Bab 2 Kau Sudah Melihat Tubuhku
Empat tahun kemudian di Bar Dinasti, terdengar musik keras yang terus merangsang gendang telinga serta setiap saraf di tubuh orang-orang.
Tiba-tiba, barisan pria berjas hitam bergerak ke ambang pintu. Di dalam mobil Bentley, di pintu masuk, duduk seorang pria dengan ekspresi yang sangat dingin, bahkan wajahnya tampak seolah diukir dari es. Parasnya tampan seperti dewa Yunani, memancarkan aura dingin dan menawan. Wajahnya tampak arogan, menunjukkan bahwa dia selalu memandang rendah semua makhluk di sekitarnya.
Dialah Pandu Mahanta, pria yang paling mengagumkan di Kota Amerta.
"Tuan Mahanta, mata-mata itu terakhir kali terpantau ada di dalam bar ini," kata Janu, asisten khusus Pandu, yang membungkuk ke arahnya di luar mobil.
"Bersihkan tempat ini." Pandu sedikit membuka bibir tipisnya dan berbicara. Suaranya terdengar tebal dan magnetis.
Orang-orang keluar dari bar ini dan digiring ke dalam sebuah truk besar. Meskipun mereka berteriak dan memaki-maki, mereka tak berani bergerak, karena mereka tahu bahwa mereka tak mampu melawan orang-orang yang berjaga di pintu itu.
Bar ini pun segera kosong, hanya menyisakan para barista, yang semuanya berkumpul di tengah aula. Mereka memegangi kepala dan berjongkok di lantai, tanpa tahu apa yang sedang terjadi.
Sementara itu, Gisel juga ada di bar ini, sedang mabuk berat. Empat tahun lalu, dua bayi laki-lakinya meninggal begitu mereka lahir di dunia. Itu adalah hari tergelap dalam hidupnya.
Tak mungkin dia bisa merayakan hari ini dengan gembira, jadi dia sengaja menunda ulang tahun putrinya seminggu lagi. Setiap tahunnya, di tanggal ini, dia selalu tenggelam dalam kesedihan dan memberi penghormatan pada mendiang putra-putranya... serta dirinya di masa lalu.
Begitu dia membuka pintu toilet, tiba-tiba dia merasakan sesuatu yang dingin di pinggangnya.
Gisel hampir melompat saking terkejutnya. Sentuhan benda ini sudah tak asing lagi baginya. Ya, ini adalah pistol sungguhan. Bahkan meski dia sedang mabuk berat, dia tetap waspada dan peka terhadap hal-hal semacam ini.
"Jangan bergerak!" Suara kekanak-kanakan terdengar dari bawahnya.
Jelas, ini adalah suara anak kecil!
Dari sudut matanya, Gisel melihat sekilas seorang anak laki-laki berusia sekitar empat tahun. Bocah laki-laki ini tampak sangat mencolok dengan setelan kecilnya yang lurus. Fitur wajahnya tampak sangat halus seperti ukiran, dan sepasang matanya berwarna hitam pekat namun sangat terang, seperti bintang yang bersinar di tengah gelapnya malam.
Bagaimana mungkin seorang anak kecil terlihat setampan ini? Sayangnya, kini wajah kecilnya tampak sedikit cemberut, membuatnya tampak seperti pelajar cilik yang suka membangkang.
Sambil tersenyum, Gisel berkata, "Nak ..."
"Jika kau bergerak lagi, akan kutembak kau!"
Gisel bisa merasakan bahwa tekanan pistol di pinggangnya semakin keras. Bagaimana bisa dia mendapat senjata sungguhan? Sekujur tubuhnya terasa merinding, dan hawa dingin mengalir di punggungnya. Bahkan tampaknya kini dia sudah sadar dari mabuknya.
"Oke, aku tak akan bergerak!" Ini serius. Jika anak kecil ini tak sengaja menekan pelatuk pistolnya, Gisel akan mati konyol! “Nak, pistol ini bukan mainan. Jika kau ceroboh—"
"Hanya orang bodoh yang ceroboh saat memegang senjata!" Anak laki-laki itu langsung memotong kata-kata Gisel. Aku Saka Mahanta, putra Pandu Mahanta. Mana mungkin putra Pandu ceroboh saat memegang senjata?
Butir-butir keringat mengalir di dahi Gisel. Dia tak berani bergerak, takut jika bocah itu tak sengaja menembaknya. Bagaimanapun juga, bocah ini hanyalah seorang anak kecil.
Saat mereka berdua mematung, tiba-tiba pintu toilet terbuka, dan seorang anak laki-laki lain berlari keluar dari sana, Gisel mengira bawa dia berhalusinasi! Mereka tampak sama persis!
Bocah yang berlari keluar dari toilet itu juga mengenakan setelan kecil. Meskipun dua anak laki-laki ini memiliki mata yang cerah dan fitur wajah yang sama persis, bocah yang satu ini terlihat lebih imut. Wajahnya yang kecil nan gemuk itu membuat orang-orang ingin mencubitnya.
“Saka, celanaku..." Caka Mahanta, adik Saka, menatap Saka dengan menyedihkan. Setelah dia menggunakan toilet, celananya tak bisa diangkat, jadi dia meminta bantuan kakaknya, tampak agak menyedihkan.
"Hah?" Saat melihat Gisel di ambang pintu, awalnya dia membeku, namun matanya langsung menyipit. Dia segera berlari ke arah Gisel, tapi tiba-tiba dia jatuh tertelungkup. Terdengar suara robekan, juga terlihat pantat kecilnya yang putih dan gemuk.
"Pfft!" Tak bisa menahan diri, Gisel jatuh ke lantai sambil tertawa.
