Bab 8 Pertemuan dengan Iblis (d)
Bab 7 :
Pertemuan dengan Iblis (d)
******
MAMPUS.
Talitha tidak bisa bicara lagi. Gadis itu menunduk.
"Saya membenci kebohongan," ujar Deon sarkastis. Talitha membulatkan matanya meskipun ia masih menunduk.
"Maaf, Pak..." ujar Talitha, berharap agar direktur utama itu mau memaafkannya. Talitha kemudian melanjutkan, "Abang saya itu…belum punya pasangan, Pak, dan dia agak malu kalau nggak bawa pasangan. Jadi, dia bawa saya..."
"Saya nggak minta kamu untuk menjelaskan." Deon berujar sinis.
"Tapi Pak..." Talitha memberanikan dirinya untuk menatap Deon. "Tolong jangan—"
"Saya akan memecat abang kamu besok. Kasih tau saya siapa namanya," ujar Deon dan mata Talitha kontan membelalak. Deon pun melanjutkan dengan nada yang terdengar lebih sinis, "dan juga namamu."
Talitha menganga, gadis itu langsung merunduk sembari mengusap kedua tangannya dengan panik. "Pak!! Pak, tolong, Pak, tolong jangan pecat Abang saya!! Tolong, Pak, hukum aja saya, apa pun itu hukumannya, tapi tolong jangan pecat dia, Pak. Saya tau kalau saya nggak sopan, tapi tolong saya, Pak, dia betul-betul—"
"Jadi, apa yang bisa kamu lakukan?"
Talitha terdiam. Mata Talitha melebar dan ia berkedip berkali-kali. Benar juga. Apa yang bisa ia lakukan?
Talitha meneguk ludahnya, lalu menatap Deon kembali. "Saya—saya..."
"Sebutkan namanya dan juga namamu," tekan Deon. Talitha jadi frustrasi bukan main. Sial!
"Nama...nama Abang saya Gavin Aryadinata dan nama saya…saya Talitha Sava Aryadinata."
Deon mengangguk. "Baiklah. Saya akan memecatnya besok."
Talitha terperanjat dan matanya langsung memelotot. "Pak, tolong!!! Tolong jangan, Pak!!! Tolong. Saya bakal melakukan apa pun, apa pun yang Bapak mau, tapi tolong biarkan Abang saya tetap bekerja di perusahaan Bapak. Tolong, Pak..."
"Gimana ini? Jika saya biarkan, kamu dan abang kamu akan terus berbohong dan saya nggak butuh karyawan yang suka berbohong."
"Abang saya bukan orang yang suka berbohong, Pak. Tolong hukum saya aja. Lagian, sayalah yang setuju untuk ikut ke sini."
"Lalu kamu mau kalau saya buat hidup kamu menderita?"
Talitha spontan terdiam. Lidahnya kelu dan pikirannya kacau. Ia tak menyangka kalau ternyata di sisa hidupnya ia akan menderita. Talitha tak menjawab satu kata pun selama hampir satu menit.
Deon mengalihkan tatapannya ke lain arah dan mendengkus samar. "Kalau begitu, saya aja yang ngehukum kamu," ujar Deon yang berhasil membuat Talitha kembali melihat ke arahnya yang bertubuh lebih tinggi. Mata Talitha membeliak ketika menyadari bahwa ternyata kedua mata Deon sudah menatapnya dengan tajam.
"Mulai sekarang, kamu nggak boleh lepas dari pandanganku." Deon mendadak mengubah gaya bicara formalnya; tidak ada kata 'saya' lagi di dalam kalimatnya.
Talitha menganga, ia kontan bergidik.
Gadis itu mulai meneguk ludah. "Maksud Bapak?"
"Kamu terikat denganku. Itu jika kamu mau abang kamu tetap bekerja dan kamu nggak menderita. Kalau kamu terikat denganku, aku bakal lebih mudah mengontrol kamu. Kamu mungkin akan menderita. Itu sudah cukup untuk membayar kebohongan kamu. Kamu belum merasakan sakitnya dibohongi, jadi mungkin kamu nggak tau.”
Talitha menggeleng dengan cepat, matanya melebar penuh. Mendadak Talitha jadi ingin protes. "Pak, sepertinya ini berlebihan. Bagaimana mungkin saya terikat dengan Bapak? Saya—"
"Karena hanya itu satu-satunya cara agar kamu berhenti berbohong!" Deon berteriak.
Talitha terperanjat.
Apakah pria itu sudah gila? Mengapa masalah sekecil ini jadi begitu besar? Segitu bencinyakah pria itu dengan sebuah kebohongan? Apakah dia memiliki sebuah trauma atau sesuatu sejenis itu? Ini tak masuk akal. Talitha menarik napasnya; ia mencoba untuk berbicara kepada Deon tanpa harus berteriak.
