Bab 28 Pertemuan dengan Kak Alfa (c)

Bab 27 : Pertemuan dengan Kak Alfa (c) ****** HA? Veroksin? Oh...yang kata Gavin selalu berkelahi dengan Revan itu, ‘kan? 'Whahaha, kok ke sini, ya?! Hahaha!' pikir Talitha. "Vero? Kenapa?" tanya Gavin dengan mata yang melebar. Nggak biasanya Vero ke sini, pikirnya. Wanita yang disebut sebagai Vero itu terlihat memelototi Revan, kemudian dia beralih menatap Gavin. Dengan senyum manisnya, dia menyerahkan sebuah map kepada Gavin. "Ini, Vin. Biasa, titipan dari divisi lo." "Oh…" ujar Gavin sembari melihat-lihat isi map itu. "Lo nggak perlu sampe nganterin ke sini kali, Ver." Revan tampak terus memelototi Vero dengan penuh kekesalan. Sementara itu, Vero tak memperhatikannya. Vero hanya terkekeh pada Gavin, lalu berkata. "Nggak apa-apa kok, Vin. Tadi kebetulan lewat kompleks ini karena ngunjungi saudara. Ada saudara yang tinggal di deket sini soalnya." Gavin mengangguk-angguk, kemudian dia tersenyum pada Vero. "Oh, okelah kalo gitu. Lo gak mau mampir dulu? Sekalian, nih, lagi rame di rumah gue." "Duh, kayaknya nggak usah, deh, Vin," tolaknya. Gavin mengernyitkan dahi, kemudian pria itu tersenyum jail. Ia menaikturunkan alisnya di hadapan Vero. "Lo nggak mau nyapa ketua direksi lo nih? Yang paling ganteng..." ujar Gavin sembari menyikut pinggang Revan. Revan langsung menganga. "Kamvret lo, Nyet!" "Halah Van…Van. Udah, sih, kok berantem terus. Sekali-kali salaman, kan, nggak ada salahnya. Uhuk-uhuk," ujar Gavin, dia pura-pura batuk sambil nyengir. Mata Vero membulat sempurna. Gadis itu langsung menggeleng dan memasang ekspresi jijik. Dia tampak ogah setengah mati. "Hiiiiii! Males amet gue salaman sama si tonggos sok playboy kayak dia hiiii! Kamvret, mau muntah gue." Hilang sudah kesopanan Vero di depan kedua orangtua Gavin. Gadis itu mulai bertengkar dengan Revan, sementara Gavin, Talitha, dan Basuki hanya menertawakan mereka habis-habisan. Namun, di tengah perkelahian Revan dan Vero, Talitha mendadak terpikir sesuatu. Matanya langsung menatap Gavin dengan penuh permohonan. "Bang, minta duit, dong." Basuki spontan ngakak. Talitha memang hampir tak pernah dikasih orangtuanya uang (untuk bersenang-senang), kecuali uang jajan untuk kuliah. Well, padahal Talitha itu sudah besar, tetapi saking gebleknya dia di mata kedua orangtuanya, memegang uang saja dia tak dipercaya. Makanya, kalau Talitha butuh sesuatu, biasanya dia harus meminta kepada keluarganya terlebih dahulu. Gavin melebarkan matanya. "Buat apa?" "Mau beli mercon," ujar Talitha. Kontan saja Gavin jadi ngakak. "Cepetan, Bang. Mumpung lagi rame, nih. Kan seru kalo maen di halaman. Biar gue beli di warung depan sama Basuki," ujar Talitha sambil nyengir seolah tak ada dosa. "Kena tangan baru tau rasa," ujar Gavin jengkel. "Halah, Bang! Ya nggak mungkinlah! Gue udah gede, nih, njir!" protes Talitha. Basuki tertawa kencang. Gavin berdecak. Akhirnya, pria itu memberikan uang dua puluh ribu dari kantung celana pendeknya kepada Talitha. Talitha langsung berteriak bak monyet yang kegirangan, kemudian dia cepat-cepat pergi ke warung itu bersama Basuki. Memang dasar bocah. Udah kuliah apa masih SD, sih, sebenarnya? Ketika Talitha dan Basuki kembali, Revan dan Vero sudah berhenti beradu mulut. Meski mereka masih merengut kepada satu sama lain, tetapi mereka tak ribut seperti tadi. Mereka berdua juga sudah duduk bersama Gavin di halaman. Talitha membuka bungkus