Bab 6 Sangat Tidak Sabar untuk Melemparkan Diri Padaku?
Pintu sedikit terbuka, dan kepala kecil mengintip dari dalam sana.
"Di mana ayah kami?"
"Dia ada di lantai bawah, jadi jangan khawatir. Ada aku di sini, jadi dia tak akan berani mengganggumu." Kemudian, Gisel melirik ke lantai bawah dan bertanya, "Apa kau lapar? Turun dan makanlah!"
Caka mendorong kembarannya keluar lebih dulu, lalu dia mengikuti dengan malu-malu. Dia sangat lapar.
Dua bocah cilik itu turun ke ruang tamu bersama-sama. Saat mencium aroma nasi nanas di atas meja makan, Caka langsung lupa bahwa ayahnya yang menakutkan itu masih ada di sana. Dia mengambil langkah seribu ke kursi makan dan berkata, “Wow, baunya enak sekali! Aku akan makan!”
Gisel segera menyerahkan sendok pada Caka, yang mengambilnya dan mulai makan. Dibandingkan Caka, Saka tampak jauh lebih tenang dan memakan nasi dengan santai.
"Mmm, enak sekali. Enak sekali! Aku belum pernah makan nasi seenak ini!" gumam Caka dengan mulut yang penuh dengan makanan.
"Kalau enak, makanlah yang banyak." Melihat Caka makan dengan sangat gembira, Gisel juga merasakan kegembiraan muncul di hatinya.
Tiba-tiba, dia menyadari bahwa pria itu masih berada di ruang tamu! Oh, canggung sekali. Kami bertiga sedang makan di sini, jadi tak pantas membiarkannya berdiri saja di sana, kan?
"Uh... Bagaimana kalau kau ikut makan juga?" Awalnya, Gisel mengira bahwa pria seperti dia pasti akan menolak tawarannya. Lagi pula, mereka berdua baru saja bertemu, jadi dia pasti merasa sungkan. Namun ternyata, dia benar-benar salah.
"Tentu." Setelah itu, Pandu berjalan mendekat dan duduk di sebelah Gisel dengan santainya.
Gisel bergumam dalam hati, Ugh, dia tidak sopan sekali!
Karena Pandu menerima tawarannya, mau tak mau, Gisel harus bangun dan mengambil makanan di dapur. Untungnya, masakannya lebih dari cukup, jadi dia membawakan beberapa untuk Pandu dan juga peralatan makan.
Setelah Gisel menyajikan semangkuk nasi nanas untuknya, Pandu melihat makanan itu. Menurutnya, nasi nanas buatan Gisel sangat estetis dan menggugah selera, jadi dia mengambil sendok dan mencobanya. Manis dan asam dari nanas berpadu dengan segar dan asinnya udang, menciptakan perpaduan yang sempurna, sehingga rasanya luar biasa.
Di tengah makan, Saka mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Gisel, lalu dia mengalihkan pandangannya ke arah Pandu. Tiba-tiba matanya berkabut, dan dia berpikir, “Kami terlihat seperti keluarga.” Selama ini, dia dan adiknya tinggal bersama kakek dan nenek mereka. Walaupun mereka tahu bahwa mereka memiliki ibu, mereka tak pernah makan bersama kedua orang tua mereka di waktu yang bersamaan.
"Apa yang kau lihat?" Tiba-tiba Pandu menyadari tatapan putranya.
"Tidak." Saka buru-buru menundukkan kepalanya dan lanjut makan.
Setelah selesai makan siang, Caka berkata pada Gisel bahwa dia ingin membuat roti bersama. Akhirnya dua bocah itu membuat roti bersamanya. Mereka bertiga bersenang-senang bersama, hingga sore hari berlalu tanpa terasa. Saat roti buatan mereka keluar dari oven, hari sudah gelap.
Jelas, Caka masih ingin bersenang-senang lagi, jadi dia mengamuk dan tak mau pergi saat Pandu mengajak mereka pulang. Dia berlari ke lantai atas dan mengurung diri di kamar tidur.
Sementara itu, meski baru sehari menghabiskan waktu bersama mereka, Gisel sangat menyukai kedua bocah ini. Dia pun berkata, "Bagaimana kalau—"
"Bagaimana kalau mereka menginap di sini malam ini?" sela Pandu dengan blak-blakan. Jika mereka menginap di sini, dia punya kesempatan untuk menyelidiki wanita ini dari dekat!
Mendengar usulan ini, diam-diam Gisel merasa bahagia. Sebenarnya dia juga memikirkan ide ini, jadi dia langsung menyetujuinya dengan senang hati. "Tentu!"
"Bagaimana dengan aku?" Tatapan Pandu berubah gelap, menatap tajam ke arah Gisel.
Mendapat tatapan tajam seperti itu, wajah Gisel sontak memerah. Bagaimana dengan dia? Apa maksudnya? Apa dia mau menginap di sini juga? Memikirkan bagaimana mereka tidur bersama semalam, wajah Gisel terasa panas. Apa maksudnya menginap di sini?
