Bab 2 Bos Baru Abraham Groups (a)

Bab 1 : Bos Baru Abraham Groups (a) ****** "BAAANGG!" teriak Talitha, suaranya terdengar menggelegar dari depan rumah. "Bang Gavin! Astagaaa bang, ntar gue terlambat kuliah, nih!" Berkali-kali Talitha mengecek jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangannya, gadis itu mengembuskan napasnya dengan tak sabaran seperti orang yang baru saja melakukan push-up. Matanya melihat berkali-kali ke dalam rumah, tetapi belum ada tanda-tanda bahwa kakak laki-lakinya itu akan keluar. Talitha yang berdiri di depan di pintu rumahnya itu menganga lebar ketika jam tangannya sudah menunjukkan pukul delapan. Dia ada kelas di jam setengah sembilan hari ini! Niatnya, sebelum jam delapan, dia akan pergi bersama Basuki ke rumah tantenya Basuki yang baru pulang dari Yogyakarta. Sumpah! Lenyap sudah harapan ingin berebut oleh-oleh. Talitha jadi mengerang hebat. "Baaaangg!! Ampun dah. Dosennya killer, neh! Bang, lo itu mandi atau ngeram, sih, di kamar mandi?! Putus sudah harapan..." "Heh! Putus patas putus! Apanya yang putus?!" Gavin dengan seragam kantornya sudah muncul di dekat Talitha, membuat Talitha tersentak. Talitha lalu mendongak; matanya memelototi Gavin. "Ha! Tuh, dia udah selesai!" teriak Talitha sembari menunjuk Gavin dengan jari telunjuknya. Gavin hanya melewati Talitha. "Lo tuh kenapa, sih, Ta? Diem aja ngapa coba? Dah tau abangnya lagi mandi tadi," ujar Gavin, dia tahu Talitha mengikutinya dari belakang. Gavin berjalan ke garasi dan mulai masuk ke mobilnya. Talitha ikut masuk sembari mencibir. "Itu mandi apanya yang digosok? Masa mandi lamanya minta ampun." Mata Gavin memelotot, dia menghadap ke arah Talitha yang baru saja menutup pintu mobil. Gadis itu sedang memasang seat-belt. "ITA!! Apa maksud lo?! Ini masih pagi, Dek, jangan buat gue emosi! Ampun, punya adek kok..." Talitha mengangkat alisnya sembari menghadap ke arah Gavin. Menatap Gavin yang sama sekali tidak seru untuk diajak berkelahi pagi ini. Talitha langsung menghadap ke depan kembali. "Halah, Bang... Udah, sih, yang terlambat itu gue! Sumpah, ini udah jam delapan, Bang! Delapan!" Gavin memutar matanya, kemudian ia menghadap ke depan. Ia memilih untuk menghidupkan mesin mobilnya, kemudian keluar dari garasi dan akhirnya keluar dari pagar rumah itu. Gavin sempat turun dari mobilnya untuk menutup pagar rumah kembali sebelum akhirnya dia masuk kembali ke mobil. Gavin mengendarai mobilnya dengan cepat karena mengetahui bahwa ini sudah jam delapan. Dia sempat mengecek jam tangannya setelah Talitha berkata bahwa sekarang sudah jam delapan. Talitha menatap Gavin, dia gelisah, tetapi dia mencoba untuk tenang karena dia tahu bahwa kegelisahannya itu akan mengacaukan konsentrasi Gavin yang sedang mengemudi. "Bang, emang lo ngapain tadi malem? Kok bisa telat bangun gitu? Nggak biasanya," ujar Talitha. Gavin menatap Talitha sekilas, kemudian kembali fokus ke depan. "Gue capek banget. Semalem lembur karena kerjaan kayaknya jadi nge-double." Talitha mengernyitkan dahi. "Nge-double?" "Iya. Bos Besar sakit dan kayaknya nggak bisa masuk kerja lagi. Belum ada penggantinya juga. Jadi, para direktur lainlah yang bantu ngerjain untuk sementara dan alhasil kami para bawahannya juga jadi kena imbasnya. Tugas kami jadi lebih banyak. Katanya, sih, hari ini bos baru atau direktur utama penggantinya bakal dateng." Talitha mengangguk-angguk, tetapi anehnya dia menatap Gavin dengan mata yang membulat ‘sok’ polos. Seperti orang bodoh. "Ooh... Kasian banget, ya, Bang. Setau gue lo pernah bilang kalo direktur di sana udah pada punya istri... Berarti, istrinya makin sering ditinggal suaminya, yak?" Gavin langsung menganga; pria itu lantas menatap adiknya dengan mata yang melebar. "Ya ampun, Dek! Jadi, dari tadi lo fokus ke situ, ya? Sumpah, nih anak gila banget, ya Tuhan..." "Wakakakakak!" Talitha tertawa terbahak-bahak, gadis itu menghadap ke depan dan memegangi perutnya. Gavin menggeleng, mencoba untuk fokus kembali ke jalanan yang ada di depannya, tetapi ia tetap meladeni tawa gila Talitha. Akhirnya, Talitha berhenti