Bab 9 Kamu Milikku (a)
Bab 8 :
Kamu Milikku (a)
******
PINTU kamar Talitha terbuka. Talitha tak tahu kapan jelasnya ia tertidur karena pusing memikirkan kasusnya dengan bosnya Gavin. Bos baru Abraham Groups yang tak lain dan tak bukan adalah Marco Deon!
Gavin masuk dengan langkah tergesa dan langsung duduk di pinggir kasur adiknya yang kini tengah tengkurap penuh penderitaan itu.
"Dek, lo kenapa? Nggak enak badan?" tanya Gavin dengan tatapan ingin tahu. Talitha bahkan tetap tidak melihat Gavin saking bingungnya dia dengan apa yang sudah terjadi.
Bayangkan saja, seenak itu Marco Deon mengekangnya pada pertemuan pertama mereka. Dia itu sebenarnya orang atau iblis, sih? Apa dia bahkan punya hati? Yang anehnya lagi, apa-apaan dengan ancaman serta perintahnya yang tak masuk akal itu?
"Ita capek dan pusing aja, Bang. Udah, deh, Abang masuk kamar aja sono. Serius, Ita pengin tidur dulu."
"Oke. Gue sebenernya nggak percaya kalo penyebabnya cuma itu, tapi ya udah, tidur aja dulu. Istirahat biar besok bisa masuk kuliah." Gavin menghela napas, kemudian pria berkacamata itu berdiri dan mulai meninggalkan kamar Talitha. Tak lupa ia menutup pintu kamar adiknya itu kembali.
Baru berjalan meninggalkan kamar Talitha, ponsel Gavin yang ada di saku celana pria itu berbunyi. Gavin mengangkat teleponnya kemudian terdengar suara Revan dari seberang sana.
"Yo, Vin. Gimana si Ita?"
"Entah, Van. Gue juga bingung dia kenapa. Gue curiga kayaknya ada terjadi sesuatu pas dia berdiri di luar sendirian," jawab Gavin, kini dia melepas dasinya sambil berjalan dan membuka pintu kamarnya. Kamar Gavin dominan berwarna abu-abu plus banyak poster The Beatles.
"Ya emang dianya ngomong apa sama lo?"
"Dia nggak mau ngasih tau. Dia cuma bilang kalo dia lagi nggak enak badan gitu."
"Ya udahlah, tunggu aja. Mungkin besok dia udah mau cerita. Bikin khawatir banget tuh bocah. Oh ya, Vin, gilee… Lo ninggalin gue sendiri di sini! Suasananya, kan, agak berat satu ton gitu semenjak si Ita manggil nama Pak Dirut. Gue cuma bisa unjuk gigi buat nyengir sana-sini. Mana si Veroksin ngetawain gue lagi! Kamvret banget asli. Temenin gue napa, Nyet."
"Nyat nyet nyat nyet! Elo tuh yang monyet! Bhahaha, ya udahlah. Nggak apa-apa, lo tunjukin aja gigi lo. Mumpung gigi lo bagus. Gue capek banget mau ke sana lagi. Kalo lo bosen, ya pulang aja. Jangan pacaran aja yang lo pikirin."
"Ya terus cewek gue yang di sini mau gue kemanain, Bro? E—eeeh, sialan lo! Veroksin! Gue sumpahin kena virus Ebola lo!"
Gavin mengernyitkan dahinya sejenak, kemudian dia tertawa terbahak-bahak. Lha, rupanya di seberang sana Revan masih sempat berdebat dengan Vero yang terdengar terus meledek Revan.
"Hahaha—ya udah Revanyeeet, pulang aja kenapa, sih? Daripada lo bacot di sana. Tinggalin aja cewek lo yang di situ. Wong cewek lo juga ada dua lusinan. Atau mungkin satu rim?"
"Lo kira kertas HVS?!"
"Ya badannya juga ceking-ceking banget kayak kertas. Diet kali ya mereka buat lo?" kata Gavin sambil geleng-geleng kepala. "Gue heran kenapa mereka bisa tergila-gila sama cowok yang nggak mau cuci kaos kaki macem lo. Tiap dua hari sekali, kaos kakinya malah lo buang karena nggak mau nyucinya. Entah berapa total kaos kaki yang udah lo buang."
