Bab 18 Menantu Kesayangan (a)
Bab 17 :
Menantu Kesayangan (a)
******
DEON membukakan pintu apartemennya, membiarkan Talitha masuk terlebih dahulu. Kepala Talitha pusing bukan main. Dunianya serasa berputar. Tubuhnya tak mau diajak kompromi; dia tak sanggup berdiri dengan benar.
Sebenarnya, Talitha terkejut bukan main saat mendengar Deon mengajaknya pergi ke apartemen pria itu. Namun, Talitha sudah terlalu malas untuk menjawab. Dia kedinginan dan gemetar. Talitha sempat kagum ketika melihat mewahnya unit apartemen Deon, tetapi dia tak seberisik biasanya karena dia sedang tidak enak badan.
Talitha berusaha untuk berjalan meskipun agak terhuyung. Ini terjadi karena yang ia rasakan kini bukan hanya kedinginan lagi, melainkan juga sakit kepala yang luar biasa. Tadi saat Deon menginterupsinya untuk menyuruhnya masuk, Talitha mengangguk dan ingin melewati tubuh Deon yang ada di depan pintu, tetapi ia terhuyung.
Tubuh Talitha akhirnya menyerah; ia nyaris saja terjatuh. Spontan mata Deon membulat dan ia menangkap tubuh Talitha. Kepala Talitha akhirnya bersandar pada dada bidang Deon.
Kedua alis mata Deon kini menyatu. Ia menatap Talitha dengan khawatir. Dilihatnya Talitha mulai memejamkan mata; Talitha mengernyitkan dahi seolah sedang menahan sakit kepala. Wajah gadis itu pucat.
"Apa yang terjadi dengan kamu, Talitha?!" tanya Deon. Dengan cepat, ia memegang kedua lengan Talitha, memeganginya agar tidak jatuh. Ia akhirnya tersadar bahwa suhu tubuh Talitha ternyata sangat tinggi. Deon mendengkus.
"Sial, Talitha, kamu demam! Kenapa kamu diam saja?!" teriak Deon. Ia kemudian dengan cepat merangkul Talitha; ia menuntun Talitha masuk ke kamarnya sembari mengumpat.
Pria itu mendudukkan Talitha di ranjangnya, lalu ia menghampiri lemari pakaiannya yang berukuran besar. Ia mengambil sebuah handuk putih dan memberikannya kepada Talitha. Dengan lesu, Talitha mulai melihat ke arahnya.
Gadis itu menghela napas. "Aku nggak apa-apa, Deon."
"Kamu masih sanggup menyelaku, bahkan saat kamu lagi demam tinggi kayak gitu? Kamu luar biasa," komentar Deon. Talitha mengernyitkan dahinya.
Namun, tiba-tiba Deon mengangkat tubuh Talitha dan membuat gadis itu berdiri. Dia menuntun Talitha lagi untuk pergi ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. "Mandi dan keramas rambut kamu dengan air hangat. Aku akan mencarikan kamu baju ganti," perintahnya singkat.
Talitha berdecak. "Daripada kamu jadi sulit begini, lebih baik—"
"JANGAN MEMBANTAHKU!" bentak Deon.
Mata Talitha membeliak. Untuk yang kesekian kalinya, dia dibentak oleh Deon. Dia sungguh tak mengerti mengapa dia terjebak dengan pria seperti Deon. Mengapa bisa ada benang merah yang menghubungkannya dengan Deon? Bagaimana mungkin Tuhan memutuskan untuk mempertemukan mereka berdua?
Itu bukan pertemuan klise, melainkan pertemuan yang aneh. Suatu ikatan yang tak tahu akan menuntun mereka berdua sampai mana. Setelah menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tak gatal, akhirnya Talitha menutup pintu kamar mandi itu ketika punggung tegap Deon meninggalkannya. Entah apa yang dilakukan oleh Deon karena yang dapat Talitha dengar adalah Deon menelepon seseorang dan memerintah orang tersebut dengan kesal. Entah apa yang membuatnya begitu kesal.