Kemudian, Gisel bertanya sambil melirihkan suaranya, "Apa yang kau mau dariku? Dua anak kembarmu ini masih di sini!"
"Apa yang kau pikirkan? Aku hanya mengkhawatirkan mereka berdua. Aku khawatir mereka akan menyusahkanmu, tapi jika kau mau ..." Pandu melengkungkan bibirnya, membentuk senyuman jahat, tanpa menyelesaikan kalimatnya. "Yah, aku pun tak keberatan."
"Tidak mau!" Gisel langsung mundur selangkah. Melihat wajah Pandu yang memesona, tentu saja Gisel mulai membayangkan tubuh indahnya. “Aku hanya punya dua kamar tidur di sini. Jika kau ingin menginap, kau harus tidur di sofa!”
Setelah mengatakan itu, Gisel langsung naik ke lantai atas.
Bukannya dia sengaja membuat Pandu tidur di sofa, tapi memang hanya ada dua kamar tidur di rumah ini. Memang ada beberapa ruangan lain, tapi karena dia baru saja pindah dan sibuk menyiapkan area permainan untuk Sarah, Gisel tak sempat mengisi perabot di ruangan lain. Saat ini, yang siap hanya dua kamar tidur, sedangkan ruangan lainnya dibiarkan kosong tanpa perabot sama sekali.
"Oke, ayahmu sudah mengizinkanmu untuk menginap di sini malam ini, jadi cepatlah mandi lalu tidur!"
"Bagus!" Caka berlari ke kamar mandi tanpa berbusana. Lagi pula, nona cantik ini sudah melihat tubuhnya, dan akan tetap bersamanya, jadi tak apa-apa jika dia telanjang seperti ini.
Namun, Saka masih tak beranjak dari tempatnya.
"Kau tidak mandi?" Saat Gisel membawa jubah mandi, dia melihat bocah itu masih berdiri di tempatnya.
Saka berbalik. "Aku akan mandi sendiri."
"Bisakah kau mandi sendiri sampai bersih? Tidak apa-apa. Aku tidak keberatan memandikan kalian. Kalian berdua bisa mandi bersama."
"Kau perempuan, dan aku laki-laki."
Pfft… Jadi karena ini? Tiba-tiba Gisel merasa bahwa bocah penyendiri ini imut juga. "Baiklah kalau begitu, pria besar. Sekarang aku akan memandikan adikmu." Gisel segera masuk ke kamar mandi, dan tak lama kemudian, dia terdengar bersenang-senang dengan Caka.
Setelah Gisel memandikan Caka dan membawanya ke tempat tidur, Saka benar-benar mandi sendiri. Usai mandi, Saka naik ke tempat tidur bersama kembarannya.
Dua bocah itu agak kelelahan setelah bermain seharian, terlebih lagi mereka tak bisa tidur nyenyak semalam. Setelah mendengar dongeng pengantar tidur yang dibacakan Gisel selama beberapa saat, akhirnya mereka tertidur.
Melihat bahwa si kembar akhirnya tertidur, Gisel menghela napas lega, lalu menguap dan merasa mengantuk juga. Setelah membersihkan diri dan keluar dari kamar mandi, barulah dia ingat bahwa masih ada pria itu di lantai bawah! Sebagai tuan rumah, dia harus bersikap baik pada tamunya. Dia mengambil selimut dari dalam lemari dan turun ke lantai bawah.
Sementara itu, Pandu sedang mengobrol di telepon. Saat Gisel turun, dia mengangkat matanya dan meliriknya. Pandangannya tiba-tiba tertuju pada sosok Gisel. Alih-alih piyama, wanita itu mengenakan kaus besar berwarna putih, memperlihatkan kakinya yang panjang nan indah. Selain itu, dia baru saja mengeringkan rambutnya, yang tergerai bebas di punggungnya, membuatnya tampak muda. Mungkin seperti inilah rupa dewi Yunani.
“Oke, itu saja. Selamat tinggal." Pandu menutup telepon dan duduk di sofa, diam-diam mengagumi kecantikan Gisel.
Sementara itu, Gisel meletakkan selimut yang dibawanya di atas sofa. "Udara di malam hari sangat dingin, jadi aku membawakanmu selimut."
Karena tak ada lagi yang perlu dibicarakan, suasana tiba-tiba menjadi canggung. Lagi pula, mereka baru pertama kali bertemu tadi malam, bahkan mereka juga tidur bersama.
"Kalau begitu aku akan ke atas dan tidur dulu." Setelah mengatakan itu, Gisel cepat-cepat berbalik. Gerakannya sangat tiba-tiba, ditambah lagi dengan kakinya yang basah, dia terpeleset dan jatuh tertelungkup.
Untungnya, Pandu mengulurkan tangan dan menangkapnya tepat waktu, jadi Gisel langsung jatuh ke pelukannya.
Memalukan sekali! Gisel segera berusaha untuk bangun, tapi Pandu justru memeluknya erat-erat.
"Kau sangat tidak sabar untuk melemparkan diri padaku, ya?" tanya pria itu.