Bab 19 Menantu Kesayangan (b)
Bab 18 :
Menantu Kesayangan (b)
******
DEON mengangkat panggilan itu, lalu menempelkan ponsel tersebut di telinganya.
Setelah itu, terdengarlah suara Gavin yang sedang dalam mode ibu-ibu cerewetnya. "Dek, lo di mana?! Biar gue jemput. Sekarang udah malem tau nggak? Hujan lagi! Aduh, punya adek kok kelayapan terus."
Deon mulai menjawab Gavin dengan suara rendahnya. "Dia aman sama saya, Pak Gavin. Saya tadi udah jemput dia dan sekarang dia ada di apartemen saya."
Gavin kontan terdiam. Meski bunyi gemerusuk tetap terdengar dari seberang sana, Gavin hanya diam. Dia tengah mematung di seberang sana. Gavin terdiam selama beberapa detik, bahkan suara napasnya tak terdengar.
Setelah itu, dengan gagap Gavin menjawab, "I—ini...Pak Deon?"
Deon bernapas samar. "Iya, Pak Gavin. Ini saya. Talitha lagi sama saya."
"A—" Kata-kata Gavin terputus hingga Deon mulai mendengar bunyi gemerusuk lagi. Namun, agaknya kali ini bunyi itu tercipta karena ponsel Gavin diambil orang lain. Setelah itu, mendadak terdengar suara seorang wanita paruh baya.
Deon mengernyitkan dahinya ketika mendengar wanita itu berteriak.
"Siapa kamu?!! Ke mana kamu bawa anak saya?!! Bawa dia pulang!!! Siapa kamu? Apa yang udah kamu lakuin ke anak saya?!!!"
Deon mengerjap.
"Ma...udah, Ma. Itu bosnya Gavin. Udah, Ma." Terdengar suara Gavin samar; Gavin agaknya tengah membujuk wanita paruh baya itu.
Setelah itu, terdengar helaan napas berat. "Kamu ini satu, Vin. Kenapa kamu nggak bilang sama Mama kalo adek kamu—"
"Ma, aku aja baru tau kalo Ita pacaran sama Pak Bos dan aku juga belum sempet minta penjelasan dari Ita..."
Deon hanya mendengarkan mereka berdua.
Setelah itu, Deon angkat bicara, "Maaf, Bu. Saya belum beritahu ibu dan juga ayahnya Talitha dengan baik. Saya minta maaf. Saya nggak macam-macam sama Talitha. Saya cuma ngerawat dia karena dia lagi demam."
Terdengar mama Talitha mulai mendengkus.
"Astaga. Itu anak emang ada-ada aja kelakuannya..."
Mendengar komentar mama Talitha terhadap anak gadisnya sendiri, Deon lantas tersenyum tipis dan menunduk. Deon mulai rileks; ia memasukkan sebelah tangannya ke saku celana pendeknya.
Lagi-lagi Mama Talitha terdengar menghela napas. "Ya udah. Maafkan saya, ya, Pak Direktur. Saya betul-betul minta maaf karena udah ngebentak Bapak sembarangan tanpa tau alasan Bapak."
Deon mengangguk meski dia tahu mamanya Talitha takkan bisa melihatnya.
Mamanya Talitha berbicara lagi, "Tolong jaga anak saya, ya, Pak, sampai Bapak ngantar dia pulang nanti. Em… Nanti sekalian Bapak mampir ke rumah, ya... Ngobrol-ngobrol sama calon menantu, kan, enak..." Mama Talitha tertawa.
Mata Deon melebar. Namun, beberapa detik kemudian…ekspresi wajah pria itu jadi lembut. Betapa harmonisnya keluarga Talitha. Betapa hangatnya sikap mama Talitha...dan hati Deon jadi terasa perih. Tak pernah ada seorang ibu yang bersukacita ingin mengobrol dengannya. Tak pernah ada sosok ibu yang memberinya perhatian ataupun omelan seperti itu sejak dia kecil.
Begitu dia sadar akan hal itu, air matanya jatuh.
Ada lembing yang seolah menohok dadanya hingga dadanya terasa sesak. Deon mendongak dan menghela napas. Membiarkan air mata itu jatuh, lalu tanpa sadar rahangnya mengeras. Ia butuh melampiaskan seluruh kekecewaannya. Namun, ia menahan semua itu karena ia ingat bahwa ia sedang bertelepon.
"Pak Direktur?" panggil mama Talitha di seberang sana dengan heran karena Deon tak bersuara sedari tadi. Hal itulah yang sontak membuat Deon langsung mengusap air matanya. Deon mengerjap, kemudian pria itu tersenyum. "Iya. Mama nggak perlu manggil aku dengan sopan gitu. Panggil aku Deon aja, Ma."
Oh astaga. Bibir Deon agk bergetar tatkala menyebutkan kata 'Mama' itu. Ia tak pernah memanggil seseorang seperti itu lagi sejak 21 tahun yang lalu. Ia merasa marah tiap kali ia mendengar panggilan 'Mama' dan kali ini mama Talitha membuatnya mengucapkan kata 'Mama' itu dengan nelangsa. Ia yakin bahwa mama Talitha adalah seorang wanita yang cerewet, tetapi penuh dengan kasih sayang. Seorang wanita yang mungkin juga punya kepribadian yang unik seperti Talitha. Berdiri tegak untuk keluarganya. Memberi kehangatan untuk keluarganya. Tanpa Deon sadari, Deon bersikap biasa saja seolah ia sudah menjadi bagian dari keluarga Talitha. ‘Memiliki’ keluarga yang harmonis...membuat seluruh beban di hati Deon seakan menghilang. Ia merasa bagai manusia yang terlahir kembali.