Tak lama kemudian, ketika Talitha sedang memakai handuk (sudah selesai mandi), pintu kamar mandi di belakangnya diketuk oleh seseorang. Talitha tahu itu adalah Deon dan dia refleks mendekat ke pintu itu tanpa membukanya.
Setelah itu, terdengarlah suara Deon yang agak redam. "Ini baju ganti kamu."
Talitha mengernyitkan dahi dan ia menggaruk kepalanya lagi. Ia harus membuka pintunya atau tidak?
Namun, jika tidak dibuka...
"Talitha, buka pintunya," pinta Deon dengan lembut meski helaan napas Deon agak terdengar di telinga Talitha. Talitha jadi bingung sendiri.
"I—iya, bentar," jawab Talitha pada akhirnya. Gadis itu membuka pintu kamar mandi dan menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Dia ingat bahwa tubuhnya sekarang hanya mengenakan handuk.
Begitu dia menatap Deon, dia mendapati pria itu melihatnya dengan mata yang agak menyipit. Deon sudah berganti pakaian; pria itu memakai kaus polo dan celana jeans pendek. Pria itu lalu memberikan sebuah kotak padanya dan dia meraih kotak itu seraya menyatukan alis.
"Cepat ganti baju kamu. Habis itu makan dan minum obat," perintah Deon.
Talitha menganga. Gadis itu sebetulnya ingin bertanya mengapa dia harus berada di apartemen Deon seolah tak ada orang di rumahnya yang bisa mengurusinya. Namun, tatapan tajam Deon membuatnya berdecak kesal dan memilih untuk masuk kembali ke kamar mandi.
Talitha lantas membuka kotak itu. Betapa terkejutnya dia tatkala mendapati bahwa di dalam kotak itu ada satu setel piama dan…satu setel dalaman? Dalaman juga ada?! Buset!
Ini semua baru. Kapan Deon mempersiapkannya? Apa sewaktu dia marah-marah di telepon tadi? Luar biasa. Benar-benar membuat Talitha jadi menggeleng sendiri, tak habis pikir. Siapa yang dia suruh untuk membeli barang-barang seperti ini? Meski dipenuhi dengan berbagai pertanyaan di otaknya, Talitha akhirnya memutuskan untuk memakai pakaian itu tanpa peduli apa pun. Soalnya, kepalanya masih pusing.
Setelah selesai berpakaian, Talitha keluar dari kamar mandi sambil membawa handuk putih yang Deon berikan tadi. Gadis itu tak melihat keberadaan Deon. Ke mana dia?
Baru saja Talitha ingin berbalik, mendadak ia mendengar suara berat Deon memenuhi ruangan. Deon ternyata baru masuk ke kamar itu.
"Duduklah. Kamu harus makan," ujar Deon. Di tangan Deon sudah ada nampan yang berisi semangkuk sup dan nasi. Ada juga teh hangat di nampan itu.
Talitha terdiam. Walau ia tak seharusnya memikirkan soal ini sekarang, tetapi...apa Deon membuatkan bubur itu? Atau tidak?
"Duduk sekarang, Talitha.”
Talitha membelalakkan mata. Gadis itu tersadar dan langsung duduk di pinggiran ranjang. Sesungguhnya, dia tak selera makan karena kepalanya pusing. Namun, Deon dan segala perintahnya itu telah ada di depan Talitha, duduk di depan Talitha dan menaruh nampan itu di atas nakas.
"Makan, sedikit aja nggak apa-apa. Supaya kamu bisa minum obat." Deon berkata dengan lembut. Talitha sedikit tertegun.
Sungguh menawan sekali Deon dengan suara lembutnya itu. Ini agak mengejutkan, sebenarnya. Mengapa Deon harus bertransformasi menjadi yang orang sekeji itu, padahal Deon bisa bersikap selembut ini? Ini begitu disayangkan. Deon adalah orang yang benar-benar lembut seandainya semua masa lalunya tak terus menghantuinya.