tertawa. Namun, gadis itu masih memegangi perutnya. "Tapi, Bang, siapa pengganti direktur utamanya? Anaknya? Atau mungkin orang lain gitu?" "Ntah. Katanya, sih...yang nerusin itu anak dari Bos Besar." "Oh. Lo pernah liat, Bang?" tanya Talitha lagi. Gavin mengedikkan bahu. Sesekali ia membenarkan letak kacamatanya. "Nggak. Gue nggak pernah liat. Yah, kalo gue, sih, nggak masalah siapa pun orangnya. Asalkan perusahaan tetep maju. Hm...tapi kalo ga salah...katanya lagi, nih, ya, anak dari Bos Besar itu pindahan dari Taiwan. Ah, nggak tau gue ah." Talitha melebarkan matanya. "Dari Taiwan? Wuih mantep! Pasti berkarisma banget, tuh! Dia punya istri, ya, Bang?" Mata Gavin langsung memelototi Talitha. "Ita, plis. Pikiran lo tuh dijaga dikit napa, Dek." "Yee Abang mah! Makanya, jangan jomblo terus! Kalo Abang nggak jomblo, pasti ngerti, tuh, apa artinya seorang istri bhahaha!" Gavin menjewer telinga Talitha, membuat Talitha mengerang kencang. "Ampun nggak lo, hah? Ampun nggak?" "Aaaaaaah—aah!! Iya, Bang, iya, ampun—sumpah ampun, Bang—aaaakk! Ampun!!! Bang!!" Akhirnya, Gavin melepas telinga Talitha, menyisakan Talitha yang kini tengah mengusap telinganya yang memerah. Gavin mendengkus. "Lagian, kayak lo nggak jomblo aja," ejek Gavin. Talitha menatap Gavin dan cengar-cengir. "Kalo gue beda, Bang. Jomblo, tapi kece. Udah jadi Hukum Kekekalan Alam." "Astaga, apaan tuh? Baru dengar gue." Gavin tertawa. "Pokoknya, kalo lo pacaran harus lapor ke gue." "Siskamling baru, nih. Lapor 24 jam." Talitha menggeleng. Menyadari bahwa Gavin tetap saja seperti biasa, overprotective. "Hahahaha!" Tawa Gavin terdengar membahana di dalam mobil. Setelah tertawa, Gavin pun mempercepat mobilnya. Talitha juga diam, canda tawa dengan Gavin membuatnya melupakan kegelisahannya karena terlambat. Mendadak dia melupakan sejenak masalah oleh-oleh dari tantenya Basuki beserta masalah dosen killer yang akan masuk ke kelasnya pagi ini. Mobil tetap berjalan, tetapi kali ini ada masalah baru. Macet. Ini memang terlalu buruk. Macetnya Jakarta, kepulan asap knalpot dan panasnya mentari pagi ini sudah melengkapi penderitaan Gavin dan Talitha. Sudah setengah jam mereka terjebak di jalan, belum juga ada tanda-tanda macet akan berkurang. Tidak ada celah. Ini sudah jam delapan lewat 45 menit. Memilih untuk ke luar jam segini memang sama saja dengan bunuh diri jika kau tinggal di Jakarta. Talitha bahkan sudah tak semangat lagi untuk mengikuti dua jam pertama mata kuliah hari ini. Sudahlah, pasrah saja. "Ta, gimana, nih?" tanya Gavin tiba-tiba, setelah hanya suara napas merekalah yang sedari tadi mengisi keheningan di dalam mobil. Talitha menghela napas. "Udah, deh, Bang. Ya terpaksa ga ikut. Ikut mata kuliah kedua aja jam dua belas nanti, daripada terlambat." "Lho, kok gitu, sih, Dek? Pokoknya lo harus giat kalo kuliah!" Talitha mengernyitkan dahi. "Nahloh, yang bikin terlambat siapa coba?" "Iya iya, gue minta maaf," ujar Gavin sembari mendengkus. "tapi lo mau ngapain aja ntar nunggu sampe jam dua belas? Nggak kering apa nunggu segitu lama?" "Nggak kering, mungkin berkerak. Ya tapi gue mau ke rumah tantenya Basuki aja heheh. Dia bawa oleh-oleh dari Yogya." Talitha tersenyum lebar kepada Gavin. Gavin mendorong pelan kepala gadis itu dengan jari telunjuknya. "Makan aja yang lo pikirin, Dek! Perasaan tadi udah sarapan, masa mau ngembat oleh-oleh Tante Fera lagi? Udah sarapan belom, sih, sebenernya?" "Belom. Belom lima kali." Talitha tertawa keras. "Dasar kurang ajar nih anak... Bocah tengil!" Gavin menggeleng seraya tergelak. Menyadari bahwa macetnya sudah mulai berkurang, Gavin langsung mencoba untuk menjalankan mobilnya dan akhirnya, Gavin sampai di Universitas Indonesia—tempat Talitha kuliah—pada jam sembilan. Talitha turun dari mobil setelah pamit dengan Gavin. Gavin menghela napas dan mulai memutar balik mobilnya. Setelah itu, Gavin pun melirik jam tangannya. "Sial, gue ada rapat setengah jam lagi!" umpatnya. []
Tambahkan ke Perpustakaan
Joyread
FINLINKER TECHNOLOGY LIMITED
69 ABERDEEN AVENUE CAMBRIDGE ENGLAND CB2 8DL
Hak cipta@ Joyread. Seluruh Hak Cipta