Bab 10 Kamu Milikku (b)
Bab 9 :
Kamu Milikku (b)
******
GAVIN mulai mengernyitkan dahinya. Mengapa Pak Direktur tahu bahwa pasangan Gavin terlihat muda? Itu Ita, 'kan?
Namun, Gavin menjawab dengan rasional. Agak bersilat lidah sedikit, sih. "Iya, Pak. Memang banyak sekali orang yang suka berpacaran dengan wanita yang awet muda, termasuk saya."
Mata Deon menyipit tajam. Jelas dia tahu bahwa itu adalah Talitha, adiknya Gavin. Sekarang, di hadapannya…Gavin menutupinya dengan cerdik.
"Hm...tapi saya tau bahwa yang kemarin itu adik Bapak. Ya...meskipun itu tidak berpengaruh pada saya." Deon berujar sarkastis, tetapi dia tersenyum.
Mata Gavin terbelalak. Aduh, mereka ketahuan, ya? Sial, jangan-jangan inilah yang terjadi pada Ita semalam? Sang Dirut ini berkata bahwa hal itu tak berpengaruh padanya, tetapi tatapannya tampak begitu sinis!
"Astaga. Tolong maafkan saya, Pak. Saya benar-benar minta maaf. Saya memang terbiasa meminta Adik saya buat menemani saya kalau ada acara seperti itu. Yah...maklumlah, Pak...saya belum ada pasangan. Saya susah dapat pasangan, Pak, apalagi saya hidupnya di zaman sekarang," ujar Gavin, mencoba untuk mendinginkan suasana dengan sedikit humor.
Namun, tak disangka-sangka…Deon benar-benar tertawa! Pria dengan kontur wajah yang tajam dan mengerikan itu sekarang sedang tertawa lepas di hadapan Gavin!
"Benar sekali, Pak. Bapak benar. Saya juga agak sulit dapat pasangan," ujar Deon seolah Gavin adalah teman bisnisnya.
Mau tidak mau, suka tidak suka, segan tidak segan, Gavin pun ikut tertawa.
Akan tetapi, sesudahnya Deon melanjutkan, "Saya sebenarnya kecewa mendengar kebohongan Bapak. Jujur, saya memang marah sekali," ujar Deon, mendadak matanya menyipit dan berkilat kembali.
Gila, orang ini punya berapa kepribadian? Kok jadi seram begini, sih?
"Tapi...karena saya suka Talitha, saya tidak akan memecat Pak Gavin," ujar Deon sembari tersenyum penuh arti.
Gavin langsung terperanjat.
"Pak... Maaf kalau saya asal tebak atau asal bicara, Pak," ujar Gavin yang dibalas anggukan oleh Deon. Gavin kemudian melanjutkan, "Bapak...sudah bertemu Adik saya semalam?"
Mata Gavin melebar; ia benar-benar ingin tahu. Oh, Tuhan, apa yang sebenarnya telah terjadi semalam?
Deon tersenyum. Pria tampan itu mengangguk. "Iya, benar. Saya bertemu adik Bapak di koridor semalam. Dia sangat manis," ujar Deon. "Mungkin karena saya banyak bicara, dia jadi agak stress, ya, tadi malam?" tebak Deon yang sama sekali tidak meleset.
Gavin mengernyitkan dahi, kemudian dia mencoba untuk mencerna semuanya. Gavin lantas merenggangkan alisnya yang bertaut itu, kemudian pria itu mengangguk. "Oh…begitu, ya, Pak," ujarnya. "Iya, Pak. Dia sepertinya banyak pikiran semalam. Saya kira ada apa... Ya ampun, ternyata begitu kejadiannya."
Deon tertawa renyah.
"Apa boleh saya bertemu dengan dia lagi? Barangkali...saya bisa minta maaf," ujar Deon dengan tatapan penuh arti. Tangannya masih bertaut di depan wajahnya. Dia tersenyum.
Gavin kontan menggeleng. "Ah, nggak apa-apa kok, Pak. Nanti akan saya jelaskan ke dia. Nggak perlu repot-repot, Pak."
"Nggak," ujar Deon. "Saya harus bertemu dengan dia, Pak Gavin. Saya ngerasa nggak enak kalau belum minta maaf sama dia."
Gavin mulai berpikir sejenak.
Hm... Bagaimana, ya? Gavin tak berani untuk langsung berpikir negatif karena Deon saat ini bersikap sangat baik kepadanya. Lagi pula, wajar saja kalau seseorang mau meminta maaf.
Akhirnya, Gavin pun menjawab, "Baiklah, Pak."
Deon mengangguk. "Di mana saya bisa ketemu sama dia, Pak Gavin?"
Gavin menatap Deon. "Bapak bisa menemui Adik saya di kampusnya. Dia kuliah di UI dan mungkin dia akan pulang sekitar jam dua siang hari ini."
