langit." Sarah menatap langit-langit rumah sakit.
Dulu, saat melihat anak-anak lain menghabiskan waktu bersama orang tua mereka, Sarah selalu bertanya tentang ayahnya. Dia bertanya-tanya, kenapa dia hanya bersama ibunya dan Nona Linda?
Akhirnya, Gisel memberitahu Sarah bahwa ayahnya ada di langit. Sarah, yang lebih dewasa dari anak-anak pada umumnya, sepertinya mengerti maksud Gisel, jadi dia tak bertanya-tanya lagi.
"Bagaimana kalau kita bahas tentang cara melamar Ibu nanti?" Mata Sarah tiba-tiba tampak berbinar-binar. "Sebenarnya, ibuku sangat berpikiran sederhana, dan dia suka hal-hal romantis. Jadi, bagaimana kalau kau menyembunyikan cincin lamarannya di kue? Atau buat saja acara perburuan harta karun dan biarkan Ibu menemukannya."
Kemudian, Sarah memandang Pandu dengan penuh harap.
Tentu saja, Pandu tahu bahwa dia tak mungkin melamar Gisel, namun dia tak tega mengatakannya.
"Sini, biar kutunjukkan trik sihir," kata Pandu mengalihkan topik pembicaraan.
"Sihir? Kau mengerti sihir?"
"Kau punya koin?"
Sarah langsung mengeluarkan koin dari sakunya dan menyerahkannya pada Pandu. Pria itu mengambil koin di tangan Sarah, mengepalkan tangan, lalu membuka tangannya, menunjukkan bahwa koin itu sudah hilang!
Mata Sarah terbelalak keheranan. "Kau pasti menyembunyikannya!"
Sarah mengatakan itu seraya memeriksa kedua tangan serta lengan baju Pandu. Kemudian, Pandu menyentuh kepala Sarah, dan koin itu kembali muncul di tangannya.
"Wow, luar biasa! Bagaimana kau melakukannya? Tolong ajari aku!" Sarah memandang Pandu dengan kagum.
Mungkin karena suara Sarah terlalu keras, atau mungkin karena infusnya sangat manjur, kini tubuh Gisel terasa lebih baik. Perlahan-lahan, dia membuka matanya. Dia mendapati bahwa dirinya berada di dalam pelukan Pandu. Salah satu lengan pria itu memeluknya, sedangkan tangan yang lainnya sedang bermain-main dengan Sarah.
Sarah tersenyum senang.
Senyuman lega tersungging di bibir Gisel. Sebenarnya wanita itu terpikir untuk menikah agar Sarah memiliki keluarga yang lengkap.
Dia sudah membaca banyak buku parenting, yang menyatakan bahwa seorang ibu bisa melakukan apa saja untuk anaknya, kecuali berperan sebagai ayah. Tak peduli betapa sempurna sang ibu, dia tak akan pernah bisa menggantikan perang sang ayah.
Gisel kembali memejamkan matanya dan memutuskan untuk memberi Sarah dan Pandu lebih banyak waktu bersama.
Esok paginya, akhirnya infus Gisel habis. Dokter meresepkan beberapa obat dan memintanya untuk kembali ke rumah sakit dan mendapat infus tambahan jika keadaannya memburuk lagi.
Setelah itu, Pandu membawa Gisel dan Sarah pulang. Namun, saat dia hendak pergi, tiba-tiba Pandu merasakan sesuatu yang lembut dan hangat di tangannya. Dia melihat ke bawah dan mendapati bahwa Sarah sedang menatapnya. "Tuan Tampan, kau akan melamar ibuku besok, kan?"