Bab 5 Dari Mana Asal Si Pencuri?
Beberapa saat kemudian, barisan orang mengepung Vila No. 3 di Graha Atlantis. Kemudian, Pandu terlihat keluar dari mobil dan mengamati vila itu, dengan sorot matanya yang gelap dan memancarkan cahaya dingin.
Semalam, GPS si mata-mata tampak berlokasi di bar, dan kebetulan wanita itu juga ada di sana, bahkan muncul di hadapannya. Kini, putra kembarnya menghilang bersama wanita ini. Lagi-lagi, kebetulan wanita ini juga bertetangga dengannya. Kebetulan yang tidak wajar ….
Janu melangkah maju dan bertanya, "Presdir Mahanta, haruskah kita masuk?"
"Mundur."
"Apa?" Janu tak bisa mempercayai apa yang baru saja dia dengar. Mereka sudah bersusah payah menemukan si kembar dan melakukan blokade, namun sekarang, mereka harus mundur?
"Mundur," ulang Pandu, dengan suara tanpa emosi. Dia tak suka menjelaskan apa pun pada orang lain.
Tentu saja, Janu mengenal sifat Pandu. Apa pun keputusan yang dibuat Pandu pasti memiliki alasan, jadi Janu tak punya pilihan selain membuat mereka semua mundur lagi.
Setelah itu, Pandu berjalan lurus ke pintu dan membukanya dengan mudah. Dekorasi ruangan itu pun membuatnya terkejut, namun kecurigaan langsung muncul di dalam hatinya. Tempat ini memang khusus disiapkan untuk anak-anak! Kurang jelas apa lagi niat wanita ini?
Dia menyelinap ke tempat itu dengan langkah kaki yang ringan dan tanpa suara. Tak lama kemudian, dia sampai di tengah ruang tamu dan berdiri diam di sana. Tiba-tiba, dia bisa merasakan dengan jelas hawa dingin berhembus dari belakangnya.
"Hei, pencuri! Dari mana asalmu? Berani-beraninya kau masuk ke rumahku?!" Gisel baru saja mematikan kompor dan keluar dari dapur, namun dia merasa bahwa ada yang tidak beres.
Mendengar suara itu, Pandu menyeringai dan perlahan berbalik.
Saat Gisel melihat wajah pria itu, pistol di tangannya hampir jatuh ke lantai. Bukankah dia gigolo yang semalam?
Gisel memukul dahinya sendiri dengan satu tangan. “Hei kau, apa kau gila? Aku sudah memberimu semua uangku, dan sekarang kau mengejar sampai ke rumahku? Bukankah kau keterlaluan?” Kemudian, dia cepat-cepat menyimpan pistolnya. "Seharusnya gigolo-gigolo sepertimu sangat memerhatikan etika profesional, kan? Tadi pagi, kau sudah mengambil upahmu dan pergi. Kita sudah tak berutang apa-apa lagi, jadi kenapa kau datang menemuiku lagi?"
Melihat pria itu, Gisel merasa sangat kacau. Kejadian semalam hanya terjadi karena kesalahannya akibat pengaruh alkohol, jadi bagaimana bisa pria itu mengejarnya sampai kemari? Untungnya, Sarah tak ada di rumah saat ini.
Sementara itu, Pandu menatap wanita di depannya ini, namun dia sungguh tak mengerti. Dia tak tahu apakah wanita ini sungguh pandai berakting ... ataukah semua ini hanya kebetulan.
Wanita itu bersedekap dan menatap Pandu dengan menyedihkan. "Kumohon, katakan saja padaku, berapa banyak uang yang kau mau? Tak bisakah kita berpura-pura tak pernah bertemu? Nanti aku akan memperkenalkanmu dengan beberapa wanita kaya lainnya, oke?"
Sementara itu, Caka berjalan keluar dari kamar di lantai atas seraya mengucek matanya. Mereka berdua kelelahan setelah bermain, terlebih lagi mereka begadang semalaman, jadi mereka tertidur di lantai atas. "Aku ingin buang air kecil," serunya.
Mendengar suara si kecil, Gisel buru-buru naik ke lantai atas, namun saat melewati Pandu, dia berhenti sejenak dan berbisik, "Ada anak-anak di rumah, jadi jangan bicara macam-macam."
Setelah mengatakan itu, dia bergegas ke lantai atas. "Oke, aku akan mengantarmu ke kamar mandi."
Masih linglung setelah bangun tidur, Caka menggosok matanya, lalu dia mengarahkan pandangannya pada pria di lantai bawah. "Ayah?"
Gisel tersandung dan hampir terjungkal saat mendengarnya. Astaga! Apa-apaan ini?
Di sisi lain, Caka pun mengira bahwa dia sedang berhalusinasi. Dia menggosok matanya sekali lagi, lalu mendapati bahwa ayahnya yang garang itu memang ada di lantai bawah. "Ayah!"
