Bab 3 Pria Tua yang Jahat
Semua orang mendengar teriakan Gisel. Di antara mereka semua, yang paling terkejut adalah Pandu. Dia menoleh ke arah sumber suara, melihat seorang gadis terhuyung-huyung ke arahnya. Wajahnya tampak masih sangat muda, dahinya cukup lebar, pipi kecilnya merona merah, dan rambut hitam panjangnya tergerai di pundaknya, tampak menggoda dan bebas seperti air terjun.
Gadis itu bergegas mendekat dan meraih kerah baju Pandu, membuat semua pengawal yang ada di sana tercengang melihatnya. Siapa sangka bahwa gadis seperti itu berani menarik kerah Pandu? Apa dia ingin mati?
Saat mereka hendak mendekat dan menarik Gisel, Pandu melambaikan tangannya.
Kemudian, Gisel menatapnya, dengan sorot mata kebingungan. "Hmm? Kau tidak terlihat seperti pria tua yang jahat!" Jelas-jelas pria ini sangat tampan!
Saking tampannya, para wanita bisa tergila-gila padanya begitu saja. Melihat pria yang menarik seperti ini, Gisel langsung menelan ludah dan memamerkan senyuman menawan.
Sementara itu, Pandu mengangkat kedua alisnya, dan pupil matanya yang dingin tampak sedikit mengerut.
Gisel refleks melihat sekeliling, namun dia tak menemukan 'pria tua jahat' di sana. Sebaliknya, dia justru melihat pria yang sangat tampan ini. Gisel ingin meminta nomor teleponnya.
Gisel mendatangi pria itu dan mengulurkan tangan untuk menyentuh perutnya. “Perutmu bagus! Apa kau sering berlatih?” Kemudian, dia mencubit lengan si pria. “Wow, ototmu luar biasa. Badanmu juga sangat bagus. Biasanya, pria dengan tubuh yang sangat indah dan paras tampan seperti kalian adalah gigolo! Haha, tapi aku menyukainya!"
Pandu tak menyangka bahwa wanita ini membelai tubuhnya beberapa kali dengan santainya, menyalakan api di hatinya.
Janu berdiri di samping, tubuhnya gemetar ketakutan. Apa wanita ini ingin mati? Dia sungguh khawatir jika Pandu mengeluarkan pistol dan menembak Gisel!
Para pengawal yang ada sekitarnya pun tercengang. Mereka belum pernah melihat orang senekat ini sebelumnya.
Tak berani membiarkan situasi ini berlarut-larut, Janu pun cepat-cepat melangkah maju. "Kalian, segera bawa wanita ini pergi dan geledah dia!"
"Tunggu." Pandu berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Aku akan melakukannya sendiri." Kemudian, dia menusukkan jarum ke bahu Gisel, membuat Gisel memejamkan mata dan pingsan seketika. Setelah itu, Pandu menggendongnya dalam posisi berbaring dan berjalan pergi.
Sesampainya di kamar presidential suite, Pandu melempar Gisel ke ranjang. Dia buru-buru melepas pakaian Gisel, lalu menggeledah setiap sudut tubuh Gisel dengan hati-hati, namun tetap saja dia tak menemukan apa pun.
Kini, tatapannya tertuju pada kulit Gisel yang seputih salju. Saking putihnya, kulitnya tampak hampir transparan dan berkilau.
Pemandangan ini membuat tenggorokan Pandu menegang dan menelan ludah. Tak bisa menahan diri, dia menundukkan kepalanya ke arah Gisel. Bagaimana bisa bibir wanita ini selembut permen kapas? Membuatku ingin menggigitnya lagi dan lagi.
Pandu segera mencium bibir Gisel dengan penuh gairah, seolah itu adalah miliknya.
Sesaat kemudian, terdengar suara ketukan dari pintu. Tok tok tok!
"Siapa?" teriak Pandu dengan kesal ke arah pintu.
Suaranya membuat Janu di luar pintu ketakutan’. Sebenarnya dia tahu bahwa seharusnya dia tak datang kemari, namun dia terpaksa melakukannya. "Ini aku, Presdir Mahanta."
Mendengar suara Janu, Pandu berdiri dan berjalan ke arah pintu, lalu dia berkata di sana, "Bicaralah."
"Semua orang di bar ini sudah digeledah, tapi tak ditemukan apa-apa. Bahkan bagian dalam bar juga sudah digeledah, tapi tak ada yang mencurigakan."
Pandu mengerutkan kening mendengar laporan Janu. Tatapannya beralih ke wanita yang terbaring di ranjang. Mereka sudah melakukan banyak penyelidikan untuk menemukan lokasi terakhir si mata-mata itu di bar ini, tapi karena tak ada mata-mata yang ditemukan, satu-satunya orang yang tersisa adalah wanita ini di ranjang ini.
