Bab 11 Terpesona Bertemu Denganmu
Pandu sedikit memiringkan kepalanya.
"Apa-apaan kau ini? Kenapa kau memberi tahu putriku bahwa kita saling mencintai?"
"Bukankah tadi kau terus memberiku isyarat untuk mengatakan itu?"
"Aku memberimu isyarat untuk menyangkalnya, bukan malah mengiyakannya! Ah! Kau ini membuatku gila saja!" Gisel menyilangkan kedua lengannya dan berjalan mondar-mandir dengan frustrasi. Kini, dia tak tahu harus berbuat apa, karena Sarah adalah anak yang pintar dan tak mudah dibodohi. "Lupakan saja. Biar kuselesaikan masalah ini sendiri! Tapi tolong, jangan bicara omong kosong lagi di depan putriku!" Setelah mengatakan itu, Gisel cepat-cepat berbalik.
"Hei, kau mau pergi ke mana?"
"Ke bar!" jawab Gisel tanpa berbalik. Karena Sarah menyuruhnya pergi berkencan, dia harus tetap berada di luar selama beberapa saat. Kalau dia pulang terlalu cepat, putrinya itu pasti akan menginterogasinya habis-habisan.
"Kenapa kau pergi ke bar di tengah hari seperti ini?"
Pertanyaan Pandu akhirnya membuat Gisel berbalik dan membalas, "Bar itu milikku. Beberapa hari yang lalu, ada sekelompok orang yang datang dan membuat kekacauan di sana, jadi sekarang aku harus memeriksanya."
Ternyata Bar Dinasti juga merupakan salah satu anak perusahaan di bawah naungan perusahaan Gisel. Mungkin Pandu bisa menemukan sesuatu di sana, jadi dia pergi mengikuti Gisel.
Tak lama kemudian, mereka berdua tiba di Bar Dinasti bersama-sama. Hari masih siang, namun ada beberapa orang di bar, karena sekarang adalah akhir pekan. Sebagian orang tak suka suasana bar yang bising di malam hari, jadi mereka memilih untuk datang di siang harinya.
Di siang hari, biasanya tak ada band yang memainkan musik di bar ini, tapi tidak dengan hari ini, karena para anggota band itu sedang berlatih memainkan lagu mereka untuk nanti malam. Karena tak ada banyak orang di sini, Gisel melihat ke arah band itu. Tiba-tiba dia ingin tampil.
"Ini adalah barku, jadi silakan minum apa pun yang kau suka. Aku yang mentraktir!" Gisel menepuk pundak Pandu, lalu naik ke atas panggung. Band itu masih ada di atas panggung. Setelah membisikkan beberapa kata pada anggota band, Gisel duduk di kursi penyanyi utama. Begitu Gisel duduk di sana, tubuhnya disinari cahaya lampu sorot, membuatnya tampak seperti peri yang turun dari surga.
“Aku ada di sana lagi malam ini, memaksakan tawa dan senyuman. Masih di tempat yang sama, lelah, dan sepi… Dinding ketidaktulusan, mata yang terus beralih dan tempat kosong, semuanya lenyap saat aku melihat wajahmu… Aku hanya bisa berkata bahwa aku sangat terpesona bertemu denganmu… Matamu seolah berbisik, ‘Pernahkah kita bertemu?' Di seberang ruangan, bayanganmu mulai bergerak menghampiriku… Percakapan yang menyenangkan pun dimulai, menanggapi semua komentarmu yang cepat, seperti menyampaikan catatan secara diam-diam… Dan aku sangat terpesona bertemu denganmu… Aku hanya bisa berkata bahwa aku sangat terpesona bertemu denganmu…"
Nadanya terdengar menggebu-gebu, sementara melodinya sederhana dan santai. Suasana di bar ini, yang awalnya agak hening, tiba-tiba berubah menjadi emosional. Mendengar suara nyanyian Gisel, beberapa pelanggan melambaikan tangan mengikuti irama.
Sementara itu, Pandu duduk di bawah panggung dengan mata yang sedikit menyipit, mengagumi wanita yang sedang bernyanyi di atas sana. Kini, Gisel juga sedikit menyipitkan matanya dan melengkungkan sudut bibirnya, membentuk senyuman manis. Dia terlihat sangat santai dan tenang.
"Malam ini gemerlap, jangan kau lewatkan. Aku terpesona, tersipu di sepanjang perjalanan pulang. Aku akan terus bertanya-tanya apakah kau tahu bahwa aku terpesona bertemu denganmu ..." Saat lagu berakhir, beberapa pelanggan mulai bertepuk tangan.
Sementara itu, Alana juga datang kemari untuk minum bersama beberapa temannya. Lagi pula, dia akan segera menikah dan dia tak akan bisa bebas lagi setelah menjadi seorang istri. Karena dia tak berani keluar pada malam hari, dia hanya bisa bertemu dengan teman-temannya di siang hari.
Dia terkejut melihat Gisel di atas panggung. Kebetulan sekali! Kemudian, Alana melihat sekeliling dan melihat Pandu sedang duduk di dalam bar. Sudah kuduga, mereka datang bersama.
Setelah berpikir sejenak, dia memasukkan sebutir pil putih ke dalam gelas anggur dan mengocoknya beberapa kali agar pil itu benar-benar larut dengan anggur. Dia memanggil seorang pramusaji, membeli semua anggur di nampan pramusaji, lalu memasukkan uang tunai sebesar tiga juta rupiah ke dalam saku si pramusaji.