"Jangan buka aib orang, oi. Ck. Lo sekarang lagi mode emak-emak? Ya udah, deh. Gue cabut, nih. Ehm—diem-diem, mumpung cewek gue lagi ngambil minum," kata Revan. Sejenak kemudian, pria itu berbicara kembali, "Oi, Vin, gue ke rumah lo, ya. Males pulang ke kost."
Revan yang malang. Punya orangtua kaya, tetapi memilih untuk nge-kost sendirian di tempat yang dekat dengan kantor. Untungnya, fasilitas kost-nya lumayan bagus, seperti kamar hotel.
"Ck. Ngerepotin gue aja lo," ujar Gavin. "Sampe di sini sepuluh menit atau gue kunci pintu."
"Woi, Nyet! Emang lo kira Jakarta gimana hah? Gue bawa mobil, Man. Lo tau jalan macet. Maen kunci aja lo. Sabar dikit ngapa, Say."
"Masuk kuburan sana lo! Jijay gue astaga. Ya udah, gue tutup teleponnya."
"Sip, Bro."
******
Talitha mengucek-ngucek matanya yang masih mengantuk sebab ia baru saja bangun tidur. Gadis itu terdiam sejenak dan otaknya kembali mengingat apa yang telah terjadi tadi malam. Sontak dia menghela napas dan tubuhnya jadi lemas. Dia mengerang dan mengacak rambutnya sendiri karena kesal. Sial, kok bisa, sih, ada orang seperti itu? Bagaimana nasib Gavin nantinya sebagai bawahan pria yang sifatnya tidak masuk akal itu?
Dengan mata yang masih setengah tertutup dan rambut yang berantakan, Talitha pun turun dari tempat tidurnya dan berjalan ke luar kamar dengan langkah yang agak oleng karena baru bangun tidur. Ia bahkan masih menguap berkali-kali. Serampangan dan acuh tak acuh adalah sifat nomor satu Talitha. Dia termasuk jenis orang yang tak peduli dengan trend. Talitha turun ke bawah—masih memakai piamanya—dan langsung menuju ke dapur. Sampai di dapur, dia langsung mencari keberadaan kulkas. Mengambil salah satu botol yang berisi air dingin dan langsung menenggaknya dengan cepat bak orang kehausan.
Tak lama kemudian, Talitha melihat Gavin lewat di ruang keluarga (tempat di mana keluarga Talitha biasanya menonton TV). Talitha yang ada di dapur memang bisa melihat ke ruang keluarga secara langsung karena posisinya berhadapan. Talitha langsung bertanya dengan santai, "Bang, Mama sama Papa mana?"
Gavin langsung menatap Talitha dan menggeleng tak habis pikir. "Dek, coba lo cuci muka dulu sana. Kok jadi gue yang malu liat lo. Mama sama Papa ke pasar tadi."
"Oh," kata Talitha. Setelah itu, Talitha terkejut melihat ada sosok pria lain yang ikut menunjukkan dirinya di ruang keluarga dan mulai duduk di sofa depan TV bersama Gavin.
"Lah, Bang Revan?! Weleeeh, kapan Abang ke sini? Abang nginep di sini, ya, semalem?"
Revan melihat ke arah Talitha dan langsung memelotot. "Astaga, Ta! Liat rambut lo, tuh! Kayak Mak Lampir, serius!!"
Talitha berdecak. Ha, susah kalau berhadapan dengan Gavin dan Revan. Yang satu cerewet, yang satu lagi suka mengejek. Dengan malas, Talitha pergi ke kamar mandi dan mencuci mukanya, lalu menggosok gigi. Biasanya, dia tak semalas ini, tetapi problem semalam sukses membuatnya bad mood. Semoga saja Marco Deon itu nanti tak memarahi Gavin atau menegur Gavin karena masalah Talitha semalam.
"Bang, kita nggak punya sarapan, ya?" tanya Talitha tak lama kemudian, yang membuat Gavin dan Revan hanya menatapnya dengan cengiran.
******
"Vin, kamu dipanggil ke ruangan Pak Dirut. Temui dia sekarang, katanya," kata Mbak Rei, salah satu ketua direksi, dengan wajah menornya. Dia langsung masuk saja ke area direksi Gavin, lalu masuk lagi ke ruangan Gavin dan menyampaikan pesan itu.
Gavin mengangkat kepalanya tatkala mendengar suara Mbak Rei. Dia lantas terkejut. "Hah? Pak Dirut, Mbak? Lho...ada apa, ya?"