Bocah itu tentu saja merasa malu, jadi dia cepat-cepat mengangkat celananya dan mengepalkan kedua tangannya erat-erat. "Kau sudah melihat tubuhku, jadi kau harus menikah denganku!"
Namun, Gisel justru tertawa semakin keras, hingga air matanya keluar.
"Jangan tertawa! Aku benar-benar serius! Aku akan memberimu 15 miliar rupiah. Bagaimana kalau kau menjadi wanitaku?" Bocah itu bersedekap dan memutar kepalanya dengan kesal.
Bocah empat tahun ini ingin aku menjadi wanitanya?
"Baiklah. Kalau begitu, aku akan menjadi wanitamu, tapi kau harus melindungiku." Mata Gisel agak tidak fokus. Dia melihat bocah di depannya dengan tatapan mabuk.
"Diam kau!" Bocah yang memegang pistol di belakang Gisel sedikit kesal dan segera menegur adiknya.
Jelas, kini Caka sudah kehabisan kesabaran. Dia berjalan ke arah kakaknya dan merebut senjatanya. "Saka, apa kau tak bisa bersikap lembut pada perempuan? Jika terus seperti ini, kau tak akan bisa mendapatkan istri nanti!"
Saka cepat-cepat merebut pistol itu lagi dari tangan adiknya. Meskipun dia yakin bahwa pistol itu tak akan meledak di tangannya sendiri, dia tak yakin bahwa hal itu juga berlaku di tangan adiknya.
Kemudian, Gisel memandangi dua bocah cilik yang sangat mirip itu. Senyuman di wajahnya tiba-tiba membeku, namun dia segera tertawa lagi. Di tanggal ini, empat tahun lalu, dia juga kehilangan sepasang putra kembar.
"Kalian berdua tampak mirip. Hei, dari mana asal kalian?"
"Kami ..."
Saka segera menarik Caka ke belakangnya.
"Bawa kami keluar dari sini. Kalau tidak, aku benar-benar akan menembak." Saka mengokang senjatanya. Sekarang, dia sudah tahu bahwa ayahnya ada di luar sana. Dia sudah bersusah payah melarikan diri, jadi dia tak mau diseret kembali ke rumah secepat ini. Selain itu, jika dia tertangkap secepat ini, dia akan terlihat payah.
"Hei, Saka, berapa kali aku harus memberitahumu agar kau mengerti? Kau harus bersikap lembut dan tersenyum pada gadis-gadis, seperti aku ..." kata Caka seraya memamerkan gigi putihnya.
"Tutup mulutmu!"
Gisel tak bisa berhenti tertawa melihat bocah-bocah ini. Mereka berdua begitu bertolak belakang. Yang satu dingin, sedangkan yang lainnya lucu. Mereka sangat menarik.
"Orang-orang di luar itu datang untuk menangkap kalian, kan?" Dilihat dari gaya berpakaian mereka, dua bocah ini pasti berasal dari keluarga kaya. Jadi, sekelompok orang di luar sana pasti datang kemari untuk mencari mereka berdua.
"Bagaimana kau—"
Saka kembali menarik adiknya ke belakang kuat-kuat. "Hentikan omong kosongmu! Pikirkanlah cara untuk keluar dari sini, sekarang juga!"
Nada bicaranya yang memerintah ini membuat Gisel merasa tidak senang. Menurutnya, anak-anak harus berperilaku seperti anak-anak pada umumnya. Sambil mencubit wajah Saka, Gisel berkomentar, "Kalau begini, kau tidak imut sama sekali."
Saka cepat-cepat menepis tangan Gisel. "Wanita ini mabuk! Benar-benar tidak berguna!"
"Hei, Saka, biar aku bertanya padanya. Nona cantik." Si adik mendengus dan menatap Gisel dengan sorot mata yang menyedihkan. "Pria tua jahat yang ada di luar itu bukan ayah kami. Kami berdua dijual ke keluarga mereka, tapi walaupun keluarga mereka kaya, kami tak menyukainya sama sekali. Kami ingin kembali ke keluarga kandung kami. Nona, kau sangat cantik, imut dan menawan, jadi tolong bantu kami, oke?"
Saka melirik kembarannya. Sepertinya adiknya yang dramatis ini berguna juga. Setidaknya dia bisa berbohong dengan mulusnya, tanpa persiapan terlebih dahulu!
Dalam kondisi setengah mabuk seperti ini, Gisel merasa senang mendengar pujian Caka. "Oke! Aku akan membantu kalian mengurus pria tua yang mengerikan itu!" Setelah itu, Gisel mengeluarkan kunci mobil dari sakunya. "Keluar dari sini, lalu belok kanan dan jalan terus. Ada pintu belakang di sana. Kalian keluar dan sembunyilah dulu di mobilku yang kuparkir di sana. Setelah selesai mengurus pria tua yang jahat itu, aku akan pergi dan menemui kalian!"
Saka pun mengambil kunci mobil Gisel.
"Kalau begitu, kau harus menemui kami, oke? Kau sudah melihat tubuhku, jadi kau harus menikah denganku. Jangan berani menghindar!" ancam Caka sambil melayangkan flying kiss ke Gisel.
Setelah itu, Gisel membuka pintu toilet dan keluar dari sana. Saat dia berjalan, kepalanya terasa pusing. Efek samping dari anggur itu sangat kuat, sampai-sampai dia tak bisa berjalan lurus. Dia menepuk kepalanya, berusaha menyadarkan diri, namun samar-samar dia melihat satu sosok di depannya.
"Hei, kau! Pria tua jahat, berhenti!" Gisel berteriak dan bergegas dengan langkah terhuyung-huyung.