Tadi Gisel mengira bahwa dia sedang berhalusinasi, namun kini dia sangat yakin dengan apa yang didengarnya. Dia menoleh dan menatap Pandu dengan ekspresi tak percaya. Sesaat, dia menunjuk ke arah Pandu, lalu dia beralih menunjuk ke arah Caka. Bibirnya sampai bergetar saking terkejutnya.
"Kemarilah," perintah Pandu dengan suara datarnya, namun dua kata biasa ini mampu membuat orang-orang gemetar jika keluar dari mulutnya.
"Tidak mau!" Caka segera berlari kembali ke kamar dan menutup pintu keras-keras.
Seluruh ruang tamu menjadi sunyi, dan Gisel melirik Pandu sekilas. "Si kembar itu adalah putramu?"
"Ya."
Gisel memandangi paras tampan Pandu dan berpikir bahwa ayah dari anak-anak setampan itu pasti juga tampan.
“Kalau begitu, aku harus mengingatkanmu. Kau sangat tampan dan memiliki tubuh yang bagus, tapi kenapa kau harus menjadi gigolo? Teman-teman putra-putramu akan memandang rendah mereka di sekolah. Kau tahu itu, kan?” Gisel menyilangkan lengannya dan terus menegurnya. Tiba-tiba, dia bertanya, “Tunggu, orang-orang sepertimu biasanya tidak menikah, kan? Bahkan punya pacar saja sepertinya tidak mungkin. Jangan-jangan ...” Kata-katanya terputus, dan dia berpikir, “Kurasa dia juga meniduriku? Jika menyangkut hal semacam ini, pria dan wanita sama-sama bisa menjadi korban.
Setelah itu, Gisel berjalan mendekat dan menepuk bahu Pandu, sementara Pandu melihat tangan Gisel dengan agak jijik.
"Aku sangat bersimpati padamu, tapi bagaimanapun juga, anak-anak itu sudah lahir. Sebagai orang tua, kau harus bertanggung jawab atas mereka hingga mereka tumbuh dewasa. Kenapa kau malah mengirim mereka ke keluarga kaya dan menjadi tuan muda di sana? Terlebih lagi, mereka menjadi putra dari pria tua yang jahat! Walaupun mereka bisa hidup mewah, kau pikir mereka benar-benar bahagia hidup di sana? Yang dibutuhkan anak-anak adalah kehadiran keluarganya."
"Pria tua yang jahat?" Pandu melihat ke lantai atas dengan sorot mata yang dalam. Barulah dia menyadari bahwa si kembar mampu mengarang cerita seperti ini.
Gisel menggosok dagunya dan menjawab, “Kurasa kita ditakdirkan untuk bertemu. Bagaimana jika aku memberimu sejumlah uang untuk memulai bisnis kecil-kecilan. Kau harus pergi ke kota kecil, jangan sampai pria tua yang jahat itu menemukan kalian. Aku ingin melihat mereka hidup dengan baik.”
Melihat tatapan tulus Gisel, Pandu hampir berpikir bahwa wanita itu memang bersungguh-sungguh. "Tidak perlu. Dia sudah mengembalikan putra-putraku."
"Mengembalikan mereka padamu? Apa maksudmu?" Gisel tak mengerti maksud Pandu.
"Istrinya ... sedang hamil."
Mendengar jawaban Pandu, Gisel tampak begitu terkejut.
"Benarkah? Baguslah kalau begitu. Pria tua yang jahat itu sangat beruntung bisa menghamili istrinya di usia setua itu. Bagus, bagus. Setidaknya kau tak harus mengorbankan anak-anakmu sendiri."
"Jadi, aku datang kemari untuk membawa mereka pulang."
"Aku tak mau pulang denganmu!" Suara Caka terdengar dari lantai atas. "Aku ingin bersama nona cantikku!"
"Sebaiknya kau keluar sekarang juga!" Pandu berteriak ke lantai atas. Dia tak seperti kakek mereka di rumah, yang selalu memanjakan mereka habis-habisan. Selain itu, dia sering melakukan perjalanan bisnis, sehingga kedua putranya ini tak terlalu dekat dengannya.
Namun, teriakan Pandu barusan juga mengagetkan Gisel. "Hei, jika seperti ini, kau akan membuat mereka takut! Ugh, kau ini bertingkah seperti ayah tiri saja! Lupakan. Biar aku yang membujuk mereka!"
Kemudian, Gisel naik ke lantai atas dan mengetuk pintu. "Apa kalian lapar? Aku sudah memasak makanan yang enak. Nasi nanas. Apa kalian mau? Ada juga kue tar yang baru saja matang, dan kita bisa membuat roti bersama nanti, oke?"
Bujukan Gisel barusan membuat Pandu merasa ingin tertawa. Wanita ini begitu galak, dan Pandu tak menyangka bahwa dia berbicara dengan selembut ini pada anak-anak.