Sementara itu, di seberang sana mamanya Talitha tertawa kencang. Wanita itu jadi tersipu karena Deon terdengar begitu imut saat berbicara seperti itu padanya. "Aduh... Iya, Deon. Akhirnya, Mama bakal punya menantu… Hahaha! Si Gavin sama Ita menjomblo terus soalnya. Mama kira Mama dulunya ada salah apa gitu, sampe anak-anak Mama nggak laku... Wahahaha."
Terdengar Gavin mulai protes kepada mamanya. Namun, secara mengejutkan…Deon justru tertawa lepas. Pria itu tertawa terbahak-bahak di telepon. Seumur hidupnya, dia tak pernah benar-benar merasa senang seperti ini.
"Nanti aku ke sana, Ma, sambil nganterin Talitha. Nggak kok, Ma, Mama nggak ada salah. Aku juga nggak pernah punya pasangan sebelum ketemu sama Talitha."
Mama Talitha berteriak histeris, "Aaah, senengnyaa! Talitha beruntung banget punya kamu. Ya udah, ntar jangan lupa ke sini, ya, Sayang. Papanya Talitha juga mau kenalan sama pacar Talitha, tuh, katanya."
Deon terkekeh.
"Ya udah. Tidur jangan macem-macem, ya. Kalian belum nikah soalnya. Si kunyuk satu itu juga masih kuliah," lanjut mama Talitha.
Tak ayal, Deon kembali tertawa terbahak-bahak. Mendengar Talitha diejek begitu oleh keluarganya sendiri…sungguh menggelikan baginya.
"Iya, Ma," jawab Deon santai.
"Ya udah. Mama tutup dulu teleponnya. Jagain Ita, ya, menantu kesayangan Mama."
Mata Deon membulat. Menantu kesayangan?
Deon padahal belum bertemu keluarga Talitha dan sudah dibilang menantu kesayangan. Apa karena mamanya Talitha baru merasa punya calon menantu? Ah, tetapi tak mungkin langsung dibilang menantu kesayangan juga kalau hanya itu alasannya. Meskipun dia dan Talitha tidak berpacaran seperti seharusnya, Talitha telah membawa banyak hal baru untuknya. Ia sering kali tersenyum palsu, tetapi akhir-akhir ini dia mulai tertawa. Sejak bertemu dengan Talitha, ia menyadari betapa bahagianya menampilkan semua ekspresi itu tanpa kepalsuan. Mengobrol dengan Gavin waktu itu saja sudah membuatnya tertawa lepas. Sekarang, dengan mama Talitha juga begitu.
Meskipun ia tak tahu bagaimana cara mencintai orang lain seperti seharusnya... Meskipun ia tak tahu mengapa dia begitu ingin Talitha berada di sisinya untuk membantunya... Meskipun ia hanya tahu bagaimana cara mempertahankan miliknya... Meskipun ia bertemu dan mengurung Talitha di genggamannya dengan cara yang tak logis... Talitha harus tetap bersamanya, tak boleh hilang darinya, barang sedetik pun dan dalam keadaan apa pun.
"Iya, Ma," ujar Deon sebelum sambungan telepon itu akhirnya terputus.
******
Talitha terbangun dan menemukan dirinya terbaring di ranjang Deon. Ia menyipitkan matanya karena silau; gorden jendela kamar Deon terbuka dan sinar mentari langsung menerangi kamar. Talitha lantas memegang tenggorokannya yang terasa kering.
Ah...dia ingat. Dia demam semalam.
"Sudah bangun?"
Talitha menoleh ke asal suara. Matanya—yang semula malas terbuka—kini jadi membulat sempurna begitu mendapati Deon di sana, berdiri dengan shirtless di pintu kamar. Talitha langsung terduduk.
Talitha menatap Deon tanpa berkedip. Ia menatap Deon dari atas ke bawah dan tanpa sadar dia berdecak kagum sendiri, kegirangan seperti monyet. Deon menyatukan alisnya.
"WIDIH MAK... Seksinya ckckck... Maknyos euy..."
Tanpa punya urat malu, Talitha bertepuk tangan sendiri. Dia tergelak dan matanya masih menatap otot-otot di tubuh maskulin Deon dengan antusias.
"Pantesan kamu dikatain mamamu jomblo terus," ujar Deon sembari menyipitkan matanya. "Ternyata mata kamu selalu lapar."
Talitha mendadak melongo.
"Oi—kok kamu tau kalo Mama aku suka ngatain aku gitu?! Wah, jangan-jangan—"
"Mama kamu nelepon semalam. Dia nanyain kamu,” jawab Deon santai.
Mata Talitha kontan terbelalak, dia langsung beranjak turun dari kasurnya dan berdiri. Gadis itu terbirit-birit mengambil ponselnya yang ternyata ada di sofa. Sambil memeriksa ponselnya, gadis itu pun berbicara dengan cemas, "Terus kamu bilang gimana?! Dia marahin kamu nggak?!! Lagian, kok kamu main angkat-angkat aja, sih!! Ntar kita diinteroga—"
"Mama kamu udah tau kalau kita pacaran, Talitha. Nanti aku bakal nganterin kamu sekalian kenalan sama orangtua kamu." []