Saat Gisel bangun keesokan paginya, dia meregangkan tubuhnya dan mengeluarkan kepalanya dari selimut. Sinar matahari pagi sangat cerah dan menyilaukan.
Dia sedikit mengacak-acak rambutnya, merasakan sakit kepala yang menusuk.
Tiba-tiba, dia merasa bahwa ada yang tidak beres, jadi dia segera duduk – seorang pria berdiri di kepala tempat tidurnya! Pupilnya melebar seketika. “Kau ..."
Kini, dia langsung tersadar. Setelah menarik selimut lagi dan melihat ke bawahnya, akhirnya Gisel menyadari bahwa dia telanjang! Apa kami melakukan sesuatu tadi malam?
Gisel menepuk kepalanya sendiri keras-keras, berusaha mengingat-ingat. Namun, samar-samar dia hanya ingat bahwa dia terlalu banyak minum semalam, dan dia bertemu dengan dua bocah laki-laki di toilet. Setelah itu, dia berkata bahwa dia akan mengurus seorang pria tua yang jahat, tapi akhirnya dia malah bertemu dengan seorang gigolo yang tampan!
Saat teringat akan hal itu, dia mengangkat kepalanya dan melihat pria di depannya lagi. Pria itu tidak mengenakan baju, memperlihatkan dadanya yang keras dan kuat. Kulitnya berwarna perunggu, berkilau dan tampak sehat. Saat ini, dia sedang bersandar ke dinding dengan malas-malasan, tampak seperti pria yang bermartabat.
Namun, sorot matanya yang dalam dan tajam seolah memancarkan hawa dingin yang membuat Gisel gemetar ketakutan.
Gisel menelan ludah sesaat, lalu langsung memeluk selimut dan terbatuk pelan. Berpura-pura acuh tak acuh, dia mengacak-acak rambutnya, tampak canggung. "Um, kita semua sama-sama sudah dewasa, jadi ini bukan apa-apa."
"Oh? Jadi?" Pandu mengangkat sebelah alisnya.
"Memangnya kita bisa menghapusnya? Semua sudah terjadi, jadi aku akan membayarmu saja!"
Gisel menatapnya tajam, lalu dia mengulurkan tangan dan menarik pakaiannya, sehingga dia bisa memakainya di bawah selimut.
Dia terakhir kali melakukan hal semacam ini empat tahun lalu. Itu adalah pengalamannya satu-satunya, yang juga membuatnya hamil. Selain rasa sakit, tak ada yang bisa dia ingat tentang hal itu. Semalam dia sangat mabuk, jadi dia juga tak ingat apa-apa.
Sudut bibir Pandu terangkat, membentuk senyuman jahat. Sebenarnya, tak ada yang terjadi di antara mereka tadi malam, tapi dia tak menyangka bahwa gadis ini berpikir bahwa mereka telah melakukannya.
Terus berusaha keras untuk tetap tenang, Gisel meraba-raba dan menemukan dompetnya. Dia mengeluarkan seluruh uangnya dan menyerahkannya pada Pandu.
Pandu hanya menatap uang itu dan mengerutkan kening. Apa dia benar-benar menganggapku gigolo?
"Tidak cukup, ya?" Gisel segera mengambil dompetnya dan menyelipkannya ke tangan Pandu. "Hari ini, aku hanya punya uang tunai sebanyak ini. Ada beberapa kartu bank juga. Kau bisa memilih!"
Pandu melihat dompet di tangannya, lalu beralih ke Gisel, yang menatap matanya dan cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Tidak, aku harus bertindak seperti gigolo berpengalaman!
Setelah itu, Pandu mengeluarkan kartu bank dari dompet Gisel dan menempelkan chip kecil ke kompartemen dompet.
Setelah transaksi mereka selesai, Gisel bergegas keluar, seolah-olah dia baru saja melihat hantu.
Pandu tertawa ringan. Gadis itu benar-benar kacau! Jelas-jelas ini adalah pertama kalinya dia melakukan hal semacam ini, tapi dia berpura-pura sudah berpengalaman. Menarik juga ...
Beberapa saat kemudian, Janu masuk sambil membawa setumpuk pakaian yang baru disetrika.
"Aku ingin semua informasi tentang dia," kata Pandu seraya mengenakan pakaiannya.
"Baik." Janu tak berani terlalu banyak bicara. Dia hanya menundukkan kepalanya dan berkata, "Presdir Mahanta, ada telepon dari kediaman keluarga Mahanta pagi ini. Katanya, kedua tuan muda hilang."
Sementara itu, kepala Gisel terasa sakit. Dia keluar dari hotel dengan kebingungan. Bahkan dia tak tahu bagaimana akhirnya dia bisa tidur dengan orang asing. Sepertinya aku tak boleh terlalu banyak minum lagi! Oh iya, dua anak itu!
Saat teringat akan hal itu, Gisel buru-buru mempercepat langkahnya.