Bab 9 Bertemu Musuh
Selama ini, identitas Gisel memang selalu dirahasiakan. Hanya segelintir karyawan perusahaan yang pernah melihatnya, namun hanya manajemen senior perusahaan yang mengetahui identitasnya. Tak ada orang luar yang tahu apakah presdir Grup JNS pria atau wanita. Karena itu, tentu saja Gisel sangat curiga bagaimana pria di depannya ini bisa mengetahui identitasnya.
Pandu membeku sesaat. "Malam itu, aku ..."
Gisel langsung menyadari sesuatu. "Kau mengintip isi dompetku, ya!" Dia menepuk dahinya sendiri. Kini, dia ingat bahwa di bar pada hari itu, dia mabuk berat. Mungkin pria ini memanfaatkan kesempatan itu untuk mengintip dompetnya. Ada undangan dari salah satu perusahaan mitra di dalam dompetnya. Aku terlalu ceroboh!
"Hmm, ya sudah lah. Tak masalah jika kau mengetahui identitasku, tapi jangan beri tahu orang lain."
Pandu memandang Gisel dengan penuh rasa penasaran. "Kau belum menjawab pertanyaanku."
Mendengar kata-kata Pandu, akhirnya Gisel tampak santai dan berujar, "Kau tak tahu banyak tentang wanita. Kecemburuan wanita sangatlah aneh. Biasanya, wanita cemburu karena ada orang lain yang lebih cantik darinya, cemburu karena ada yang memiliki tubuh yang lebih baik dari dirinya, cemburu karena ada orang lain yang memiliki lebih banyak uang, dan kecemburuan terbesar wanita adalah—”
Gisel menyeringai jahat dan melanjutkan, "Cemburu karena wanita lain memiliki pria yang lebih baik darinya! Benar, ini adalah tingkat kecemburuan tertinggi. Sekarang, Alana Wardana pasti sedang mengutukku. Mungkin dia berkata 'Ugh, dasar Gisel Wardana, wanita rendahan dan bodoh. Bagaimana bisa dia mendapatkan suami yang sangat tampan, keren, dan gagah seperti itu?! Terlebih lagi, suaminya kaya raya! Aku tidak terima! Aku jauh lebih baik darinya!'"
Saat menirukan nada bicara Alana, Gisel tertawa terbahak-bahak. Dia merasa begitu puas saat membayangkan betapa kesalnya Alana.
Saat ini, Alana sedang berjalan ke tempat parkir sambil membersihkan noda kopi di tubuhnya. "Dasar Gisel Wardana, wanita rendahan dan bodoh. Bagaimana bisa dia mendapatkan suami yang sangat tampan, keren, dan gagah seperti itu?! Terlebih lagi, suaminya kaya raya! Aku tidak terima! Aku jauh lebih baik darinya!"
Sesampainya di tempat parkir, dia menyadari bahwa tasnya masih ketinggalan di toko gaun pengantin. Frustrasi, dia mengangkat kakinya dan menendang mobil.
"Aduh!" teriaknya kesakitan. Setelah menghentakkan kakinya dan menjerit penuh amarah, dia tak punya pilihan selain berbalik ke sana.
Dia berjalan ke pintu masuk toko gaun seraya melihat sekeliling dengan hati-hati, takut bertemu dengan Gisel lagi. Lagi pula, dia tak mau diejek Gisel untuk yang kesekian kalinya.
Namun, dia melihat Gisel dan pria itu lagi! Jadi, dia cepat-cepat bersembunyi di balik dinding.
Gisel menepuk pundak Pandu dan berkata, “Tak kusangka, ternyata gigolo sepertimu sangat jago berakting. Bahkan tadi aku sempat percaya bahwa kau adalah presdir yang mendominasi! Karena kau sudah berhasil berpura-pura sebagai suamiku hari ini, aku akan mengajakmu dan si kembar bersenang-senang! Ayo pergi ke pusat permainan!”
Setelah itu, mereka berdua masuk ke dalam mobil. Alana berdiri di belakang dinding dan melihat mobil mereka melaju pergi. Kini raut wajahnya tampak sombong.
“Ha, aku tahu itu! Kau tak mungkin seberuntung itu! Ternyata kalian hanya berakting. Presdir Perusahaan JNS? Pfft! Setelah menghilang selama beberapa tahun, kau kembali dengan kemampuan akting seperti itu. Hebat. Hebat sekali! Akan kuikuti permainanmu sampai akhir!”
Di sisi lain, Pandu membawa Gisel dan kedua putranya ke pusat permainan. Ini adalah pertama kalinya Caka dan Saka datang ke tempat seperti ini. Sejak masih sangat kecil, dua bocah ini begitu dilindungi oleh ayah Pandu, hingga tak pernah keluar rumah, apalagi datang ke pusat permainan seperti ini.
Si kembar bersenang-senang dengan Gisel, sementara Pandu tersisihkan.
Saat mereka hendak pulang, hari sudah malam. Karena kelelahan bermain, Gisel dan si kembar tertidur di kursi belakang.
