Bab 13 Sisi Lemah sang Iblis (b)

Bab 12 : Sisi Lemah sang Iblis (b) ****** "DARI mana, Ta?" Pertanyaan Gavin tak digubris oleh Talitha. Ia baru saja diantar pulang oleh Deon dan baru masuk ke rumah. Wajahnya begitu muram dan matanya bengkak. "Dek?" panggil Gavin sekali lagi, tetapi Talitha hanya langsung pergi ke kamarnya tanpa menjawab Gavin. Gavin jadi menggeleng sendiri. "Tuh anak kenapa? Tadi Pak Dirut jadi nggak, ya, minta maaf sama dia? Lagian, dia kok pulangnya sore amat..." Gavin tanpa sadar bertanya-tanya sendiri, lalu ia menatap jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah enam sore. Dia juga baru pulang lima belas menit yang lalu dan belum mengganti baju kantornya. Mengedikkan bahu, Gavin pun beranjak menuju ke kamarnya. Di kamarnya, dia langsung dihadapkan dengan Revan yang sedang bermain PlayStation. Dia menutup pintu kamar dan melempar bola basket yang ada di dalam kamarnya itu ke kepala Revan. "Oi, Nyet," panggil Gavin. Revan mem-pause-kan game-nya dan mengambil bola basket yang mulai terjatuh ke bahunya. Revan cengar-cengir kepada Gavin yang sedang berkacak pinggang di depannya. "Apa, Nyet?" jawab Revan dengan wajah tak berdosanya. "Si kampret," ujar Gavin. "Udahlah nggak masuk kerja, eh malah bersarang lagi di kamar gue. Ngacauin kamar gue aja lo. Sono pergi, liat tuh remah Chitato ada di mana-mana. Kapan juga lo keluar beli Chitato?" Revan tertawa terbahak-bahak. "Mamaku Sayang, ntar aku beresin kok," ujar Revan santai sembari menaikturunkan alisnya jail. Gavin berjalan mendekati kasur, lalu ia melempar bantal gulingnya ke arah Revan. "Bangsat. Kapan gue ngelahirin lo? Udah-udah, cepet beresin kamar gue!! Udah kepala tiga masih aja serampangan!" "Lo rempong banget, sih, Nyet," ujar Revan sambil tertawa. Ia me-resume-kan lagi game-nya. "Ntar lagi, nih, tunggu sebentar. Mau ngalahin lawan yang ini dulu." "Pokoknya pas gue balik lagi ke sini, nih kamar harus bersih. Awas lo, ya," peringat Gavin sebelum akhirnya dia keluar dari kamar dan meninggalkan Revan yang cuma nyengir. Rumah sekarang terasa sepi karena mamanya sedang menggosip ke rumah tetangga. Astaga, padahal ini sudah sore. Papanya juga masih belum pulang kerja. Kalau Talitha...tadi dia sepertinya sedang bad mood. Gavin pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Ketika ia sampai di dapur, ia sempat melihat ke arah kamar mandi dan— "WUAH COPOT MAMPUS!!!! MATI GUA, MATI GUA, ASTAGA!" teriak Gavin dengan mata memelotot, tubuhnya terdorong ke belakang. Untungnya, kakinya bisa mengatur keseimbangan sehingga dia tidak terjatuh ke lantai. Ia mengelus dadanya berkali-kali dan mulutnya menganga lebar. Di depan pintu kamar mandi yang ada di dapur, Talitha berdiri dengan rambut yang tergerai dan acak-acakan. Gadis itu masih memakai baju yang sama, tetapi ada handuk yang tersampir di salah satu bahunya. Matanya memandang ke bawah; tatapan matanya kosong. Dia juga terlihat seperti orang mabuk karena kepalanya bergoyang ke sana kemari. Sadar abangnya berteriak kaget karenanya, ia pun langsung menatap abangnya dengan lemas—antara hidup dan mati—dan ekspresi wajahnya datar. Setelah itu, ia dengan muka seramnya itu langsung masuk ke kamar mandi dan menutup pintu kamar mandi itu dengan kencang. Gavin terlompat ke belakang karena kaget; pria itu mengelus dadanya lagi. Jantungnya hampir copot dua kali hanya gara-gara Talitha. "Ya Tuhan... Tuh anak kenapa astaga...astaga... Kok mirip kuntilanak..." ****** Darwin menatap mantan istrinya itu dengan sendu. Sejak kepergian Deon, Serena belum juga berpindah dari tempat ia duduk sebelumnya. Dia meringkuk dan menangis tanpa henti. Dia tampak putus asa. "Itulah yang ingin kuberitahu padamu sebelumnya. Dia masih terluka. Itu membuatnya jadi berbeda. Dia trauma dan rasa marahnya berlebihan setiap kali dia melihatmu." Serena menangis semakin kuat. "Anakku menderita karenaku... Apa yang harus aku lakukan, Darwin? Aku…aku mau mati…" Serena mengangkat wajahnya, air mata memenuhi wajah cantiknya itu dan dia tampak stress. "Apa pun akan kulakukan untuknya, Darwin, apa pun!" Serena melebarkan matanya seraya mengangguk-angguk kencang; dia tampak putus asa. Dia tampak sangat stress. "Aku rela mati jika itu yang Deon inginkan..." Serena semakin meringkuk; dia memeluk lututnya. Darwin hanya diam. Dua menit telah berlalu. Akhirnya, Serena mulai berusaha untuk berdiri meski berkali-kali terjatuh. Wanita paruh baya yang cantik itu masih menangis, tetapi