Bab 25 Ayo Kita Menikah (d)
Bab 24 :
Ayo Kita Menikah (d)
******
PUNGGUNG wanita itu bergetar; ia tampak begitu rapuh. Tubuh wanita itu terasa sama rapuhnya dengan Deon ketika pria itu menangis di pelukan Talitha. Mereka benar-benar ibu dan anak. Talitha yang mendengarkan dan melihat mereka pun jadi ikut sedih.
Sangat menyakitkan ketika mendengarkan cerita dari kedua pihak dan mengetahui kebenaran yang pahit seperti ini.
Serena perlahan mulai menghentikan tangisnya. Dia mendongak, lalu menatap Talitha hingga membuat Talitha refleks melepaskan pelukannya.
Talitha menatap Serena dengan iba. Sungguh cantik mamanya Deon itu. Namun, wajah cantiknya jadi lembap karena air mata.
Walaupun Talitha merupakan orang yang tak peka dan cuek, dia paling tak tahan melihat orang lain menangis karena itu bisa memengaruhinya.
Serena tersenyum manis. Senyumannya tampak begitu tulus. "Mama sekarang ngerti kenapa Deon suka sama kamu. Kamu pendengar yang baik. Kamu bisa ngebuat orang lain nyaman, jadi orang-orang langsung dengan mudahnya nyeritain masalahnya ke kamu. Mama yakin kamu pasti pernah meluk Deon kayak tadi juga, 'kan? Apa Deon pernah ceritain masalahnya ke kamu?"
Talitha meneguk ludahnya. Waktu itu dia pernah memeluk Deon di mobil ketika Deon menangis.
Talitha hanya bisa diam dan menatap Serena dengan hati-hati.
Namun, tiba-tiba Serena tertawa. "Tuh, bener, ‘kan? Pasti pernah. Kamu pasti berhasil ngebuat dia menangis di pelukan kamu. Mama sadar karena tiba-tiba Mama nyeritain semuanya ke kamu gitu aja, padahal Mama nggak pernah nyeritain ini ke siapa pun, termasuk ke Deon dan papanya. Cuma kamu yang tau soal ini, Sayang..."
Mata Talitha melebar.
"Mama...Percaya sama aku? Aku ini sableng, lho, Ma. Mama sama Papaku aja nggak percaya sama aku," ucap Talitha dengan hati-hati.
Serena tertawa kencang. Namun, Serena mengangguk yakin. "Mama percaya kok. Tapi…apa? Mama sama papa kamu nggak percaya sama kamu? Astaga hahaha!" Serena tertawa. "Dasar. Pasti seru, ya, kalo kamu serumah sama Mama. Bikin ngakak aja. Kamu emang tepat untuk Deon."
Talitha mengernyitkan dahinya. "Lha, kok Mama ngomong gitu?"
"Sifat kejamnya itu cuma orang cuek dan sableng kayak kamu yang bisa menetralisirnya," ujar Serena sembari terkekeh geli. "Kalo orang yang mudah bawa perasaan pasti bakal sakit hati tiap dibentak sama Deon. Lha kalo kamu, Mama yakin kamu pasti cuek atau malah ngetawain dia. Mungkin juga kamu malah nyerocosin dia balik. Kamu sama Deon itu kayak tepung terigu sama air. Dari mana pun keliatan beda. Kalo disatuin pun mesti diaduk-aduk dulu. Tapi nggak bisa berpisah kalau udah disatukan."
Namun, bodohnya, Talitha justru menganga. Ia tak mengerti. Manusia berotak lemot macam Talitha memang butuh waktu buat mengerti peribahasa macam itu. Serena tertawa lagi.
Ketika pesanan mereka sampai, Serena langsung meminum latte-nya dan Talitha juga langsung meminum mochaccino-nya. Talitha mulai memotong cheesecake miliknya ketika Serena membuka pembicaraan lagi, "Jadi, kamu emang mau nikah sama Deon?"
Mata Talitha kontan terbelalak. Ia langsung menatap Serena dan tertawa canggung. "Haha. Emm… Nggak tau juga, Ma. Aku belum terlalu kenal sama Deon. Takut aja."
Serena tersenyum manis, semanis madu. "Udah, deh, nikah aja. Mama setuju kok. Kalau bisa, sih, secepatnya aja," ujar Serena sembari mengedipkan sebelah matanya pada Talitha. Talitha spontan menganga.
Waduh. Disuruh nikah lagi, deh.
Talitha menatap Serena dengan lekat. Hidung dan matanya mirip dengan Deon. Talitha yakin bahwa Serena—mamanya Deon—inilah yang orang Taiwan sehingga membuat Deon jadi blasteran. Senyuman Deon sangat indah indah, sama seperti mamanya. Tak sadar mengagumi wajah mamanya Deon, ponsel Talitha tiba-tiba berbunyi. Talitha tersentak; ia langsung mengambil ponselnya yang ia simpan di dalam tasnya.