Saka sempat terbangun sejenak dan melihat ke arah Gisel, yang matanya tertutup rapat, lalu pandangannya beralih ke arah Pandu, yang sedang mengemudi di depan. Setelah itu, dia menarik Caka beberapa kali.
"Huh ..." Caka membuka matanya dengan kebingungan, tak tahu apa yang sedang terjadi.
Begitu adiknya terbangun, Saka berbisik di telinganya, "Apa kau masih ingin bertemu dengan nona cantikmu itu?"
Caka mengangguk dengan mata setengah terbuka. Tentu saja dia ingin melihat Gisel. Bagaimanapun juga, Gisel adalah wanitanya. Tak hanya cantik, wanita itu juga bisa bermain dengannya.
"Kalau begitu, lakukan ini." Saka membisikkan rencananya di telinga Caka dengan hati-hati.
Kini, akhirnya Caka benar-benar bangun. Setelah mendengar rencana Saka, dia menutup mulutnya sendiri dan tersenyum, lalu mengacungkan jempol pada kakaknya.
Gisel duduk di sebelah Caka, dan tasnya ada tepat di sebelah tangan si kecil. Caka mengeluarkan dompet Gisel dari tasnya dengan mudah, lalu menyerahkannya pada Saka.
Beberapa saat kemudian, mereka sampai di rumah Gisel di Graha Atlantis. Mobil Pandu tiba-tiba berhenti, membuat Gisel terbangun. "Apa kita sudah sampai?" Dia menguap dan melanjutkan, “Aku akan pulang dulu. Kalian berdua juga pulanglah dan dengarkan ayah kalian, oke?
Gisel berbicara sambil mencubit wajah Caka. Baru saja dia hendak mengulurkan tangannya dan mencubit wajah Saka juga, namun bocah itu menepisnya. Akhirnya Gisel menepuk pelan kepala si kecil.
"Selamat malam, nona cantik. Mimpi indah! Jangan lupa mimpikan aku, oke? Aku akan merindukanmu!" Caka melayangkan flying kiss pada Gisel, yang juga segera membalasnya.
"Aku juga akan merindukanmu! Sampai jumpa, selamat malam!" Kemudian, Gisel keluar dari mobil.
Sementara itu, Pandu duduk di kursi pengemudi dengan raut wajah cemberut. Apa mereka semua mengabaikan keberadaanku? Apa aku tak terlihat? Saat turun dari mobil, Gisel bahkan tak mengucapkan selamat tinggal padanya, apalagi memandangnya!
Kemudian, Pandu mengemudikan mobilnya dan membawa si kembar pulang ke kediaman keluarga Mahanta. Begitu keluar dari mobil, Caka langsung berlari ke dalam rumah. Dia masih bisa bertemu dengan Gisel nanti, jadi dia tak perlu khawatir. Akhirnya dia memutuskan untuk tidur.
Sementara itu, Saka keluar dari mobil dengan santai. Namun, saat dia hendak masuk ke dalam rumah, Pandu menghalanginya.
“Berikan padaku.”
Wajah Saka tampak tak berekspresi. "Berikan apa?"
"Berhenti berpura-pura."
Tak punya pilihan, akhirnya Saka mengeluarkan dompet Gisel. Pandu mengambil dompet itu dan memasukkannya ke dalam sakunya dan kembali ke mobil.
Melihat mobil ayahnya melaju pergi, Saka hanya menghela napas dalam diam.
Setelah mengambil dompet Gisel, Pandu mengendarai mobilnya perlahan. Tadi, dia melihat setiap gerak-gerik putranya di dalam mobil lewat kaca spion. Awalnya dia berniat mengabaikannya, tapi dia berubah pikiran setelah keluar dari mobil.
Sesampainya di rumah, dia memarkir mobilnya di garasi rumahnya. Pandu mengambil dompet itu dan langsung pergi ke rumah Gisel. Namun, saat hampir sampai di sana, dia melihat bahwa lampu rumah Gisel sudah padam. Ya sudah, lupakan saja.
Keesokan paginya, matahari bersinar cerah. Pandu sudah berpakaian lengkap dan siap untuk keluar, lalu dia melihat dompet di atas meja kopi. Dia penasaran, apa yang sedang dilakukan wanita itu? Akhirnya, dia mengambil dompet tersebut dan langsung keluar dari pintu.
Dia baru saja berjalan beberapa langkah dari rumahnya, namun tiba-tiba dia merasakan bahwa ada seseorang berlari dengan cepat dan menarik bajunya. Pria itu menunduk dan melihat seorang gadis berusia sekitar empat tahun menatapnya sambil tersenyum lebar.
Paras gadis itu amat cantik dan berbentuk indah. Matanya besar dan hitam bak batu obsidian, bulu matanya panjang dan lentik, ditambah dengan bibir mungilnya yang berwarna merah muda ... dia tampak seperti boneka porselen.
"Tuan, apa kau punya pacar?"