"Pastikan untuk memberikan anggur ini pada gadis yang baru saja bernyanyi di sana, dan kau harus melihatnya meminum ini. Jika dia tidak meminumnya, maka dia tidak menghormatiku." Tak lupa, Alana juga mengedipkan mata pada pelayan itu dengan ekspresi menggoda.
"Aku mengerti. Terima kasih, Nona." Karena pelanggan ini sangat murah hati, si pelayan bersikap lebih ramah dari biasanya.
"Tunggu, berikan buket bunga ini juga padanya. Katakan padanya bahwa dia sangat pandai bernyanyi." Teman Alana mengeluarkan satu buket bunga dan menyerahkannya pada si pelayan.
Setelah mengambil buket bunga itu, si pelayan mengangguk dan langsung pergi ke belakang panggung. Gisel sedang mengobrol dengan manajer bar tentang keributan yang terjadi beberapa hari yang lalu. Insiden itu membuat orang-orang sangat panik, dan bar ini menderita kerugian yang cukup besar, namun untungnya, bisnis kembali berjalan normal dalam dua hari belakangan.
Melihat Gisel di sana, si pelayan meletakkan buket bunga di atas meja dan memberikan segelas anggur pada Gisel. "Presdir Wardana, ada seorang wanita yang memintaku untuk memberikan ini padamu."
Tanpa memandang si pelayan, Gisel hanya berkata, "Letakkan saja di sini."
Namun pelayan itu tak kunjung beranjak dari tempatnya. Gisel pun menatapnya dan bertanya, "Ada apa?"
"Kurasa wanita itu punya rencana jahat. Dia memintaku untuk melihatmu meminum anggur ini. Jika tidak, artinya kau tidak menghormatinya. Wanita itu sering mengunjungi bar ini. Kalau tidak salah, aku mendengar teman-temannya memanggilnya nyonya muda keluarga Ganendra atau semacamnya."
Sorot mata Gisel tampak sedikit menggelap. Pasti Alana. "Oke, aku mengerti. Kemarilah." Gisel membisikkan beberapa kata di telinga si pelayan. Setelah mendengar kata-kata bosnya, si pelayan tersenyum mengerti dan keluar sambil membawa segelas anggur itu.
Kemudian, dia berjalan ke arah Alana serta kawan-kawannya. "Permisi. Ini adalah racikan minuman baru yang baru saja dibuat oleh bartender. Apa kalian ingin mencobanya?" Si pelayan menundukkan kepalanya dan menambahkan, "Omong-omong, dia menghabiskan anggur itu, tanpa tersisa setetes pun."
"Bagus sekali." Puas mendengar jawaban itu, Alana mengambil gelas dari tangan si pelayan dan menyesapnya seraya berpikir. Beberapa saat lagi, obat itu akan bekerja di tubuh Gisel. Dia pasti akan menampilkan pertunjukan yang bagus dengan gigolo itu! Mereka kan sangat suka berakting ... jadi biar mereka melakukannya!
Alana tak sabar untuk menonton pertunjukan itu.
Kini, teman-teman Alana sudah minum cukup banyak anggur, lalu beberapa pria mengajak mereka berdansa. Akhirnya mereka masuk ke lantai dansa bersama-sama. Alana sadar bahwa dia adalah bagian dari keluarga Ganendra, yang begitu penting, jadi dia harus menjaga martabatnya, karena akan ada banyak orang yang menyaksikannya.
Namun, tiba-tiba, dia merasakan aliran panas di dalam dirinya, membuatnya merasa haus dan tenggorokannya kering.
"Nona, apa kau mau berdansa bersamaku?" Seorang pria datang mendekat dan menepuk pelan pundak Alana.
Bahunya yang barusan dipegang pria itu terasa tersentak, seolah-olah dialiri listrik. "Tentu!"
Pria itu pun menarik tangan Alana, dan mereka berdua melangkah ke lantai dansa. Mereka segera menggerakkan tubuh mereka dan menari mengikuti irama musik. Saat Alana berdansa, api di dalam tubuhnya terasa semakin membara, jadi dia membuka kancing kerahnya agar terasa lebih lega. Terlebih lagi, gerakannya semakin liar.
Namun, pria yang berdansa dengannya belum pernah melihat wanita seberani dan sesembrono Alana. Memanfaatkan kesempatan ini, tangan pria itu mulai menjelajahi seluruh tubuh Alana tanpa meminta izin.
Gisel menyaksikan semua ini dari sudut bar, merasa terhibur. Si pelayan datang dan berkata, "Dia sudah minum segelas anggur itu."
"Oke. Jangan lupa, beri tahu manajer bar untuk memastikan agar situasi di bar tidak terlalu gaduh. Aku pergi dulu."
Setelah itu, Gisel meninggalkan bar dengan raut wajah datar. Melihat Gisel pergi, Pandu pun buru-buru mengikutinya. Sambil berjalan di samping Gisel, dia berkata, "Kau baru saja memulai pertunjukan yang bagus. Bukankah sayang sekali jika kita tidak menontonnya sampai selesai?"
Gisel hanya melirik Pandu sekilas dan langsung keluar dari bar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang.
Sepanjang perjalanan pulang, dia hanya diam. Saat mereka hampir tiba di rumahnya, tiba-tiba tenggorokan Gisel terasa kering, dan tubuhnya memanas.
Rasa ini ... Tidak, pasti ada yang tidak beres. Tapi aku tidak minum anggur itu. Bahkan menyentuh gelasnya pun tidak. Ada apa ini?