berisi petasan itu dan berlari masuk ke rumah; dia mau mencari korek api di dapur. Mamanya kemudian bertanya, "Heh, mau ngapain?" "Nyari korek api, Ma, mau mainin mercon tadi,” jawab Talitha cuek. Spontan papa Talitha tertawa. Sementara itu, mama Talitha mulai menggeleng. "Ampun... Udah tua bangka, lho, kalian! Tobat ngapa, sih?" "Udahlah, Ma, terima aja. Anak kita emang nggak ada yang beres," kata papa Talitha sembari menggeleng pasrah. Talitha ngakak di dapur tatkala mendengar perkataan papanya. "Waduh…ngakak pula dia," ujar mama Talitha lagi. Talitha sontak berlari ke luar rumah sembari membawa korek api, tetapi ternyata mama dan papanya juga ikut ke luar rumah karena ingin melihat petasan-petasan itu. Setelah itu, tak lama kemudian... Duar! Beberapa kali suara ledakan petasan itu terdengar. Vero yang baru datang pun kini sudah ikut bermain bersama mereka. Mereka semua serasa berubah menjadi anak-anak, tak ada lagi yang dewasa saat itu. Talitha dan Basuki pun jongkok-jongkok di tanah tatkala menghidupkan petasannya. Gavin sedari tadi malah ikut gila, dia terus-terusan menjaili Revan dengan petasan. Dia tadi menceramahi Talitha perkara takut Talitha main petasan sampai terkena tangan, tetapi gebleknya, malah dia dan Revanlah yang kejar-kejaran dan lempar-lemparan petasan sampai-sampai diteriaki oleh mama Talitha karena berbahaya. Mama Talitha sampai hampir shock melihat kelakuan anak-anak lajangnya itu. Itu mereka sudah bekerja, lho! Talitha juga sudah kuliah! Mereka bukan anak SD lagi, ya Tuhan! Revan dan Vero mendadak lupa kalau mereka tak akur. Kini mereka malah bermain bersama-sama sembari tertawa. Enak sekali melihat mereka berdua akur, tetapi kemarin-kemarin hal itu memang mustahil terjadi. Basuki dengan suara bancinya itu juga membuat kehebohan hingga papa Talitha jadi sakit perut karena terus-menerus tertawa. Selain itu, Talitha juga berkali-kali dijewer oleh Gavin kalau-kalau Talitha jahil menyuduk pantatnya dengan ranting pohon mangga di depan rumah mereka. Belum lagi kalau Talitha sudah menggunakan jurus andalannya, yaitu memanjat tubuh orang lain tatkala dia sedang berkelahi. Saat Talitha baru saja ingin menghidupkan petasan lagi, ponselnya yang ia letakkan di saku celananya tiba-tiba berbunyi. Dia langsung meraih ponselnya itu dan menatap layarnya. Sayang calling... HA? SAYANG?! Sejak kapan Talitha punya kontak pakai nama sayang-sayangan?! "Bjir, apaan nih sayang-sayang weh..." ujar Talitha sembari menggeleng tak habis pikir. "Hacep, bruh..." Dengan tampang ngajak ribut, Talitha pun mengangkat telepon itu. "Hoi, siapa ini—" "Talitha." Mata Talitha kontan terbelalak. “Lah, Deon?! Wakwaaaw! Jadi kamu, toh, si Sayang-Sayang ini? Nah elah astaga." "Kalo nggak gitu, kamu bakal terus ngasih aku nama Deon Sableng di ponsel kamu, ‘kan? Jelasin sama aku apa arti sableng itu sekarang." Mati. Tidak mungkin, ‘kan, dijelaskan? Talitha tertawa canggung. "Ah—haha…nggak kok. Artinya itu...um...Sekseh Warbyazah." "Aku makin nggak ngerti," ujar Deon. Talitha ngakak habis-habisan. Dia sampai memukul-mukul petasan yang sedang ia pegang itu ke tanah hingga petasan itu bengkok sana-sini. "Ya udah, deh," ujar Talitha, mulai berusaha untuk menghentikan tawanya. "Jadi, kamu kenapa nelepon? Kalo cuma mau nanyain Kak Alfa, aku tutup. Aku males ladenin sifat posesif kamu." "Kamu lagi apa?" tanya Deon. Mata Talitha melebar. Deon…ternyata hanya ingin tahu