"Nggak tau. Duh, beruntung kamu, Vin... Saya malah kepengin liat wajah Pak Dirut ganteng kita itu lagi, lho... Haha."
"Mbak, Mbak tadi dikasih tau sama siapa?" tanya Gavin, jujur dia agak panik. Yang memanggilnya ini Dirut!
"Tadi pas saya ngambil kertas, tiba-tiba ketemu sama sekretarisnya Dirut. Dia suruh saya buat manggil kamu. Ntar kamu bisa lapor ke dia di lantai 32 biar dianter masuk ke ruang Dirut. Emang ada apa, Vin? Kamu ada salah?"
"Duh, Mbak...saya bingung juga. Ya udah, deh. Makasih, ya, Mbak Rei."
"Yup," jawab Mbak Rei sambil mengedipkan sebelah matanya. Setelah itu, wanita itu pergi dengan diiringi suara ketukan high heels-nya.
Gavin menghentikan aktivitasnya sebentar (tadi dia sedang mengetik di komputernya) dan keluar dari ruangannya. Berhubung dia adalah seorang ketua direksi, dia pamit sebentar dengan anggota direksinya dan akhirnya keluar dari ruangan direksi pengembangan itu.
Ia merapikan pakaiannya, lalu menghela napas lewat mulutnya sembari berjalan ke arah lift. Di dalam lift, Gavin menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan hanya bisa menunggu hingga ia sampai di lantai 32. Saat sudah sampai di lantai 32, Gavin berjalan di koridor hingga ia bertemu dengan Sekretaris Dirut yang ternyata sedang menunggunya di sana.
"Silakan, Pak Gavin Aryadinata," ujar sekretaris berwajah manis itu sembari membawa Gavin ke depan sebuah pintu besar. "Pak Direktur Utama sudah menunggu Bapak."
Dengan ekspresi heran, Gavin pun menatap sekretaris dirut itu. "Em... Maaf, Bu. Saya mau tanya. Sebenarnya, ada apa Pak Direktur Utama mau menemui saya, ya, Bu?"
"Beliau hanya meminta saya untuk memanggil Pak Gavin ke ruangannya. Mungkin Pak Gavin akan tahu begitu Bapak masuk ke dalam."
Gavin menghela napas. "Oke. Terima kasih, Bu."
Sekretaris itu kemudian mengangguk sembari tersenyum. Setelah itu, sekretaris itu mengetuk pintu ruangan Dirut sebanyak tiga kali.
"Pak, Bapak Gavin Aryadinata sudah datang."
"Masuk saja." Suara direktur utama itu terdengar begitu mendominasi. Gavin mengangguk.
Sekretaris itu lantas membukakan pintu untuk Gavin dan Gavin mulai masuk ke ruangan. Sekretaris itu merunduk sebentar—memberi hormat kepada Direktur Utama—kemudian menutup kembali pintu besar itu. Kini hanya tersisa Gavin, suasana tenang di ruangan itu, dan kedua mata Deon yang ternyata telah menatapnya dengan lekat.
Gavin merunduk hormat. “Selamat pagi, Pak.”
"Pagi. Silakan duduk, Pak Gavin," ujar Pak Dirut itu ketika Gavin kembali berdiri tegak.
Gavin akhirnya mengangguk, lalu maju ke depan dan duduk di kursi yang disediakan di depan meja dirut itu.
"Baik... Pak Gavin... Ketua Direksi Pengembangan?" tanya Deon sembari memiringkan kepalanya. Jemari tangannya bertaut di depan wajahnya, sikunya bertumpu di meja. Wangi segar dan maskulin dari tubuhnya beserta wangi ruangan itu telah bercampur menjadi satu.
"Iya, Saya, Pak Direktur." Gavin menjawab dengan agak heran. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Deon mengangguk dan tersenyum simpul. Ia pun menatap Gavin dengan lebih saksama.
"Bagaimana pestanya kemarin, Pak Gavin? Bapak datang?" tanya Deon dengan ramah, tetapi agaknya ada sesuatu yang janggal dari keramahan itu.
Gavin tertawa renyah...atau malah hambar? "Ah...ya, Pak. Saya datang, tentu saja."
"Oh, begitu. Bapak pasti membawa pasangan yang sangat cantik dan terlihat muda." Deon tersenyum. []