Talitha akhirnya mengangguk. Entah mengapa sulit sekali mau membantah Deon saat Deon berbicara dengan lembut seperti itu. Tanpa bisa Talitha kira, Deon mulai menyuapinya. Pria itu menyuapinya dengan sabar, sedikit demi sedikit.
Sosok Deon mendadak berubah 180 derajat. Deon yang ada di depannya ini adalah Deon yang penuh kasih. Sungguh kasihan. Dia adalah pria yang baik, hanya saja hatinya rapuh hingga dia membangun temboknya sendiri secara paksa.
"Kenapa kamu suapin aku?" tanya Talitha pelan. Napasnya terasa hangat. Itu membuatnya sadar bahwa dia benar-benar sedang demam tinggi.
Deon bernapas samar. Ia meniup nasi hangat yang sudah ada potongan wortelnya itu.
"Kalau aku biarkan, mungkin kamu nggak bakal mau makan,” kata Deon sembari menyuapi Talitha lagi. Talitha membuka mulutnya, menerima makanan itu.
Talitha ingin melihat Deon berubah. Entah mengapa ia ingin melihat pria itu berubah. Namun, ia tak tahu bagaimana caranya. Lagi pula, ia tak memiliki hubungan yang serius dengan Deon. Hubungan asli, tetapi tanpa cinta? Sama saja bukan hubungan.
"Minum obat kamu sekarang," perintah Deon singkat setelah makanan dan minuman Talitha habis. Pria itu memberikan obat kepada Talitha dan Talitha meminumnya tanpa ada bantahan.
Talitha langsung berbaring begitu ia selesai minum obat. Ia sungguh tak tahan, kepalanya pusing sekali. Tubuhnya lemah karena sedang demam. Ia tak mau tahu tentang apa pun lagi dan langsung berbaring tanpa persetujuan ataupun perintah dari Deon. Deon menghela napas, kemudian menutupi tubuh Talitha dengan selimut tebal yang ada di ranjangnya itu. Pria itu mulai duduk di kursi yang ada di samping ranjang, kursi yang ia persiapkan ketika Talitha mandi.
Diperhatikannya Talitha dengan saksama hingga ia mendengar napas Talitha berembus dengan teratur. Gadis itu sudah tertidur. Deon melihat jam dinding dan ternyata hari sudah hampir malam. Tiba-tiba ia mendengar bunyi ponsel.
Matanya menyipit; ia mencari asal bunyi ponsel itu hingga akhirnya ia sadar bahwa bunyi ponsel itu berasal dari dalam tas Talitha yang terletak di sofa kamarnya. Deon berdiri dan menghampiri tas itu. Setelah Deon membuka tas itu, ia meraih ponsel tersebut dan mengernyitkan dahi. Ia bisa membuka kunci ponsel itu dengan mudah karena tak ada password atau pattern yang melindunginya. Deon melihat ada tiga pesan masuk. Tanpa berpikir dua kali, pria itu pun membuka ketiga pesan itu.
From: Kak Alfa.
Malem, Ita ;)
From: Basuki Nana Dalem.
Ta, lo udah nyampe? Minta jemput Bang Gavin aja deh cyin, biar lo cepet sampe. Busnya kan lamaa.
From: Bang Gavin.
Dek, lo kok belum nyampe rumah? Lo ke mana? Hujan nih! Udah tau badan gak kuat dingin, masih aja pulang lambat! Gue juga baru nyampe nih dan Mama nyariin elo. Lo kejebak hujan apa gimana?
Baru saja Deon selesai membaca pesan terakhir itu—dan ternyata pesan itulah yang baru sampai tadi—ponsel Talitha mendadak berbunyi, menandakan ada sebuah panggilan yang masuk. Deon mengernyitkan dahinya tatkala menatap layar ponsel itu.
Bang Gavin calling... []