"Ooh…baik. Terima kasih banyak, Pak Gavin. Kedepannya…saya harap kita bisa berhubungan dengan baik seperti ini," ujar Deon sembari berdiri dan Gavin pun kontan ikut berdiri. Mereka mulai bersalaman.
"Saya akan mempromosikan Bapak untuk kenaikan gaji," ujar Deon sembari tersenyum penuh arti. Kedua matanya menatap Gavin dengan fokus, tetapi penuh dengan rahasia. Gavin tercengang. Ia bahkan tak sempat menjawab Deon (mungkin lebih kepada tak tahu harus menjawab apa) dan ia hanya tertawa. Setelah itu, yang ia lakukan hanyalah merunduk hormat, lalu permisi keluar dari ruangan elegan direktur utama itu.
Setelah keluar dari sana, ia merasa seakan baru saja keluar dari ruang hampa udara. Ia masih kurang mengerti. Namun, yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu dan mungkin mengorek informasi dari Talitha.
******
Talitha dan Basuki baru saja keluar dari area Universitas Indonesia saat itu. Mereka berjalan ke luar dan seperti biasa mereka berencana untuk nongkrong sebentar. Barangkali minum es di pinggir jalan atau mungkin...di rumah makan? Kegiatan sehari-hari yang tak pernah membosankan untuk dilakukan.
"Bas, traktirin gue napa," ujar Talitha yang sukses membuat Basuki mencibir seraya memutar bola matanya.
"Nana lagi nggak ada duit, Cyiiiin. Lupa bawa duit. Masa lo ngga inget? Yah orang Nana ajah mau minum es rencananya pake duit lo dulu."
"Kamvret, makin hari lo makin jadi bencong." Ita tergelak. "Ya elah, kenapa kita harus ditakdirkan menjadi orang miskin begini?"
"Gue udah hampir jadi wanita tulen keleees. Sekarang status gue adalah Banci Kece Badai," balas Basuki dengan penuh bangga. "Lagian, lo doang kali yang miskin di rumah lo. Minta duit sana sama Bang Gavin! Jabatannya udah tinggi gitu."
"Duit Bang Gavin udah sering gue curi, Bung," ujar Talitha. "Bisa berabe kalo gue mintain terus. Abisnya, dia tau kalo duit yang gue minta itu pasti cuma buat jajan."
Namun, sebelum Basuki sempat menjawab, tiba-tiba Talitha bersuara lagi, "Eh, BTW, kalo status lo sekarang adalah Banci Kece Badai, berarti kalo disingkat jadi BANGKAI, ya?" ujar Talitha, kemudian dia tertawa kencang.
Basuki mulai menolak kepala Talitha dengan kuat sampai Talitha hampir oleng. Namun, Talitha justru tertawa semakin kencang. "Sialan loooo Itaik Anyuk!!!"
Mereka masih berisik, padahal mereka sedang berjalan. Akan tetapi, tiba-tiba Talitha melihat sesuatu dari ujung matanya. Dia melihat seorang laki-laki yang agaknya baru turun dari mobil dan orang itu tampak bersinar. Otomatis Talitha penasaran dan langsung melihat ke arah orang itu.
Orang itu ternyata memang bersinar; dia banyak dihadiahi bisik-bisik dari perempuan yang ada di sepanjang jalan.
Setelah Talitha melihat orang itu dengan lebih jelas, Talitha kontan membulatkan matanya. Mati! Orang itu adalah orang yang sangat tak ingin ia lihat sekarang!
Sial, kalau melihat posisi orang itu, berarti Talitha akan melewatinya sebentar lagi!
"Buset, Bas! Cepet, yok, jalannya!" ajak Talitha sembari menunduk dan menarik lengan Basuki agar dia berjalan dengan cepat.
"Oi oi oi oi! Lo kenapa, sih? Ada apaan, sih, Taaaa? Aduh, sakittt! Lengan mulus akooeeh!" teriak Basuki, dia merengek kepada Talitha yang menarik lengannya dengan begitu keras dan memaksanya untuk berjalan cepat-cepat.
"Udah, diem aja dulu!! Gue nggak mau diliat oleh seseorang," ujar Talitha dengan panik; dia berbisik pada Basuki.
"Aduh, emangnya siapa, sih?!!" Basuki mulai kesal.
Dari ujung Talitha sudah menutupi wajahnya dengan buku-buku tebalnya. Kini Talitha mulai melewati laki-laki ber-sunglasses itu sembari berjalan dengan cepat. Ia menutup matanya kuat-kuat, mengerutkan dahinya, dan mengembuskan napasnya berkali-kali; ia berdoa agar keberadaannya tidak diketahui. Entah mengapa dia yakin bahwa orang itu datang ke sini untuk mencarinya.
"Hello, Talitha." []