Talitha sedang apa. Selain itu, Talitha juga sadar bahwa ada yang berbeda. Suara Deon terdengar begitu lembut...dan serak. Dia seperti seseorang yang tengah berbicara denganmu sebelum tidurnya. Talitha sampai heran; tumben sekali Deon berbicara dengan lembut dan santai seperti itu. Biasanya, dia terdengar tegas dan menyeramkan. Bawaannya mau memerintah terus. "Aku…lagi maen mercon, nih, bareng Bang Gavin, Bang Revan, Kak Vero, dan Basuki. Ada Mama sama Papa juga lagi nontonin." "Pantes aja kedengaran rame," ujar Deon lagi. "Jangan terlalu lasak, Talitha. Aku nggak mau kamu jatuh atau luka karena kena petasan. Kalo main jangan sampe lupa diri." Nah, meskipun suaranya lembut, Deon mulai memberikan perintah lagi. "Iya, deh, iya." Talitha memutar bola matanya. "By the way anyway busway, kamu lagi apa?" tanya Talitha balik. Deon terkekeh. Iya, benar, jika Talitha tak salah dengar, iblis menyeramkan itu kini terkekeh pelan. Hal itu membuat hati para pendengarnya jadi meleleh. Ah…andaikan Deon seperti itu terus...pasti Talitha sudah jatuh cinta dari pandangan pertama. "Apa hubungannya sampe ke busway?" ujar Deon. "Aku…lagi baring-baring aja." Talitha mengangguk-angguk. "Udah mandi belum, tuh?" "Sudah, Sayang," jawab Deon dengan santai. Pipi Talitha tanpa sadar merona, tetapi Talitha langsung menggeleng; gadis itu mencoba untuk mengabaikannya. "Kamu nih hobi banget, ya, pake sayang-sayang." ujar Talitha. "Kayak udah tau pacaran aja kamu. Belajar dari mana, sih? Sampe ngganti nama kamu sendiri jadi ‘Sayang’ di kontak aku. Bikin geli aja." Tawa Talitha jadi membahana. "Aku lumayan ngerti semenjak pacaran sama kamu, ‘kan," jawab Deon lembut. Astaga, Talitha, jangan melayang... Talitha lantas menganga. "Lagian, kapan kamu megang HP aku? Kok bisa ngubah nama kamu sendiri? Jangan- jangan…pas aku lagi di rumah papa kamu tadi, ya? Dasar.” "Bagiku, aku ada hak buat ngatur semua barang punya kamu karena kamu itu milikku,” ujar Deon tegas. Talitha berdecak. "Hadeh… Mulai lagi, deh, si mas ganteng," ujar Talitha dengan sarkastis. "Jangan matikan teleponnya, Talitha, " ujar Deon. " Aku mau denger kamu." ****** Deon berjalan ke ruang tengah. Di sana ada papanya yang sedang menonton acara televisi. Deon malam ini memang tidur di rumah papanya, bukan di apartemennya. Tadi ketika pulang dari café, Talitha sempat datang ke rumah itu karena disuruh papa Deon. Papa Deon mau menanyakan rencana pertunangan Deon dan Talitha. Ketika melihat Talitha untuk yang kedua kalinya, papanya Deon langsung setuju dengan rencana pertunangan itu karena dia suka dengan Talitha. Gadis itu humoris; dia sanggup membuat papa Deon tertawa berkali-kali. Maka dari itulah, Deon baru mengantar Talitha pulang saat sudah sore. Selain itu, papa Deon menyuruh Deon untuk tidur di rumahnya malam ini. Ketika sampai di ruang tengah, Deon mulai duduk di sofa yang sama dengan papanya. "Ada apa, Pa?" "Kamu udah makan?" tanya papanya. Mata Deon menyipit. "Aku nggak yakin Papa manggil aku cuma buat nanyain itu," ujar Deon, ia menatap papanya seraya memiringkan kepala. Papa Deon tertawa renyah. "Kamu yakin kamu dengan Talitha bakal aman, Deon?" Deon mengernyitkan dahi. Papa Deon—Darwin—kemudian melanjutkan, "Soalnya, Chintya lagi di jalan mau ke Indonesia." []
Tambahkan ke Perpustakaan
Joyread
FINLINKER TECHNOLOGY LIMITED
69 ABERDEEN AVENUE CAMBRIDGE ENGLAND CB2 8DL
Hak cipta@ Joyread. Seluruh Hak Cipta