"Pak, itu nggak mungkin. Itu nggak bisa diterima logika. Itu bukanlah jenis hukuman yang bisa Bapak timpakan kepada saya."
"Jadi, hukuman apa yang kamu mau? Menurutku, pilihan yang kedua adalah memecat abang kamu. Nggak ada hukuman yang lain lagi…sebab hukuman yang lain sepertinya terlalu ringan untuk seorang pembohong," ujar Deon. "Berhentilah memanggilku dengan sebutan formal. Sekarang kamu sudah menjadi milikku dan nggak ada yang bisa mengubah keputusanku. Bagiku, nggak ada yang namanya logika untuk seorang pembohong."
Talitha merasa bagai telah melakukan dosa yang besar sekali. Mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan ketika logika tidak bisa bermain. Lagi pula, sejujurnya berbohong itu memang tak bisa diterima logika, terutama ketika di luar sana masih ada cara lain selain berbohong. Yah, sudahlah. Daripada Gavin dipecat? Mungkin ini adalah salah satu nasib buruknya.
"Baik, Pak. Saya terima."
Setelah mengatakan itu, Talitha langsung mengerang di dalam hati. Ah, bencana lagi. Dia harus fokus kuliah dan apa-apaan ini? Ini seperti melakukan perjanjian dengan iblis. Tanggung jawabnya berat sekali.
Deon mulai mendekat kepada Talitha dan kini Talitha menunduk. Tekanan selama berada di bawah pengawasan mata Deon yang tajam itu serasa bisa menundukkannya. Membuat kakinya lemas. Ini terjadi karena Deon memang memiliki aura yang mengerikan. Bagaimana mungkin Talitha membuat kesalahan seperti ini hingga harus terikat dengan Deon? Marco Deon, model yang digilai Basuki sekaligus direktur utama di perusahaan tempat Gavin bekerja!
Demi Tuhan, otak Talitha bahkan tak bisa berpikir apa-apa tatkala menghadapi kegilaan ini. Semuanya serasa keluar dari batas, melewati batas logis.
"Kamu nggak bisa melarikan diri," ucap Deon, kemudian Talitha merasa kalau tekanan pada tubuhnya mendadak hilang ketika ia melihat Deon telah berjalan meninggalkannya. Punggung tegap dan lebar milik pria itu terlihat begitu adikuasa.
Dia menawan, tetapi sekeji iblis.
Talitha menarik napas dengan rakus dan mengeluarkannya keras-keras. Dia bagai baru saja dibekap dengan bantal. Tekanan yang Deon berikan ternyata sebesar itu hingga tanpa sadar dia menahan napasnya sendiri.
"Ta, lo kenapa? Itu Pak Dirut kok ada di luar, ya?"
Talitha menatap dengan lunglai ke arah Gavin; Gavin yang tengah berjalan mendekatinya sembari melihat ke arah Deon yang tadi berpapasan dengannya. Akhirnya, Gavin mulai menatap Talitha dan dengan cepat menghampiri adiknya itu.
"Lo kenapa, Dek? Sakit? Kan udah gue bilang jangan ada di luar—"
"Bang, pulang, yok. Ayok pulang, gue capek banget," potong Talitha sembari menyingkirkan tangan Gavin yang sedang mencoba untuk mengecek dahi Talitha.
Gavin mengernyitkan dahinya. "Lho, kenapa? Emangnya lo abis ngapain?"
Talitha langsung berjalan meninggalkan Gavin, ke arah lift. "Nggak tau gue, Bang. Yok, pulang aja dulu."
"Ita—ta! Iya, deh, iya!! Tunggu gue!!" Gavin langsung menghampiri Talitha yang berjalan dengan cepat ke arah lift dan akhirnya mereka berdua masuk ke lift itu. Setelah itu, mereka turun ke lobi dan langsung pulang.
Gavin mengirimkan sebuah SMS kepada Revan ketika mengendarai mobil.
To: Revanyet.
Van, gue cabut yak. Si Ita capek, dia lemes banget. Kayaknya dia sakit.
Di sisi lain, Talitha langsung membuka aplikasi Twitter-nya dan membuat sebuah tweet baru.
Talitha Sava Aryadinata @itaimoet.
Buset. Ngeri banget nasib gue... Gara-gara sebuah kebohongan (T_T)
Malam itu, begitu sampai di rumah, Talitha langsung ngacir ke kamarnya dan berbaring telungkup. Dia langsung tertidur begitu saja. []