Serena hanya memperhatikan Talitha dengan senyuman. Talitha lantas menatap Serena dan mengangguk satu kali sebagai pertanda kalau ia ingin izin menelepon sebentar, kemudian Serena mengangguk. Talitha pun bertelepon di depannya.
Itu Deon.
"Halo," ujar Talitha.
"Ah…aku…aku di Sean’s Café, Deon."
Serena agak melebarkan matanya, lalu tersenyum…ketika tahu bahwa yang menelepon itu adalah Deon.
"Aduhhh, iya, iya, jangan marah-marah ngapa, sih?" ujar Talitha. "Jangan terlalu posesif, ntar kamu stress sendiri baru tau rasa!"
"Oi—aku nggak lagi sama laki-laki! Haduh, stress hayati..."
Serena terkekeh tatkala mendengarkan percakapan antara Talitha dan Deon. Putranya luar biasa posesif kepada Talitha. Mendengar cara bicara Talitha membuat Serena ingin tertawa, tetapi wanita itu menahannya karena ia tahu bahwa...Deon akan mengamuk. Deon akan marah jika pria itu tahu bahwa Talitha sedang bersamanya.
Ketika Talitha menutup sambungan telepon itu, Serena kembali tersenyum manis padanya. Talitha melipat bibirnya. "Maaf ya, Ma, tadi pembicaraannya jadi kepotong," ujar Talitha sopan.
Serena terkekeh lagi. "Iya, nggak apa-apa kok. Yang motong juga Deon, ‘kan."
Talitha menggaruk tengkuknya (yang sama sekali tak gatal itu), lalu nyengir.
Akhirnya, Serena berdiri. Talitha terkejut dan langsung ikut berdiri.
Serena mengusap pundak Talitha pelan. "Ya udah, Mama duluan, ya. Ntar Deon marah kalo ngeliat Mama di sini. Ntar kita ketemuan lagi, ya, Sayang."
Talitha menatap Serena dengan penuh kesedihan. Haruskah Serena dan Deon saling tak melihat seperti ini?
Dengan berat hati, Talitha pun mengangguk. "Iya, Ma."
Serena menghela napas. Wanita itu kemudian memeluk Talitha singkat. Ketika sudah melepaskan pelukannya, wanita itu lantas melambaikan tangannya kepada Talitha dan keluar dari café dengan langkah anggunnya.
******
Setelah menunggu di depan café selama beberapa menit, sebuah mobil mulai berhenti di depan Talitha. Itu adalah Deon.
Deon ini...sepertinya suka berganti-ganti mobil. Talitha tak mengenalinya hingga saat pria itu turun dari mobil dan membuat semua orang otomatis melihat ke arahnya.
Talitha memutar bola matanya, lalu meledek Deon. "Yaelah, tiap kamu ada di area terbuka kayak gini, kamu itu kayak gula tau nggak. Banyak banget semut yang ngincer."
Deon membuka kacamatanya dan sembari menghampiri Talitha, dia mengernyitkan dahi. "Aku nggak ngerti maksud kamu. Daripada ngomongin itu, lebih baik kamu jelasin ke aku kenapa kamu ada di sini,” jawabnya tajam.
Talitha mendengkus. "Kamu nggak ngerti? Ampun dah nih manusia satu. Gini, ya, kamu itu kinclong banget. Jadi, kalo kamu keluar dari mobil atau ngelakuin sesuatu—apa pun itu—di area terbuka kayak gini, kamu tuh eye-catching banget. Apalagi di Indonesia. Dari jauh aja orang udah tau kalo kamu itu ganteng. Bisa bikin pikiran orang jadi ngambang gitu, haha. Habisnya, udah tinggi, badannya bikin ngiler, penampilannya seger dan oke, rambutnya keren, kulitnya bening dan halus…pake kacamata pula. Nah, malah aku yang ngiler sekarang," ujar Talitha sembari mengusap bagian sudut bibirnya.
Deon mengerutkan dahinya. "Kenyataannya yang pikirannya paling ngambang itu kamu."
Talitha jadi mencibir ketika mendengar perkataan itu. "Yeeee syukur-syukur aku nggak gerepe-gerepe kamu! Lagian, tadi aku cuma minum mochaccino di sini. Nungguin kamu jemput."
"Aku nggak percaya kamu nunggu jemputan sampai sejauh ini dari kampus kamu," ujar Deon, matanya menatap Talitha penuh selidik.
Talitha mendengkus. "Ya suka-suka aku, dong. Mochaccino di sini enak."
Deon menatapnya tajam.
Dua detik kemudian, mulai ada orang-orang yang memotret Deon dengan antusias. Talitha menganga; dia benar-benar memperhatikan semua orang itu, terutama cewek-cewek yang kini mulai berteriak histeris. Talitha langsung memasang poker face.
Risiko berdiri bareng orang ganteng tuh gini, ya?
Akan tetapi, bersamaan dengan situasi itu, tiba-tiba Talitha mendengar ada langkah kaki yang mendekati mereka berdua.
"Lho, Ita? Kamu ngapain di sini?"
Talitha lantas menoleh ke asal suara. Mata gadis itu kontan membulat.
"Kak Alfa?" []