dia kini sudah berdiri. Tubuhnya membelakangi Darwin karena dia tengah menghadap ke pintu kamar itu. Tempat Deon pergi sebelumnya. Darwin hanya memperhatikannya dari belakang. "Apa kamu tetap nggak akan bercerita padaku tentang apa yang sebenarnya kamu rasakan saat kamu mengkhianati aku?" tanya Darwin, ekspresi wajah pria paruh baya itu tampak serius. Serena yang tadinya berencana untuk keluar dari kamar Darwin itu kontan terkejut. Beberapa detik kemudian, Serena pun menutup matanya. "Aku terlalu malu untuk bercerita ke kamu. Aku juga bakal ngerasa kayak orang yang nggak tau diri kalau aku masih berani menceritakan semuanya ke kamu." Serena kembali mengeluarkan air matanya. "Dulu, aku udah cari tau semuanya. Tapi pernyataan jujur dari kamulah yang nggak pernah aku dapatkan. Kamu selalu bilang kalau alasannya hanyalah karena kamu merasa nggak kuperhatikan. Tapi aku yakin alasannya lebih dari itu," ujar Darwin, matanya menatap Serena dengan penuh keyakinan. Dia tahu bahwa pasti ada alasan terpenting yang membuat Serena melakukan hal seperti itu di belakangnya. Melakukan sesuatu yang justru menjadi bibit penderitaan bagi keluarga mereka, terutama bagi Deon. "Maaf. Maafin aku...dan semoga kamu cepat sembuh," ujar Serena sembari mengusap air matanya. Wanita itu menarik napas dalam, lalu akhirnya ia berjalan keluar dari kamar Darwin. ****** Mata Talitha nyaris saja terpejam karena mengantuk. Sehabis menangis...dia jadi sangat mengantuk. Namun, ketika dia baru saja mau tidur, tiba-tiba nada dering ponselnya yang ngegas itu berbunyi dan kontan bunyi itu membuat matanya membelalak. Jantungnya juga hampir berhenti berdetak karena terkejut setengah mati. Ia mengambil ponselnya dengan kesal. Di layar ponselnya itu, Talitha melihat ada nomor tak dikenal yang meneleponnya. Dengan malas, Talitha pun mengangkat telepon itu. "Halo. Ini siapa? Kalo nggak penting dan cuma iseng-iseng ngerjain nomor acak, maaf, gue nggak bisa ngeladenin lo," ujar Talitha dengan nada malasnya. "Siapa yang iseng ngerjain kamu?" tanya seseorang di seberang sana. Spontan mata Talitha membulat. Matanya full terbuka, bahkan matanya itu sekarang malah jadi memelotot karena suara itu. Talitha langsung menjauhkan ponselnya, mengecek kembali nomor yang sedang meneleponnya itu, lalu kembali menempelkan ponsel itu di telinganya. "Ini... Deon, ya?" tanya Talitha dengan mulut yang menganga karena tak percaya. Dari mana Deon mendapatkan nomor ponselnya? "Simpan nomorku, Talitha," perintah Deon. "dan jangan sampai kamu nyimpan nomor laki-laki lain selain nomorku, nomor ayah kamu, dan nomor abangmu." "Memangnya apa urusan kamu?" tanya Talitha. Talitha heran, kok cepat sekali sifat pria itu berubah. Kini pria itu mulai otoriter lagi, padahal beberapa jam yang lalu dia sempat menangis di pelukan Talitha. "Talitha, didn't I tell you already? You are mine. I'm not arguing with you about this. No one can take you away from me." Talitha mendengkus. "Aku nyimpen nomor Bang Revan dan Basuki juga. Selain itu, nggak mungkin aku mau ngehapus nomor-nomor kakak tingkat sefakultasku yang ganteng-ganteng itu dan—" "Hapus semua nomor-nomor itu, kecuali nomorku, nomor keluarga kamu, dan nomor-orang -orang yang kamu anggap sebagai keluarga," perintah Deon. "Jangan sampai pas aku meriksa handphone kamu nanti nomor-nomor itu masih ada. Ingat itu." Hah?! "Aku bukan pacar atau istri kamu! Mati aja kamu daripada overprotective gini sama orang yang cuma kamu sebut-sebut sebagai 'milikmu'!" "Yang aku sebut seperti itu cuma kamu," ujar Deon. Suaranya terdengar menekan. "Hapus semua nomor itu, Talitha! You hear me?" "Aku nggak mau,” bantah Talitha. “Ya kali aku dilarang sama orang yang bukan siapa-siapaku. Kalo aku pacarmu beneran, ya barulah kamu bisa seenaknya ngomong gitu ke aku. Lagian, nomor-nomor itu—" "You will be my wife, Talitha. God damn it!" umpat Deon. Namun, pria itu akhirnya mulai menghela napas, mencoba untuk mengatur emosinya sendiri. "Besok aku bakal jemput kamu. Akulah yang bakal ngantar jemput kamu mulai sekarang. Dengar itu. Aku nggak suka milikku diusik orang lain." Talitha baru saja mau membuka mulutnya untuk protes ketika sambungan telepon itu tiba-tiba dimatikan oleh Deon. Sesaat setelah itu, Talitha pun langsung mengerang dan mengamuk sendiri di dalam kamarnya. []
Tambahkan ke Perpustakaan
Joyread
FINLINKER TECHNOLOGY LIMITED
69 ABERDEEN AVENUE CAMBRIDGE ENGLAND CB2 8DL
Hak cipta@ Joyread. Seluruh Hak Cipta