Bab 7 Pertemuan dengan Iblis (c)

Bab 6 : Pertemuan dengan Iblis (c) ****** LANGKAH kaki Deon yang teratur itu terlihat menuju ke salah satu sudut aula pesta. Balutan jas elegan itu tampak begitu pas di tubuhnya; semua pakaian akan terlihat begitu sempurna saat melekat di tubuhnya. Sosoknya bagaikan karya seni terbaik ciptaan Tuhan. Kulitnya, wajahnya, dan bentuk tubuhnya seolah dipasangkan dengan begitu serasi. Kontur wajahnya membuatnya terlihat sangat tegas; rahangnya tajam. Jas berwarna putih itu berhasil membuatnya terlihat lebih bersinar daripada berpuluh lampu kristal yang tergantung di atas ruangan. Deon mendekati sebuah kerumunan. Kumpulan direktur. "Pak Deon?" sapa seorang pria paruh baya—seorang direktur—tatkala Deon menghampiri mereka. Deon tetap berjalan ke arah kerumunan itu dan ia mulai menatap pria itu sembari tersenyum tipis. Pria paruh baya itu merunduk hormat kepada Deon dan begitu Deon sampai, pria itu pun mengajak Deon untuk bersalaman. "Bagaimana pestanya?" tanya Deon, sekadar ingin mengobrol dengan para direktur itu. Akhirnya, semua direktur yang ada di sana mulai menatapnya dan mereka semua agak terkejut; mereka semua langsung merunduk hormat dan memasang ekspresi wajah yang terlihat senang di depan Deon. Bukan berarti mereka tidak senang, tetapi mereka hanya terkejut dengan kehadiran Deon di dekat mereka. Satu per satu dari mereka mulai menjabat tangan Deon. "Ah...ya, Pak, pestanya betul-betul menyenangkan. Ini luar biasa, Pak," jawab salah satu dari mereka. Deon mengangguk samar sembari tersenyum. Sebenarnya, umur Deon jauh lebih muda daripada mereka, tetapi tekanan saat berada di dekat Deon memang besar. Hal itu membuat orang-orang jadi rela untuk tunduk begitu saja. "Semua bawa pasangan masing-masing?" ujar Deon, kemudian dia tertawa renyah. Mereka semua malah tertawa. Tahulah, tawa khas bapak-bapak pebisnis. Namun, sebenarnya ada dua orang ibu-ibu juga. "Ya, Pak. Bagaimana dengan Pak Deon?" tanya salah satu dari mereka. Deon tersenyum dan menggeleng samar, kemudian mengatakan, "Ah...saya belum punya pasangan." Semua direktur itu lagi-lagi tertawa, menyadari bahwa ternyata Deon orangnya sedikit fleksibel. Deon sedikit memberikan humor kepada mereka. Salah satu ibu-ibu direktur itu mulai berbicara, "Tapi bagaimana mungkin Pak Deon belum punya pasangan? Bapak orangnya ganteng. Ganteng sekali malah, hahaha!" Lagi-lagi para direktur itu tertawa. Deon juga ikut tertawa renyah. Tiba-tiba ponsel Deon berbunyi. Deon menyatukan alisnya, kemudian ia mencari keberadaan ponsel itu di balik jasnya, tepatnya di dalam saku kemejanya. Ketika melihat siapa yang memanggilnya, Deon pun menatap para direktur itu. "Nikmati pestanya, ya? Saya mau angkat telepon dulu," ujar Deon. Pria itu menempelkan ponselnya di telinganya, lalu menjauh dari para direktur itu. "A—ya, Pak. Ya," jawab beberapa dari direktur itu, melihat Deon yang terburu-buru mengangkat telepon. Deon berjalan keluar dari aula pesta itu. Setelah ia benar-benar keluar dari pintu aula, ia langsung berjalan ke kiri, menjauh dari pintu itu dan berdiri di koridor. Deon menghela napas. Itu adalah panggilan dari ayahnya. Betapa marahnya Deon saat ia baru sampai di Jakarta. Alasan ia pergi ke Jakarta adalah untuk menggantikan ayahnya sebagai direktur utama di Abraham Groups karena ayahnya terkena penyakit jantung. Begitu ia sampai di Jakarta, ia mendapat telepon bahwa ayahnya lagi-lagi masuk rumah sakit. Secepat mungkin ia langsung menjenguk ayahnya dan ternyata benar, ayahnya tengah terbaring di ranjang rumah sakit dengan wajah yang pucat dan tubuh yang terlihat sangat lemah. Deon benar-benar marah ketika melihat kondisi ayahnya dengan mata kepalanya sendiri. Ini pasti ada hubungannya dengan wanita sialan itu. Bukankah penyakit ayah tidak separah ini? Biasanya, kesehatan mental ayah akan terganggu apabila bertemu dengan wanita itu, jadi ia akan mudah sakit. Sekarang ke mana wanita sialan itu? Deon pun pergi dari rumah sakit itu dengan berapi-api meski ia tak tahu ke mana ia harus melampiaskan semua kemarahannya. Ia tak tahu ibunya ada di mana. Dia begitu sayang kepada ayahnya. Ibunya sering pergi-pergi entah ke mana sewaktu ia kecil, jadi ia lebih sering bersama ayahnya. Diasuh oleh ayahnya. Itu sebabnya Deon begitu membenci Serena—ibunya—yang mengkhianati ayahnya. Ayahnya tak pantas menerima semua rasa sakit itu. Sekarang, apa yang akan Deon dengar dari ayahnya? Ayahnya menelepon... Deon mengembuskan napasnya samar. Mungkin lebih kepada…mencoba untuk menenangkan diri sendiri. "Ya, Pa." "Gimana pestanya, Deon? Kamu menikmatinya juga, 'kan? Jangan cuma menyelenggarakannya saja, Nak. Nikmatilah." Deon mengeraskan rahang. "Deon nikmati, Pa, Deon menikmatinya. Harusnya Papa mengkhawatirkan diri Papa sendiri. Papa bahkan nggak ngasih tau Deon di mana wanita itu. Papa sakit, jadi lebih baik Papa berhenti khawatir sama orang lain!" "Deon... Papa bisa jelasin ke kamu nanti..." Deon mengusap rambutnya frustrasi, lalu ia mendengkus. Sungguh, rasanya emosinya terbuang percuma. Deon langsung menutup telepon itu dan tangannya yang tengah memegang ponsel itu langsung jatuh kembali ke sisi tubuhnya. Ia mencengkeram ponselnya dengan kuat hingga jemari tangannya memutih. Semua uratnya serasa mau keluar karena rasa marah yang luar biasa. Deon mencoba untuk menurunkan bahunya (sejak tadi tanpa sadar bahunya menegang), lalu ia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Ia mencoba untuk mengeluarkan seluruh emosinya melalui udara yang ia keluarkan. Setelah merasa sedikit tenang, ia pun mencoba untuk kembali berpikir dengan normal. Deon menaruh ponsel itu kembali ke saku kemejanya dan berbalik, menuju ke pintu aula kembali. Ketika ia baru mau berbelok—ia bahkan tak sadar bahwa tadi ia melewati belokan koridor ini—ia melihat seorang gadis yang tengah berdiri di sana seraya melihat-lihat ponsel. Mata Deon sedikit menyipit. Koridor itu agak gelap karena hanya ada lampu kristal berwarna krem yang menerangi sekeliling koridor. Ah, itu adalah gadis yang tadi. Gadis yang berteriak saat ia berdiri di panggung. Gadis yang mengenali bahwa dirinya adalah Marco Deon, model asal Taiwan. Mengapa dia ada di sini? Ke mana pasangannya? Deon menghampiri gadis itu dan mata Deon memperhatikannya dengan lekat. "Apa yang kamu tunggu di sini?" tanya Deon singkat dan gadis itu tersentak. Gadis itu menoleh kepada Deon dan begitu ia tersadar, ia langsung merunduk hormat pada Deon. Dari ekspresi wajahnya, agaknya dia begitu terkejut sekaligus takut pada Deon. Deon tahu bahwa mungkin gadis itu takut karena sudah membuat kekacauan di pesta tadi. Gadis itu tergagap-gagap. "Sa—saya—saya…saya nggak lagi nunggu siapa-siapa, Pak. Maafkan saya." Deon mengangkat alis. "Maaf?" Gadis itu terperanjat. "Y—ya, Pak, tadi saya lancang sekali sudah mempermalukan Bapak. Saya hanya kaget." Deon menghela napas samar dan mengangguk. "Di mana pasanganmu, laki-laki yang bersamamu tadi?" tanya Deon sekali lagi dan gadis itu membulatkan matanya. Gadis itu buru-buru mengatakan, "Oh, iya, Pak, Abang saya tadi sudah masuk ke dalam au—" Lah, mati! Gadis itu—Talitha—spontan menutup mulutnya. Ia langsung memukuli mulutnya berkali-kali dan tidak berani menatap mata Deon yang terlihat sungguh mengerikan meskipun tidak dalam keadaan marah. Aduuuuh, siaaaal! Keceplosan! Jadi, gimana, nih? Apakah pria itu akan marah karena kebohongan konyol yang Talitha lakukan di pestanya? Sial, bagaimana ini? "Dia abang kamu?" Aksen Deon memang terdengar seperti orang asing, bukan orang Indonesia asli. Namun, bukan aksen yang Talitha permasalahkan sekarang. Suara Deon itu terdengar begitu menyeramkan! Pria itu begitu mengintimidasi Talitha; ada aura membunuh yang terpancar dari mata pria itu. Dengan cepat Talitha menatap Deon meskipun menatap mata Deon adalah hal yang menyeramkan. Meskipun Deon hanya diam, tatapan matanya itu begitu tajam. "Ah, Pak, itu—itu...saya...itu..." Astaga! Apa yang harus Talitha jawab? Ia sudah tertangkap basah berbohong. Setelah dihukum oleh Deon, mungkin dia akan dihajar habis-habisan oleh Gavin... "Kamu berbohong?" []
Tambahkan ke Perpustakaan
Joyread
FINLINKER TECHNOLOGY LIMITED
69 ABERDEEN AVENUE CAMBRIDGE ENGLAND CB2 8DL
Hak cipta@ Joyread. Seluruh Hak Cipta